Sabtu, 28 Desember 2013

Judgement



YOU! HEY YOU!


Pengecapan, dari kata dasar cap bukan kecap, atau bahasa kerennya, JUDGEMENT. Diiihhh.. Terdengar serem banget yaaa... Kayak di pengadilan, hakim. Hakim Bao! Inget?

Kenapa saya membahas ini? Tanpa diusut-usut, dikarenakan adanya twitt yang muncul di timeline twitter saya! “Being judged or being ignored?” Sebenarnya yang cukup mengena adalah kata judge-nya saja. Karena saya juga sering dibilang, “kowe i seneng ngejudge padahal rung reti akeh...”

Akhirnya saya bahaslah masalah ini dengan kawan di wasap... anak sosmed banget yey... jaman sekarang banget... mbahasnya di wasap, ga live aja? Di kosan lagi ga ada orang yang enak di ajak ngobrol beginian, jadilah mbahas di wasap. Jadi ya gitu deh...



Apa bedanya menge-judge dan menilai?
 
Karena saya kira, kawan saya yang bilang, “kowe i senengane menge-judge” dia sendiri juga telah menge-judge saya bukan? Lalu akhirnya saya berfikir lagi. Saya sendiri tidak sedang menge-judge, tapi sedang meNILAI yang bersifat analisis sementara, tidak permanen. Beda loh, beda... Akhirnya saya berkata kepada diri sendiri, mungkin kawan saya itu telah menilai saya, bukan menge-judge saya?
 
Judgement atau pengecapan terjadi berdasarkan penilaian. Judge atau cap terjadi berdasarkan nilai. Nilai dulu baru judge. Menilai dulu baru menge-judge. Menilai ada di dalam menge-judge. Menilai itu hak semua orang. Setara dengan memberikan pendapat. Yang kadang kurang terkondisikan adalah judgement yang terlalu dini. Belum mendapatkan data, bahan, atau nilai yang cukup lengkap sudah dicap! Tidak melihat seluk beluknya dulu. Semacam, “Ih, covernya datar banget... Monoton ih...” Tapi tidak melihat latar belakang konsep covernya yang monoton itu. Mungkin covernya bisa sesuai dengan judul atau isi atau bahasan bukunya? Semua-muanya ada latar belakangnya. Baru setelah dinilai atau diamati kumplit sampai kulitnya ngelotok dagingnya ketok, barulah silakan menge-judge. Nah, masalah pernyataan judgement yang terlalu dini... maka saya pun bertanya,


“Kapan judgement bisa dikatakan terlalu dini?”

Judgement itu sebenarnya tidak berlaku mutlak. Bukan masalah waktu, tapi seberapa dalam mengenal dan menilainya. Sedangkan orang menilai dari apa yang ditampilkan, apa yang diucapkan, dan apa yang dilakukan. Balik lagi kepada “cover” atau “pencitraan”. Ga usah membahas tentang “pencitraan” ya? Kemaren-kemaren udah dibahas mbak Najwa Shihab di Mata Najwa. Eniwei, ada loh temenku cewek (sebut saja Ajeng Setyo Wardhani) yang beli serial novel Agatha Christie dengan cover yang setema, buatannya Staven Andersen. Dan dihuntinglah semua novel Agatha Christie dengan tema cover itu semua, tanpa terkecuali! Juga novel-novel serial penulis lain, Sir Arthur Conan Doyle misalnya. Oke lanjut kepada judgement.
 
Menilai itu berlaku terus sampai mengenal lebih dekat-kat-kat. Kalau sudah bertahun-tahun ngerti dan kenal, baru bisa mengejudge yang sifatnya bisa berlaku panjang, atau hampir permanen, masih bisa berubah. Judgement bisa bersifat kaku ataupun fleksibel. Yah mirip-mirip dengan karakter lah, dia toleran atau enggak. Boleh saja menge-judge, kapan saja juga boleh. Cuma pakemnya masih selalu bisa berubah. Kalau judgement sifatnya kaku mentok di situ dan ga bisa berubah, itu yang disebut judgement yang kaku dan tidak toleran. Misal, “DIA PEMBUNUH!” diucapkan kepada seorang nara pidana yang membunuh, ya memang membunuh sih, tapi kalo setelah bebas dan si narapida yang kena judgement “DIA PEMBUNUH!” ga selama-lamanya akan membunuh terus kan? Lagi pula, mungkin saja membunuhnya itu punya alasan kuat misal membela diri atau membela anaknya? Misal Harry Potter membunuh Lord Voldemort? Haha, beda soal. Pokoknya bedaaaa aja. Aduh panjang kalo dijelasin... Kembali lagi ke judgement. Kalau sekalinya melakukan hal yang parah banget, yang dalem banget, ya capnya dalem banget juga, judgement sifatnya hampir permanen. Makin dalem capnya, makin kuat dan kaku sifat judgement-nya, dan akhirnya jatuh pada malas menilai lagi pada akhirnya. Oke sekian.

Kalau udah saking ga senengnya sama si anu si itu, ga akan kok sebel-sebel lagi, karena udah ga ngurus lagi, males menilai, dan males repot. Akhirnya ga peduli. Selese. Tingkatan paling ngenes adalah kalau sampai orang ga peduli sama kamu. Kesian.



Tulisan ini kebanyakan adalah hasil pemaparan Saudara Ni’am Rouf Azzaki, saya bertanya-tanya saja dan melengkapi paparan beliau. Beliau? Apeuuuu...


Final Judgement hanya milik Tuhan Yang Maha Esa.


Sabtu, 12 Oktober 2013

Dua Mata Sayu














Hai dua mata sayu yang saling beradu
di atas perahu yang mendayu-dayu...


Kami di sini...
Dua mata sayu yang saling asik bercumbu di kiri bahumu,
timur perahumu,
Lihatlat sini,
Hai dua mata sayu yang saling beradu...


AWAS!
Perahumu oleng,
Torpedo menyerang,
Serdadu menyerbu!

Kamis, 03 Oktober 2013

Angin Kencang Angin Lembut


~Kafka On The Shore oleh Haruki Murakami.

Angin kencang atau lembut pada akhirnya semua akan mati dan menghilang.

Minggu, 29 September 2013

Menumpuk



Dia senang menumpuk-numpuk sesuatu. Barang kali memang kesukaannya adalah menumpuk. Ada banyak cucian kotor menumpuk di belakang pintu. Juga cucian bersih menumpuk di sisi bawah kaki ranjangnya. Dan kertas-kertas menumpuk di atas meja. Pun sampah-sampah bungkus makanan menumpuk di atas tumpukan kertas-kertas. Kulit-kulit buah jeruk dilupakannya menumpuk di belakang tumpukan buku-bukunya. Mungkin dia sendiri adalah tumpukan masalah. Tumpukan dosa. Dosa-dosa kecil tak penting, seperti membayangkan bersetubuh dengan adiknya sendiritak penting bukan? Tak merugikan siapapunhingga dosa-dosa besar yang tak pantas untuk dituliskan di sini. Dia masih punya malu. Dan penulis sendiri pun malu untuk menuliskannya.



Jakarta, 1 hari sebelum 30 September 2013...

Senin, 23 September 2013

Minggu, 22 September 2013

Nyonya Kesepian Si Mata Nyalang


Dengarkanlah... Cerita tentang Nyonya Kesepian Si Mata Nyalang









"Matamu, mata nyalang!
Sungguhpun Nyonya Kesepian Si Mata Nyalang Tanpa Kekang."
"Wahai Tuan Kesepian Tanpa Kutang.
Aku di sini. Aku sudah tak nyalang lagi. Hanya mampu melintang dari ujung depan hingga belakang hitam lekam bak pecalang."
"Pecalang-pecalang pembawa parang yang akan berperang? Oh, mereka datang!
Bulan bengkak pun kalah dengan nyalang matamu. Tak usah gusar pada para pecalang berseragam perang pembawa parang.
Matamu, mata nyalang!
Kanan kiri depan belakang."




Arang jaran kepang, menyalak-nyalak kencang menang.
"Pecalang-pecalang datang berparang mau perang!"
"Pandanglah mataku,
Hai Nyonya Kesepian Si Mata Nyalang!"
"Tidak!
Pecalang-pecalang datang berparang mau perang!
Aku takut. Mereka bawa pasukan. Lihat! Mereka sudah menggedor-gedor pintu!"
"Tenang. Pecalang akan mati! Kita menang!
Lalu setelah itu, mari tuang arak, hai,
Nyonya Kesepian Si Mata nyalang!"
"Tidak! Mereka datang! Pecalang berparang mau perang!"
"Kau suruh saja kucing-kucing berkaki congklang di atas ranjang, keluar menyerang."
"Tidak! Mereka pasti akan roboh."
"Wahai Nyonya Kesepian Si Mata Nyalang. Kucing-kucingmu hebat. Pecalang-pecalang pembawa parang yang mau perang, akan bernasib malang. Sungguh."
"Tidak. Kucing-kucing berkaki congklang itu akan roboh.
Tidak! Mataku sudah tak nyalang lagi. Mataku sudah tenang. Tak mempan."
"Goblok! Matamu masih nyalang! Aku sudah datang dan MATAMU MASIH NYALANG! Sudah, segera suruh kucing-kucing congklang di atas ranjang memburu pecalang!"
"Tidak! Aku bilang tidak. Kasihan kucing-kucing congklang di atas ranjang!"
"PERSETAN. MATI KAU! Aku butuh matamu, mata nyalang. Aku tak ingin mati diserang pecalang."




Kucing-kucing berkaki congklang di atas ranjang mengeong-ngeong, kencang.
Terdengar jerit lengking suara perempuan, Nyonya Kesepian Si Mata Nyalang.
Nyonya Kesepian Si Mata Nyalang kini berganti Tuan Kesepian Si Mata Nyalang.
Pecalang-pecalang pembawa parang yang mau perang masuk menyerang.
Kucing-kucing berkaki congklang balik menyerang.
Mari, tuang arak.

Sabtu, 14 September 2013

Meninggalkan Atau Ditinggalkan?

Percakapan ini berawal dari pertanyaan seorang teman yang sekonyong-konyong menjadi brilian! “Meninggalkan atau ditinggalkan?”

Sontak saya langsung memilih meninggalkan dong, karena saya orang yang dengan gampangnya meninggalkan. Lagian ditinggalkan sangat tidak enak sekali—Konteksnya manusia ya, ingat, manusia, bukan barang. Bahkan, saya bercita-cita untuk mati duluan sebelum ibu saya meninggal.

Ada yang bilang, “meninggalkan itu berat juga...”
Ada yang bilang, “takut kecewa kalo meninggalkan...”
Ada yang bilang, “kalau lagi kepepet keadaan, milih meninggalkan...” >>> Ya iya sih ya!

Kemudian saya pun bertanya lagi pada salah seorang teman saya pada jam tengah malambiasanya jam tengah malam atau dini hari adalah jam orang-orang dapat berpikir dengan benar, dimana ia akan sungguh-sungguh sentimentil! 


“Meninggalkan atau ditinggalkan?”
“Ditinggalkan itu ga enak banget. Tapi kalau harus meninggalkan kok rasanya jahat amat...” Wow, berarti saya orang yang jahat amat ya? Haha.
“Pada meninggalkan, kita adalah subjek. Pada ditinggalkan, kita adalah objek. Subjek aktif. Objek biasanya pasif. Tapi ada temenku yang milih ditinggalkan. Awesome banget ga siiih... Mau-maunya jadi objek, pasif. Tapi keren.”
“Kok keren?”
“Nih! Dari situ, dia adalah orang yang kuat. Orang yang mau jadi objek adalah orang yang kuat. Dia seorang hamba 100% yang menghamba!”

“Oh, I see...”
“Konsep hidupnya Habluminannas. Siapapun boleh datang kepadanya, asal dia berguna. Siapapun boleh meninggalkannya, kalau dia sudah tak ada guna lagi. Ini butuh “nrimo” “ikhlas” banget ga sih? Iya kan?”
“Berarti dia menaruh orang lain di atas dirinya sendiri ya?”
“Iya, itu juga. Kalau sampai orang yang pernah meninggalkannya itu kembali lagi, berarti dia sudah meng-upgrade kualitas dirinya sehingga orang yang pernah meninggalkannya, mau kembali lagi padanya. Orang yang mau meninggalkan, 'kan juga orang yang bener-bener niat meninggalkan, dan meninggalkan juga hal berat.”
“Orang yang bisa menerima ditinggalkan adalah orang yang kuat? Kuat menangani diri sendiri, ikhlas menerima, juga memperbaiki diri untuk ditinggalkan, gitu?”
“Begitulah. Orang yang meninggalkan, level terendahnya bisa disebut orang yang suka lari. Orang yang suka melarikan diri.”
“Kalo kamu milih apa, Fel?”
“Aku? Aku lebih sering MENINGGALKAN DONG! HAHAHHAHAH. Suka lari. Ogah ribet. Tapi mau belajar ditinggalkan juga. Biar enteng.”


'Kan? Perbincangan dini hari sungguh-sungguh sangat... masuk akal, 'kan? Sentimentil, 'kan? Ya kan? Iyain aja deh... Sungguh-sungguh benar, tulus, lurus, dan serius! Wow.

Jadi, kalau kalian pilih mana? Meninggalkan atau ditinggalkan?

BYE! BYE! BYE! Beibeeehhhh...

Jumat, 26 Juli 2013

GIGI

“Aku suka lihat gigimu yang berantakan. Kalau kau tertawa, manis,” begitu kataku. Dalam hati.
------

GIGI

“Gigimu gingsul juga ya? Aku baru nyadar, gigimu morat-marit.”
“Iya, ga karu-karuan. Mungkin semua morat-marit.”
“Keliatan banget pas di poto morat-maritnya banyak.”
“Aku kepikiran ngawat gigi.”
“Udah, ga usah macem-macem ngawat gigi morat-maritmu. Orang kamu juga kalo di poto, sering mrenges mamerin gigimu kan?”
“Aslinya ya isin lah aku, bukan berarti ketawa-ketawa di poto artine bangga sama morat marit untu.”
“Kalo aku sih, lebih seneng liat orang untunya agak morat marit. Asal ga ganggu. Dan morat maritnya ga kebangeten. Manusia itu kan morat marit. Gigimu udah ada yang bolong?”
“Gigiku buaaanyyaak tambalane, udah sejak SMP bolong-bolong.”
“Udah pernah cabut gigi?”
“Belom. Aku pengen ke dokter gigi, tapi isin dan takut sakit. Udah gitu gigiku gak putih, bocel-bocel, ya bentuknya, ya warnanya, ya susunannya. Lha ini kayak segala kejelekan pergigian ada di aku semua.”
“Lagian warnamu coklat mateng, kalo gigimu terlalu putih, ntar terlalu kontras. Udah, yang diperhatiken gigi bolongmu aja, ga usah sama warna dan morat maritnya susunan.”
”HAHAHHAHA. Coklat mateng. Tapi yah, paling enggak, gak nggilani gitu laaaa...”
“Yah, yang penting gigi bolongmu segera kecabut gitu laaaa... Sakit bentar. Ntar sembuh. Dan, gingsul itu, katanya bikin manis... Tapi, punyamu, kebanyakan ya? Emang, ga rapimu, ganggu makanmu? Nyempil-nyempil di sana gitu? Engga kan?
Gak enak diliat.”
“Siapa yg bilang?”
Aku dewe, HAHAHAHAHAHAHA.”
Ada gitu yg bilang?”
Ya paling pada dibatin.”
“Pede!”
HAHAHAHAHAHA,”
“Ngapain juga mbatin gigimu.”
Soalnya ganggu.”
“Udah, ga rapi itu ga masalah... Asal ga njengat ke depan.”
“Ini berasa kayak jorok aja gitu, kayak kamu risih karena udah lama gak mandi.”
“Aku ga ngerasa keganggu sama morat marit untumu, dan juga aku ga komen seperti biasanya kepada orang-orang yang giginya ngganggu jorok, ‘he, ga kamu kawatin aja itu gigimu?’, enggak kan?”
“Iya enggak.”
“Yaudah.”


------
“Aku suka lihat gigimu yang berantakan. Kalau kau tertawa, manis,” begitu kataku. Dalam hati.

Jumat, 28 Juni 2013

Cerita Tentang Cerita (Tidak) Romantis


Oleh Failasufa An
“Sudah jadi. Sup macaroni kental buatanku—aku menambahkan sedikit maizena dan beberapa batang kayu manis. Kau pasti menyukainya.” Sang Lelaki menyodorkan mangkok berisi macaroni kental buatannya di atas meja, di depan Si Perempuan. “Supnya masih panas. Masih sangat perawan. Pancinya baru saja kuangkat dari kompor.”
“Tidak. Tidak. Aku tak suka makan makanan panas.” Lalu Si Perempuan mengangkat kedua tangannya ke samping lalu mengibas-ngibaskannya sebagai lambaian penolakan. “Makanan panas selalu menyengat lidah. Rasanya seperti ada ribuan tawon menyengat-nyengat dengan semangat ke lidahku. Aku juga tak suka menunggu. Menunggu itu mengesalkan! Lagipula mengapa kau taruh sup ini dalam mangkok? Kan lama dinginnya. Mengapa kau tak mengerti-mengerti juga?”
“Ya sudah, sini kutaruh piring saja.” Sang Lelaki dengan sabar menuruti apa yang diingini Si Perempuan. Memindahkan sup macaroni yang masih panas ke piring yang baru saja diambilnya dari dalam lemari dapurnya.
“Piringmu juga ceper sekali. Ini juga tak terlalu kental seperti katamu, mana bisa aku menyendoknya. Coba kalau kau sedikit saja lebih pintar. Buatlah sebuah mangkuk yang kecukupan untuk menampung sup panasmu yang tak cukup kental itu. Agar sup panasmu cepat dinginnya, dan ketika akan menyendok kuahnya pun mudah. Juga bentuknya yang cantik dan indah. Warnanya juga ceria berbunga-bunga. Itu kan akan lebih menyenangkan.”
Cerita itu berlangsung pada tahun-tahun dimana masih tak ada berbagai macam bentuk barang porselen keperluan dapur. Tak ada mangkok sup, tak ada sendok sup, tak ada juga mangkok yang ukurannya besar sekali, bentuknya juga masih sangat payah tak karuan tanpa secuil keindahan sedikitpun. Warnanya semua pucat. Tak ada warna-warna lain selain putih. Hanya putih-putih-putih-dan-putih! Dan bulat-bulat-bulat-dan-bulat!


Bertahun-tahun kemudian. Tujuh tahun tepatnya. Sang Lelaki membawakan hadiah buatannya sendiri kepada Si Perempuan. Mangkok sup yang indahnya rupawan. Molek. Cantik. Bulat—bulat yang tak sepenuhnya bulat. Lekuknya aduhai bak alunan ombak yang tenang. Warnanya memukau mata siapa saja yang melihatnya. Porselen dasarnya entah mengapa bisa berwarna pink. Dibubuhi penuh corak bunga-bunga merekah segar di sana-sini, merah, kuning, nila, ungu, jingga, orange, dan hijau. Keindahan corak bunga-bunga itu tak hanya indah dilihat, namun terasa juga ketika diraba. Timbul. Bergelombang-gelombang. Menimbulkan sensasi yang berbeda. Mungkin rasanya selevel dengan ketika engkau mulai ‘tegang’. Seperti itulah rasanya ketika kau meraba-rabanya. Mula-mula kau akan meraba-raba dengan biasa-biasa saja. Lembut dan licin, halus—kadang kasar karena tekstur pada corak bunga-bunganya, dingin—dingin yang lama-lama menghangat karena kau terus mengelus-elusnya lembut, dan diakhiri dengan sisi pinggirnya yang melandai 100% sempurna. Lalu lama-lama kau akan mampu meraba-rabanya dengan hikmat. Ia seperti mangkuk yang hidup. Mangkuk sup yang mempesona sekali. Ini adalah mangkuk sup terindah pertama di dunia. 


“Sudah jadi. Aku membuatkan ini untukmu.” Kata Sang Lelaki yang telah berhasil membuat studio porselen miliknya sendiri, kembali menyodorkan mangkok sup seperti tujuh tahun lalu—kali ini tanpa sup—kepada Si Perempuan. “Mangkuk sup pertama yang terindah di dunia."
"Ah terima kasih kawan, kau baik sekali.” Ujar Si Perempuan sambil membolak-balikkan mangkuk itu tanpa maksud apapun. “Ah, Hei, aku lupa mengabarimu. Aku akan menikah bulan depan. Aku ingin kau datang ke pernikahanku. Kau tak apa kan?"
“Tak apa. Aku akan datang dengan senang hati.”
“Bagus sekali. Aku suka mangkuk ini.” Lantas ia masyuk sendiri memain-mainkan mainan barunya, mangkuk sup pertama dan terindah di dunia yang terbuat dari porselen, mangkuk buatan Sang Lelaki.
Namun di sisi lain. Sang Lelaki memandang menerawang mengabur melanglang ke arah padang rumput yang mengering di depannya. Saut-sautan burung gereja yang beterbangan cukup tinggi pun bahkan mampu ia dengarkan dengan saksama. Lonceng gereja yang berada di desa seberang, yang biasanya dentangnya terdengar sayup-sayup, kini terdengar makin jelas di telinganya, atau mungkin hanya sebatas imajinasi saja.


~O~


Selesai. Cerita ini kuberi judul, ‘Mangkuk Sup Terindah Pertama di Dunia’. Apakah ini sudah termasuk cerita romantis menurutmu?
Oh bukan ya? Aku tau, aku tak begitu pandai mengarang cerita romantis seperti buku-buku roman yang kau sukaChekov, Tolstoy, Jane Austen, Bronte Sisters, Ivan Turgenev, dan lain-lainnya, aku tak terlalu hafal. Kau tau, aku hanya pernah sekali saja membaca cerita roman, Romeo dan Juliet karya Shakespear. Hahaha. O iya, juga William Shakespear tentunya, salah satu penulis roman favoritmu. Aku lupa menyebutkannya. Maaf. Tapi tak apa. Setidaknya aku sudah mencoba mengarang cerita romantis untukmu, yang mungkin memang tak romantis. Aku akan senang hati juga kala engkau sudi mendengarkanku bercerita tentang cerita yang tak romantis ini. Kau akan mendengarkanku bercerita, bukan?

SELESAI

Senin, 24 Juni 2013

Jatuh Cintalah Tanpa Ke'aku'an



Aku jatuh cinta.
Pada tiga orang gadis, dan seorang wanita, juga beberapa lelaki.



Cinta itu tidak mengikat.
Hanya jatuh cinta saja.
Seorang teman SD-ku dan juga teman SMA-ku, Hana Siva namanya.
Seorang teman SMA-ku yang juga temannya teman SD-ku itu, Syani Masinta Suri namanya.
Seorang teman yang kutemukan di Jogja. Alfu Laila namanya.
Seorang wanita, tentu ibuku. Sri Darmawati namanya.



Aku tak mengharapkan apa-apa dari mereka.
Aku hanya senang jika bertemu dengannya. Senang yang malu-malu.
Aku menggunakan hatiku untuk mereka. Bukan berarti kepada yang lain aku tak menggunakan hati. Kepada mereka, aku mempersembahkan banyak.
Jatuh cintaku ada cirinya.
Seperti.



Kepada Hana, ketika SD aku rela berjalan kaki sekitar satu atau dua kilometer usai pulang sekolah. Rumah kami searah. Bedanya, Hana 2 km dari sekolah, Aku 18 km dari sekolah. Tentu setelah sampai pada ujung jalan Hana harus belok, aku lanjut naik bis, pulang ke rumah. Aku hanya senang berjalan kaki bersama Hana. Kami tak bergandengan tangan. Tak pernah.
Kepada Hana, ketika SMA setelah aku bersepeda motor ke sekolah, aku selalu mengantarkan Hana pulang masuk ke gang senggol menuju rumahnya. Tanpa bayaran. Tanpa harapan Hana akan berlaku begitu juga padaku. Paling-paling, aku hanya memintanya dengan menggodanya, “yang mbonceng, yang bayar parkir.” untuk membayar parkir jikalau kami berdua bermotor akan ke suatu tempat setelah pulang sekolah. Dan aku senang menggoda Hana. Misalnya lagi ketika menyeberangi lampu lalu lintas, dan Hana tak memakai helm. Maka aku menyuruhnya turun dari motor, "Han, nyabrango, ga ngganggo helem sih, tak enteni seberang bangjo yo, sampe  ga ketok karo pak polisi. Ngko bonceng aku meneh trus nek ono polisi meneh, mudun meneh ya. Hahahahhaha. Cepet Han! Mlayu, Han!" Dan Ia mencibir padaku. Hana menarik untuk digoda. Ekspresi sebalnya itu, lucu sekali. Aku senang melihatnya sebal.



Kepada Sinta, aku sungguh-sungguh sedih ketika dia kecelakaan motor. Jarang-jarang aku bersedih untuk seorang temanmungkin hatiku sekeras baja, hingga sulit disusupi. Hanya sedikit orang saja yang kuperbolehkan menghuni hatiku.
Kepada Sinta, aku hadiahi dia sebuah pin mungil kecil ketika dia berulang tahun. Ini pertama kalinya aku mengado dengan hati dan dengan malu-malu. Aku pesankan dahulu pin tersebut, terpatri namanya di pin, Syani Masinta Suri. Dan aku malu-malu menyerahkannya kepadanya. Aku tak membungkusnya. Aku hanya memasukkannya ke kantong plastik bening kecil, kumasuki beberapa receh entah berapa jumlahnya, dan kukunci menggunakan seteples yang diiringi dengan permen-permen seharga ratusan rupiah mengitari bungkus plastik bening kecil tersebut. Itu juga atas saran Hana agar membungkus kado pin untuk Sinta. Dan itulah hasilnya. Dibungkus dengan plastik bening kecil yang dikeliling permen-permen murahan. Dan kuserahkan dengan malu-malu. "Nih! Kado."



Hana, Sinta, dan Aku satu sekolah ketika SMA. Saat itu, Hana belum begitu akrab dengan Sinta. Karena kami bertiga sama sekali tak pernah sekelas berbarengan. Yang ada hanyalah, Hana dan Aku sekelas di kelas 3 SMA, Hana dan Sinta sekelas di kelas 2 SMA. Sinta dan Aku sekelas di kelas 1 SMA. Namun sampai kelas 3 SMA akan lulus, Sinta dan Hana hanya saling kenal.



Kepada Alfu, aku juga pernah mengado Alfu hadiah ulang tahunnya. Sebuah buku yang kubungkus apik. Dan kuserahkan dengan malu-malu.
Kepada Alfu, aku akan senang dan berbunga-bunga jika bertemu dengannya. Aku senang tidur satu kasur dengannya. Dan mengobrol apa saja dengannya. Dia orang yang menarik menurutku. Antara orang polos, lugu, kaku, unik, dan klenik! Dia tertarik kepada sesuatu yang langka, aneh, dan magic! Dia pelanggan website primbon.com. Dia juga senang membaca tarot. Dan membaca hal-hal berbau pengetahuan sejarah yang aku kebanyakan tak tahu. Alfu senang menceritakan apa-apa yang dia ketahui yang dia baca. Dan aku senang didongei! Pas.
Kepada Alfu, aku mendatangi seminar skripsinya. Dia Fakultas Pertanian. Aku Fakultas Teknik. Kalau sampai aku rela mendatangi dan peduli kepada seminar seseorang yang tidak satu gedung denganku yang artinya aku tak paham materi seminarnya, maka artinya aku telah jatuh cinta padanya.



Begitulah cirinya.
Aku jarang mengado. Aku hanya mengado kepada seseorang yang benar-benar mampu merebut hatiku. Dan biasanya aku mengado dengan benda yang kurang terhormat.  Dan dibarengi dengan penyerahan kado yang malu-malu.



Kepada ibuku. Sri Darmawati. Aku mengado indomie, karena ibuku senang indomie. Ketika itu aku masih SMA.
Kepada ibuku. Sri Darmawati. Aku menuliskan surat cinta kepadanya yang sampai sekarang bahkan tak pernah kuserahkan kepadanya.



Kepada beberapa lelaki. Tentu mereka sahabat-sahabatku yang sangat kuhormati dan hargai. Tak perlu kusebutkan namanya, nanti pacar-pacar mereka menimpukiku. Aku tak mau.



Ungkapan kejatuhcintaanku cukup aneh ya?
Kepada mereka, aku memberi spasi antara hidupnya dan hidupku. Begitu pun mereka. Kita telah hidup sendiri-sendiri dengan kesibukan sendiri-sendiri dengan kepentingan sendiri-sendiri. Aku tak menuntut mereka untuk mencintaiku balik. Aku hanya jatuh cinta. Jatuh cintalah tanpa “keakuan”. Tanpa beban, tanpa ikatan, tanpa paksaan, tanpa harapan. Hanya jatuh cinta. Jatuh cintalah tanpa “keakuan”. Kau akan mengerti rasanya terbang. Seperti burung.





“Menjauhlah agar mampu merasakan dekat.” ~ini ngutip, lupa siapa.