Oleh Failasufa Karima An-Nizhamiya
Illustrasi mbuat sendiri khusus Motel Maggie |
“Tidakkah
kau merasakan malam ini terasa sedikit lebih dingin dari malam-malam biasanya?”
“Kupikir
juga begitu, Dadda...”
“Sebaiknya
kita hangatkan badan di dalam rumah. Angin malam di luar jahat sekali.” Sang Ayah
berhenti merayap lantas menoleh ke belakang, ke arah lawan bicaranya,
mengamati.
“Kupikir
juga begitu, Dadda...”
“Ekormu
putus lagi?” tanya Sang Ayah datar dan wajar.
Kadal
gurun yang berukuran 2 inchi merayapi perlahan batu besar coklat kemerahan lalu
diikuti oleh kadal yang lebih kecil. Seberkas cahaya lemah dari lampu
penerangan jalan menyusup di antara semak-semak yang mereka lewati. Mereka
hendak menuju motel lima puluh meter di depan mereka sembari menyuruk lincah, bersembunyi
dari para pemangsa malam. Di antara jarak itu pula terdengar suara mesin truk Chevrolet
tua dihidupkan, kerikil berloncatan ke belakang ban, suara mesin makin meraung kemudian
melaju cepat meninggalkan halaman parkir berpasir ke arah Gila Street. Begitu
pun dari dalam motel, sayup-sayup suara renyah penyanyi lawas Kinky Friedman dengan
lagu country-nya, The Ballad Of Charles Whitman, bersenandung lewat radio,
There was a rumor about
tumor
Nestled at the base of
his brain.
He was sitting up there
with his .36 Magnum
Laughing wildly as he
bagged ‘em.
Tombol volume radio dikecilkan, lalu suara renyah Kinky
Friedman menghilang perlahan, digantikan oleh suara tinggi melengking.
“Beberapa lagu country kadang memang terasa janggal. Apakah kau tidak
merasa aneh mendengar lagu yang baru saja diputar di radio tadi, Mattie?”
Sunyi sesaat. Disusul bunyi ujung pulpen diketuk-ketukkan di atas papan
kayu.
“Macet lagi ah! Pulpen ini bisa kau tambahkan ke dalam daftar belanjaan
besok, Mattie. Kau harus membeli pulpen berkualitas. Tadi aku ngomong sampai
mana?”
“Sampai pulpen berkualitas,” jawab suara lain cukup tegas.
“Bukan itu. Sebelumnya lagi. Oh, ya, lagu country yang janggal! Jadi, lirik
lagu tadi, lagu yang dinyanyikan Kinky Friedman itu, adalah sebuah ironi. Sedangkan musiknya berjingkat-jingkat ceria
seperti anak kecil yang baru saja mendapat permen. Dua hal yang berbeda
disulamnya jadi satu, tidak konsisten! Harusnya, Iya-iya, tidak-tidak! Lagu
country memang aneh.” Maggie mengomentari tanpa ragu.
Pintu samping bangunan utama motel sedikit terbuka dan angin sedang tidak
berhembus. Dua kadal gurun berbintik merah tadi langsung merayap cepat melintasi
celah daun pintu. Kadal gurun yang lebih besar melesat terlebih dahulu kemudian
diikuti oleh kadal gurun yang lebih kecil. Mereka berhasil sampai ke dalam
motel dengan selamat tanpa perlu terjepit daun pintu―karena kawan mereka telah
banyak yang mengukir sejarah, mati terjepit daun pintu atau pun jendela. Lagu
Country Kinky Friedman masih mengalun sayup, tetapi tetap terdengar keras oleh
kedua kadal itu. Mereka menghangatkan diri di antara kaki meja dekat pintu,
kaki Maggie Redwine si pemilik motel, dan kaki Matthew Wilson―assistennya yang sekaligus
merangkap sebagai bellboy.
“Mengapa radio itu memutarkan lagu sedih malam ini, Mattie?” Maggie menghentikan
liukan-liukan pulpen di atas buku administrasi
lalu menyentakkan matanya seketika ke arah assistennya, “Tak adakah lagu
yang lebih pantas? Lagu dengan musik gembira lain dan lirik yang lebih
menyenangkan? Pada malam menjelang tahun baru, sepatutnya lagu-lagu penuh kegembiraanlah
yang diputar. Harusnya lagu riang!” Maggie akhirnya mematikan radio sebelum
kemarahannya tumpah.
“Orang yang sedang berduka hatinya biasanya lebih mendengarkan lirik, orang
yang sedang gembira hatinya biasanya lebih mendengarkan musik,” Matthew menjawab
pelan, melipat koran yang belum sempat ia baca kemarin lantas beranjak dari lantai
duduknya. Ia merapikan meja dari tumpukan koran dan majalah berserakan. Kerapian
dan kesimetrisan adalah hal yang disenanginya.
“Jangan kau rapikan buku-buku di mejaku, cukup kau rapikan meja ruang
tunggu saja. Aku tak suka barang-barangku dipindah-pindah,” sentak Maggie
cepat-cepat, “Aku juga tidak sedang berduka,” tambahnya pelan.
“Dadda, apakah kita aman di sini? Sepertinya wanita itu buas sekali,” tanya
kadal bertotol merah kecil kepada ayahnya seraya berusaha mengibas-ngibaskan
pangkal ekornya.
Pemuda berkumis tipis itu tiba-tiba teringat, “Ada dua kadal gurun bertotol
merah, di bawah meja,” dan ia mengangkat kedua alisnya pada Maggie, “Mau
kurapikan sekalian?” tanya Matthew.
Kadal yang lebih tua tak menjawab. Ia sedang sibuk mencermati Maggie
dalam-dalam. Kulit wajah Maggie tampak berbintik-bintik di sekitar tonjolan
tulang pipinya. Rambutnya yang lebat lurus dan tergerai sebahu menguarkan bau
apak. Beberapa kali ia menyibakkan poninya yang jatuh ke dahi tanpa hasil. Dan
matanya memancarkan banyak ketidakberdayaan pada dunianya yang sempit.
“Tak usah. Biarkan saja,” sahut Maggie datar. Raut wajah Maggie sekilas tampak
sepuluh tahun lebih tua dari usianya seharusnya. Ia juga masih mengenakan
kemeja longgar kotak-kotak besar yang kemarin dipakainya.
Maggie melihat jam tangannya, layar jam digitalnya menampakkan angka 09:33 P.M.
“Pada pukul sembilan lewat tiga puluh tiga menit malam setahun lalu, apa
yang sedang kau lakukan, Mattie?” tanya Maggie tanpa menatap Matthew. Ia terus
menunduk sesekali melirik jam tangannya sembari meliyuk-liyukkan ujung pulpennya
lagi. Di halaman terakhir buku administrasinya ada gambar babi kecil berhidung
besar bermata sayu dan berponi melintir ke bawah, di sampingnya ia tambahkan gambar
awan dengan banyak garis melingkar-lingkar sembarangan.
“Sepertinya aku masih bekerja sebagai petugas lift di Raddison Hotel, akhir
tahun kemarin. Aku tidak mengambil cuti, sepertinya.”
Matthew menyangsikan jawabannya sendiri.
“Bagaimana dengan tahun lalunya lagi? Dua tahun sebelum ini.”
“Aku lupa, mungkin juga masih belum mendapatkan cuti.”
Angin di luar bertambah kencang. Ranting semak-semak di luar motel
mengetuk-ngetuk kaca daun jendela beberapa kali dan membuat tarian
bayang-bayang hitam menakutkan. Anak kadal gurun tersebut bergerak-gerak
gelisah di belakang ayahnya sambil mendecak-decakkan lidahnya. Sang ayah membalas
dengan kibasan ekor ke kanan dan ke kiri, sedangkan kepalanya tetap lurus ke
depan memperhatikan dua sosok manusia di hadapannya, Maggie dan Matthew. Si kadal
Dadda berasumsi bahwa jika ia sering menonton para manusia bertingkah, ia akan
mampu mengambil banyak pelajaran hidup―setidaknya, minimal untuk bertahan hidup
agar ia dan kawanannya tidak mati terinjak oleh mereka.
Mattew berkata lagi, “Boleh kuhidupkan
radionya lagi? Akan kupilihkan lagu gembira dengan lirik yang juga gembira untukmu.
Malam ini, malammu!” diputar-putarnya tuning radio, berhenti beberapa saat, ia
dengarkan lagunya sebentar, lalu ia kembali memutar turning radio hingga ia menemukan
lagu ini,
Somewhere beyond the sea,
Somewhere waiting for me,
My lover stand on golden sands,
And watches the ships that go sailing.
Beyond The Sea―Robbie Williams. Volumenya
ia keraskan. Lagu yang gembira, lirik yang gembira, dan timbre suara yang
ringan. Maggie pasti menyukainya!
“Silakan.” Matthew yang berbadan tinggi jenjang membungkukkan badan sedikit
kepada Maggie lalu berbalik pergi ke ruang janitor.
“Mattie, bagaimana jika kita menutup motel untuk malam ini saja? Kau kuberi
cuti libur akhir tahun dan tetap akan kubayar uang lembur akhir tahun.” Maggie
setengah berteriak kepada Matthew yang sedang mengepel lorong samping antara pantri
dan ruang makan. Lagu Beyond The Sea masih mengalun pelan. Alis Matthew yang
tipis tampak dikerutkan, ia hanya menoleh dengan tatapan menyelidik.
“Ayolah, temani aku sekali ini saja merayakan malam pergantian tahun. Kau
mau kan, Mattie?” lanjut Maggie.
“Bagaimana dengan para penyewa kamar saat mereka kembali lalu meninggalkan
motel, dan tak ada orang di sini. Kau sudah memikirkannya?”
Pertanyaan itu dijawab Maggie spontan berdasarkan perkiraan-perkiraan kasar
dari pegalaman-pengalamannya tahun lalu. Semua penyewa kamar rata-rata tak ada
yang tak meninggalkan kamarnya selama malam pergantian tahun berlangsung,
termasuk malam ini. Jam kembali mereka ke motel paling awal adalah pukul empat
dini hari. Mereka langsung menuju kamar
masing-masing tanpa memesan menu makanan atau minuman setelahnya. Kunci kamar
motel dibawa oleh masing-masing penyewa kamar. Jadi, Maggie dan Matthew tak harus
kembali sebelum pukul empat pagi. Mereka hanya perlu kembali sebelum jam
sarapan tiba, tentunya untuk menyiapkan menu sarapan―sekadar berjaga-jaga manakala
ada tamu yang mampir untuk sarapan belaka.
Maggie dan Matthew akan meninggalkan motel dalam keadaan lampu dan radio
masih menyala untuk memberi kesan bahwa di dalamnya masih ada orang―siasat penting
untuk mengelabui para pencuri. Sedangkan di pintu masuk halaman parkir, diberi
plang dengan tulisan “KAMAR PENUH” walau masih ada beberapa kamar yang belum
terisi.
“Baiklah, Miss Redwine,” sahut Matthew, “Kau ingin aku manemanimu kemana?”
“Aku pun tak tahu akan pergi kemana, Matt. Kupikir... “ Maggie berdiam sebentar, “Kau ada ide, Mattie?”
Gelengan kepala Mattew terasa terlalu mantap seraya mengerucutkan bibirnya.
Matthew tidak tahu apa yang harus dijawabnya pada Maggie. Kesunyian mampir
sejenak dalam benaknya. Tiba-tiba
kepalanya dipenuhi oleh ingatan-ingatan masa lalu. Terasa terlalu lama ia ditinggalkan
oleh hingar-bingar kehidupan. Bahkan malam natal pun ia lewatkan dalam
keheningan. Ia juga lupa bagaimana cara merayakan malam tahun baru. Yang masih ia
ingat, dulu kedua orang tuanya bekerja di pub, begitu juga saat momen malam
pergantian tahun.
“Pub?” tanya Mattew ragu. Maggie menolak. Alasanya karena terlalu banyak
bau busuk di sana. Bau muntahan. Assitennya itu menawarkan lagi beberapa tempat
yang sama sekali tidak menarik, “Riverside?
Kampus Phoenix? Atau rumah kakek-nenekmu?” Maggie menolak lagi. Maggie semakin
mual dan merasa segala-galanya keliru.
“Dadda, kita akan menonton mereka berdua dari bawah meja ini, sampai
kapan?” tanya kadal gurun kecil.
“Kurasa pertunjukan ini sudah mulai membosankan,” ujar Dadda pada dirinya
sendiri.
“Dadda...” seru kadal kecil pada ayahnya karena ia tak diacuhkan.
Terdengar bunyi ban berdecit kencang diikuti dengan pintu mobil digebrakkan
dari arah halaman parkir motel. Langkah-langkah berat datang bersamaan dengan bunyi
gilasan antara roda-roda plastik dan kerikil jalanan. Seorang lelaki kecil ramping
bertopi Yankees dengan koper berukuran sedang di sisi kanannya muncul di depan
pintu. Lantas ia berkata mengenai niatnya untuk menyewa kamar beberapa hari. Orang
ini agak rewel rupanya. Ia meminta sarapan diantar setiap pagi ke kamarnya. Ia juga
akan memakai jasa binatu setiap harinya. Dan ia menginginkan dua piring spageti
dan segelas bir saat ini juga. Maggie dan Matthew saling bertatapan.
“Nak, kau mau kuajak jalan-jalan keluar malam ini? Dadda akan memperlihatkan kepadamu sesuatu.” Ajak kadal
gurun bertotol merah yang lebih besar.
“Di luar dingin sekali Dadda, angin bertiup begitu kencang. Bahkan pemangsa
malam pun sepertinya tak beringsut sama sekali dari tempatnya di malam yang
dingin ini.”
“Tak akan terlalu dingin. Kau ikuti saja Dadda di belakang. Kita akan menikmati
malam pergantian tahun di luar sana.”
Dadda bergerak cepat menyelinap keluar ruang penerima tamu menuju halaman
parkir. Kadal gurun kecil megikutinya sigap. Kedua kadal gurun bertotol merah merayapi
ban depan bawah kemudi Ford Sierra tua milik lelaki bertopi Yangkees tadi. Lelaki
itu akan mampir sebentar ke kota lalu kembali lagi ke motel―pastinya tidak untuk
suatu hal yang bersangkutan dengan perayaan malam pergantian tahun. Mereka akan
cukup hangat dengan memperoleh tumpangan sampai di kota. Dalam perjalanan
menuju kota, Dadda menyenandungkan lagu Beyond The Sea dengan cemerlang dalam frekuensi suara yang tak mampu didengar oleh manusia. Dan kadal
gurun kecil mengikutinya dengan terbata-bata.
-o-
Jauh beberapa mil di belakang mobil pria bertopi Yankees tadi, “Kau mau
kuambilkan brendi di gudang belakang, Maggie?” tanya Matthew kepada Maggie.
SELESAI
Wah! Sangat Hemingway :D
BalasHapusWahahahah, iya ya? Emang suka mbaca referensi tulisan2 cerpen klasik
HapusMari belajar lebih dalam lagii...
Terima kasih sudah membaca, =)