Jumat, 02 Oktober 2020

Perbedaan Merawat Anak Kucing VS Merawat Anak

I have a story for you. Perbedaan merawat anak kucing dan anak manusia.


Eh bukan story, bukan. Opini saja.

Pertama kali saya akan membuka dengan kalimat,


Kalau ada orang berkomentar kepada Biruni, yang secara tidak langsung tentu saja mereka berbicara kepada saya, “Biruni sudah saatnya punya adek tuh!” Maka saya akan dengan tidak sopan berkata, “NUOOOOOO!!!!” Batinku, “Mbuahmu!”


Urusan anak, bukan saja soal tanggung jawab materiil, bukan lagi perkara rejeki Allah yang mengatur, namun lebih besar kepada tanggung jawab morilnya. Kesiapan mental kedua orang tuanya. Tapi kalo pun diberi rejeki anak, artinya memang sudah ketetapan Allah, yang artinya memang sudah kudu meningkatkan iman taqwa dan akhlakul karimah ke level lebih tinggi lagi.


Perkara anak kedua, ketiga, keempat, dst bagi saya saat ini masih lah berat. Kami berdua, terutama saya, bukan tipikal ibu-ibu perawat yang bersahaja. Malah lebih teliti suami saya soal teknis take care of another.


Akhirnya kami berdua memutuskan memilih hidup bertiga saja dulu sekarang, setahun lagi, dua tahun lagi, hingga waktu yang tak ditentukan.


Eh sekarang, ternyata Allah memberikan takdir lain. Baru beberapa hari yang lalu, seekor anak kucing datang kepada kami dengan kondisi lumpuh karena penyakit, bukan karena kecelakaan ataupun disakiti orang.


Well, kami berdua tidak tega dan akhirnya membawanya ke klinik Petsmile Doknyom dan endingnya merawatnya sampai waktu yang entah kapan, karena belom ada niatan untuk mengadopsinya.


Yang kami rasakan saat ini adalah, ternyata merawat hewan, stray cat kasusnya di sini, bisa menumbuhkan atau mengembangkan rasa cinta kasih kami berdua. Padahal kami tak pernah sama sekali memiliki hewan peliharaan. Jadi ini adalah pertama kalinya baik bagi suami maupun saya sendiri. Ternyata bukan hanya kepada anak saja rasa tersebut bisa berkembang. Namun kepada makhluk hidup yang sudah kami rawat dan jaga setiap harinya di dalam satu atap.


Akan tetapi inti dari tulisan yang akan saya sampaikan di sini adalah... Berbeda ukuran tanggung jawabnya antara merawat anak manusia dan merawat anak kucing. Kepada anak, dititipkan bekal untuk memupuk, menumbuhkan, mental, spiritual, dan intelejensinya. Kepada kucing tidak. Bedanya di situ. Kepada peliharaan, kita tak berharap apa-apa. Hanya berharap mereka sehat dan bahagia. Sudah. Berharap mereka punya banyak anak? Noooo.. kecuali memang sengaja diternakkan. 


Kepada anak, tak mudah untuk menumbuhkan rasa sesederhana sehat dan bahagia saja. Karena bagi manusia, sehat dan bahagia adalah merupakan perpaduan yang rumit dan lumayan sulit untuk dikelola. Alias harus pandai-pandai menejemen hati yang berbalik kepada kecerdasan emosi dan spiritual agar lebih kuat pegangan hidupnya dan tak mudah terombang ambing badai dunia. 


Kembali lagi, kecerdasan spiritual pun ternyata tak cukup untuk dapat menjamin hidup yang sehat. Kesehatan ada harganya pula. Kembali lagi ke materiil. Alhasil, semua sebaiknya dirangkul. Kecerdasan Spiritual, Intelegensi, dan emosi. Ternyata sulit ya untuk menyiapkan semua itu untuk anak? Karena merawat anak bukanlah hal mudah. Berbeda dengan merawat kucing. Walaupun merawat kucing pun bukan hal yang mudah pula. Mereka hanya berbeda beban dan tanggung jawab.


Lihat saja, anak kucing sudah bisa berjalan lancar ketika umurnya baru 1 atau 2 bulan? Anak manusia? 12 bulan sepertnya paling cepat. Anak kucing bisa lepas dari induknya sekitar usia 4 bulan. Anak manusia? Tentu saja sampai kuliah pun kadang masih membutuhkan sangat bantuan dari orang tuanya. Semua itu karena anak manusia perlu mengembangkan persoalan psikis, mental, emosi, dan kecerdasan-kecerdasan lainnya agar anak manusia bisa survive hidup di dunia yang lumayan carut marut ini.


Finn. Selamat berakhir pekan.

Jumat, 10 Februari 2017

Being In A Relationship Makes You Someone Else

nyomot dari google

Ini adalah postingan pertama saya di blog tahun 2017setelah sekian lama saya tidak ngeblog walaupun saya bukan seorang blogger. Lama sekali ya saya tidak ngeblog? Tidak nggedebus? Tidak nyampah puisi-puisi jahanam dan patah hati? Iya, karena saya masih disibukkan oleh urusan perumahtanggaan yang menurut saya baru. Lalu apa hal penting yang akhirnya membuat saya ingin menulis lagi? Yaitu, KEGELISAHAN. 

Saya gelisah, maka saya menulis. Saya gelisah tentang, keinginan saya yang ter-pause atau koma. Sudah empat bulan ini saya menikah dan saya tidak menulis esai ataupun cerpen, dan juga tidak menggambar. Holy crab! Saya main piano hanya ketika sedang marah saja. Ya! Main piano ketika marah saja. Jenius. Dan kalau ada waktu luang saya membaca buku atau main game atau cuddle-cuddle sama suami—sungguh, mata saya tidak bisa beralih dari suami kalau suami sudah sampai rumah, rasanya pengen peluk-peluk terus-terus-terus-terus  tidur. Sibuknya saya ya, kerja, urusan perumah tanggaan, beberes dan memasak dan kenyang setelah makan malam. Bukan saya tidak suka memasak, saya suka. Bukan saya tidak suka beberes. Saya suka. Namun hal tersebut tak henti-hentinya berjalan. Kemudian saya berpikir lagi, bagaimana nanti kalau anak saya lahir? Pasti saya akan sangat sibuk dan bisa-bisa saya makin tidak mengenali diri saya sendiri. Wah tidak boleh saya begini terus. Bisa berabe. Intinya saya harus naik level, bisa bagi waktu, tidak malas-malasan, dan tetap produktif pintar-pintar mencuri waktu agar saya tetap mengenal seorang Fela dalam diri saya sendiri. 

Sekarang saya merasa sangat ibu-ibu sekali, saya merasa kehilangan sebagian diri saya. Well, kalau kata Nadia, “being in a relationship makes you someone else, youre not 100 percent you anymore.” Saya yang dulu lumayan produktif walau tetap suka tidur, sekarang saya merasa produktif tetapi juga sungguh begitu tidak produktif. Saya produktif memasak, suami senang saya senang sekaligus lega. Tetapi saya kehilangan waktu untuk diri saya sendiri karena sudah terlanjur lelah ini itu. Oleh karena itu ini adalah langkah awal saya, menulis. Ya, saya akan menulis lagi. Tidak butuh banyak tenaga untuk menulis. Hanya butuh fokus. Sudah lama juga saya tidak menulis cerpen. Maka tulisan ini adalah proses awal pemanasan sebelum saya menulis cerpen lagi. Yay!

Lantas? Intinya, bersenang-senanglah selagi single! Lakukan apa yang kamu ingin lakukan (asal sesuai norma dan kaidah yang berlaku) selagi sempat. Mau mbisnis ya mbisnis, untung alhamdulillah, rugi ya yang menerima diri sendiri ga ada yang mencaci maki, wong hidup untuk diri sendiri. Untungnya juga jaman dulu saya sudah pernah mbolang, tentunya pakai tabungan sendiri. Sekarang? Boro-boro mbolang, karena semua pengeluaran harus diperhitungkan bos! Buat rencana masa depan, buat persiapan kelahiran, buat bayi, dan buat cicil rumah! Dunia sudah berubah brother setelah engkau menikah... Mencicil rumah... ternyata berat... Harga tanah semakin melambung... Yang ada yowes pasrah, urip sik duwe yo sik kuwoso. Sik penting manut bojo dan ikhlas... Dan pelan-pelan, saya akan menjadi dan menguasai diri sendiri lagi. I can do want i wanna do!

Nb: 
1. Tau ga? Ikhlas juga berat brother... Perlu belajar. Hayok belajar ikhlas. Lama-lama saya harus ikhlas untuk menjadi seorang istri dan ibu... Endingnya ini sok wise. Beneran. Saya tidak sebaik itu. Haha. Tapi saya harap saya bisa berubah untuk menjadi orang yang lebih baik lagi.

2. This is life. Ini realita. Hidup tidak seindah yang engkau bayangkan brother. Kita tinggal di Indonesia yang pemikirannya adalah setiap wanita harus menikah dan punya anak, kalau tidak saya akan dijuluki kamu perawan tua yang tidak laku dan mendapatkan sorotan mata kasihan dari para sesepuh, "kasihan kok tidak menikah-nikah dan belom ketemu jodoh, mungkin terlalu fokus karir atau terlalu idealis". Sekaligus saya juga seorang beragama Islam yang mana menikah adalah untuk menyalurkan hasrat birahi saya daripada dosa. Haha. Tidak-tidak. Tidak cuma itu maksudnya. Adalah untuk membuat anak melanjutkan keturunan yang nggenah dan bisa saya tanami kebaikan-kebaikan dan saya jejeli pemikiran saya biar ra kewer-kewer koyok wong saiki! Satu lagi, saya sudah jatuh cinta maka saya menikah. Saya senang melihat dia setiap hari dan tertawa.

Senin, 14 November 2016

Kenapa Kamu Pengen Menikah?

"Kenapa kamu pengen menikah?"
"Karena agar ada patner menyenangkan untuk mencicil rumah..."
"Sesimpel itu?"
"Yeah..."
"Kalo rumahnya sudah lunas?"
"Kan masih ada persoalan patner menyenangkan itu juga yang harus diurus... Karena urusan tentang dia ga akan pernah lunas sampai kapan pun. Saya senang mengurusnya."

Allah Memang Yang Maha Bercanda

Men.. saya balik lagi nulis. Yay! Biar tetep bisa dibilang punya blog lah, ga ditelantarkan doang. Kadang diisi, kadang (di)kosong(i)..


Jadi begini, now, i'm merried woman. Wow. I have a husband and i love him with all my mind and my heart. Ya kadang sebel-sebel kesel sampe pengen bilang, "gileee.. Guwa harus gini amat ya nikah sama orang kayak dia? Kampret dah! Pengen kabur.. kabur-kabur.. bakar-bakar.. Kabur aja deh.." Tapi ya kemudian itu cuma tercuat di pikiran doang, saya sebagai istri solihah gitu ga boleh maen kabur begitu aja kalo lagi marahan sama suami. Aturan di Islam kan kalo pergi harus ijin suami. Nah balik lagi ke adaptasi ya setelah berkeluarga, baik itu adaptasi kebiasaan, karakter, dan waktu! Obviously, Saya masih belom terbiasa dengan ritme emak-emak yang masak tiap hari--saya baru menikah 28 hari ya Allah, dan suami suka sekali dimasakin istrinya, bagaimana mungkin saya tega untuk tidak memasakkan suami menu makan siang dan makan malam?-- Suami sebenernya ga nuntut harus masak macem-macem sih, telur dadar aja dia udah suka. Cuma sayanya yang kesian kalo suami makannya itu-itu melulu, kan bosan ntar.. Akhirnya dengan saya yang belom biasa memasak dan belajar memasak dengan level di atas telur dadar, kan ya butuh waktu masak lama kan ya... Dan dar! Saya masih susah membagi waktu dengan diri saya sendiri (kayaknya saya kebanyakan procastination juga) baik itu menggambar atau pun membaca buku.

Kamis, 19 Mei 2016

S E D I H

F: "Eniwey, aku punya taneman kaktus, mati."
F: "Sedih."
P: "Iya, sedih ya kalo miara-miara terus mati,"
P: "Kucingnya Raditya Dika juga mati."
F: "Iya kasian patah hati pasti."
F: "Udah melihara terus mati."
F: "Aku kebanyakan air kalo nyirami kayaknya. Padahal daunnya kalo kena air busuk. Ini satu-satu daunnya busuk kena air. Sedih. Deh. Busuk. Trus mati."
F: "Kalo kucinge Raditya Dika mati kenapa?"
P: "Gak tau."
P: "Pulang-pulang dari New York. Mati."

Sedih.
Sekian dan terima kasih.

Kesedihanku semakin memburai. Perlahan-lahan kulihat dia membusuk terus menerus hingga menjadi humus.
Ia masih di dalam kamarku, yang kulihat terus setiap hari. Sedih.