Calon Oil Painting sayah! Judulnya: The Collector |
| Failasufa Karima A.N.
Pada suatu masa sepasang sejoli
sedang dipadu bermesra di pinggir sawah sore hari. Terkadang angin sepoi-sepoi
mengganggu mereka sedikit.
Herman dan Kancutnya
Tatkala seekor burung prenjak
membuang tai di atas bahu si Lelaki, percakapan kedua sejoli tersebut telah
pecah!
“Kamu itu ruwet! Mbok sekali-sekali simpel kayak cawat! Nyaman dan mudah dipakai.
Andaikan kotor tinggal cuci!” sentak si Lelaki sebal seraya memagut-magutkan kepalanya
ke telapak tangannya seperti burung dara mencocok biji jagung. Maka sang wanita
jengkel pula lantas menjawab, “Iya. Seumpama bolong juga bisa diganti! Saya
tidak mau sampean ada kesempatan untuk mengganti saya. Oleh karena itu, saya
tidak mau disejajarkan dengan kancut sampean!”
“Halah. Terlalu serius kamu itu
menanggapi omongan saya. Saya ini seorang gentleman,
ambil satu tidak akan ganti dengan yang lain.” Si Lekaki mengelak.
“Bohong. Wong kancut sampean bukan GT
Man!” Sang wanita menangkis elakan.
“Iya. Memang bukan. Cawat saya
Rider.” Akhirnya si Lelaki pun mengaku.
“Rider itu apanya Kamen Rider?” Dan pertandingan
ping-pong adu mulut kian tak karuan.
“Ga eruh dek! Sudah, kamu ganti nama sajalah! Biar saya mudah
melafalkan namamu. Kalau mudah melafalkan namamu, pasti saya lekas mengawinimu.” Si
lelaki melambungkan umpan.
“Mbahmu mas!” Lantas Si lelaki
mendapatkan smash tajam dari Sang Wanita.
Lantas si lelaki megap-megap, “Sebentar
toh... belum apa-apa sudah ngamuk. Saya belum selesai mengutarakan perihal
sangat serius mengenai penggantian namamu,” jelas si Lelaki perlahan dan menjaga
intonasi tetap kalem. “Penggantian ini akan mencuatkan keuntungan-keuntungan
yang mungkin tidak kamu sadari. Satu, sudah saya katakan sebelumnya bahwa saya
akan mudah melafalkan namamu andaikata namamu lebih simpel lantas kita cepat
kawin. Kamu tahu toh aturan ijab qabul yang mengatakan bahwa sang mempelai
pria, yaitu saya sendiri, yang dibebani hafalan nama kalian, sang mempelai
wanita dan bapak mempelai wanita, menjadikan ijab qabul merupakan tugas berat!”
Ditegapkannya badan kekarnya dan ia tatap wanita yang matanya sudah nampak
seperti bola bekel siap memantul-mantul. Lanjutnya, “Dua, agar kamu menjadi
lebih simpel seketika itu juga dengan namamu telah diubah menjadi lebih simpel dan
tidak seruwet sekarang ini. Tiga... belum terpikirakan keuntungan ketiga dan ke
empat dan selanjutnya.”
“Salah! Tiga... kamu itu bisu! Jadi
tidak akan bisa mengucapkan nama lengkap saya semudah apapun bentuk nama itu. Empat...
saya belum ingin kawin, serius! Dan sampean, mas Herman Tercinta, sudah tau itu
dari dulu!” Sang wanita kembali menyemash
tajam!
“Lah, Tiga... kalau saya bisu, selama
ini saya ngomong sama kamu, pakai apa hayoh? Empat... ya siapa tau kamu sudah
berubah pikiran.” Smash masih dapat
ditangkap namun ternyata umpan tersangkut ke jaring.
“Lah, Tiga... pakai tubuh toh? Bersetubuh!
Pakai ngencuk! Lubangku dan anumu! Empat... saya belum mengubah pikiran saya.”
Sang Wanita ternyata masih kuat melakukan serangan balik. Tukikan tajam!
“Lambemu dek... dek... Mengapa engkau
mengatai bahwa saya bisu?” Serangan masih bisa dihadang dengan keringat
bercucuran dan kaki pegal-pegal.
“Karena sampean ndak bisa-bisa
mengucapkan nama saya dengan benar! Hanya nama depan saja, Failasufa, tidak
pernah benar sekalipun.” Lantas si Lelaki pun kuyu tak berdaya.
“Filosof kan artinya? Iya. Yang
penting artinya sudah nyangkut di kepala saya, tak cukupkah buat engkau, dek?
Sungguh-sungguh orang sepertimu, filosof, tukang mikir yang ribet!
Ngomong-ngomong ijab qabulnya orang bisu itu seperti apa ya?” ujar Si Lelaki
berusaha membelokkan pembicaraan.
“Entahlah mas. Coba saja cari di
google. Mungin sampean akan nemu.”
Ternyata usaha si Lelaki berhasil.
Sang Wanita redam sejenak.
Failasufa, Anak, dan Tuhan
Pada pertemuan kesekian selagi
sarapan di warung dekat sawah—kali ini tak akan ada burung prenjak yang membuang tai di
atasnya, Sang Wanita membuka pembicaraan, “Sampean tahu tidak, kalau saya
antara pengen dan tidak pengen punya anak. Saya pusing memutuskannya.”
“Mengapa harus pusing memikirkan?
Biarkan saja seterjadi-terjadinya. Terlalu banyak berpikir pasti akan memusingkan
kepala,” ujar si Lelaki seperti biasanya, berusaha menenangkan.
“Justru itu! Saya membenci sesuatu
yang bergerak tanpa direncakan. Segala sesuatu harus dipikirkan aksi-reaksi,
sebab-akibatnya. Agar bumi ini tidak rusak! Oleh karena itu saya belum ingin
menikah dengan sampean,” geram Sang Wanita sembari menggebrakkan tangan ke
meja.
“Ya, kan kita bisa pikirkan setelahnya,
punya anak bisa ditunda.” Si Lelaki menjawab sambil menjumput mendoan di
piring Sang Wanita.
“Mengapa sampean ambil mendoan saya
lagi? Ambil sendiri sana!” sentak Sang Wanita.
“Di piringmu kan ada tiga, saya ambil
satu masih dua.” Sembari mengunyah Si lelaki menatap wajah Sang Wanita, lantas ia menarik
lengkung bibirnya ke atas, matanya nampak bening berkaca-kaca, dan ia
melanjutkan mengunyah mendoan asyik sekali.
“Saya kepingin juga mempunyai anak,
bahkan banyak anak! Anak-anak yang banyak!” Ternyata Sang Wanita berhasil
diredamkan lagi oleh Si Lelaki. “Fasilitas yang dikasih Tuhan ini sayang untuk
tidak digunakan. Sel telur di ovarium dalam tubuh saya, akan terbuang percuma.
Juga sperma sampean mas! Akan mubazir juga! Akan tetapi, bumi ini sudah penuh
dengan manusia lantaran kita manusia selalu beranak pinak. Lagipula ya mas,
jikalau menunda anak setelah menikah, pasti nanti keluarga besar kita akan siap
menodong dengan pertanyaan, ‘kapan punya anak?’ Ya Tuhanku... Malas sekali saya
menjawabnya.”
“Yasudah, besok saya saja yang
jawab.” Si Lelaki benar-benar berbakat menjadi pendengar yang baik.
“Memangnya sampean mau jawab apa?”
“Masih belum tahu.” Si Lelaki masih menampakkan
wajah tersenyumnya yang mirip dengan senyum platipus. Ada kemungkinan Sang Wanita hampir selalu terenyuh tiap melihat senyum platipus kekasihnya.
Tertulis di akta kelahiran Si Wanita,
Failasufa, Failasufa Filsufi Failusufi Filsufa Failusufu Failasufi. Entah atas
wangsit apa bapak Failasufa menamai anak pertamanya dengan nama yang sebegitu susah,
panjang, dan aneh. Tidak ada yang tau. Dengan cara apa pula kami akan menanyai
mereka, wong Failasufa sudah piatu sejak lahir, dan lengkap menjadi yatim piatu
semenjak berumur 8 bulan lebih 18 hari. Seketika itu juga,si bapak menitipkan
bayi piatu itu ke adik perempuan si bapak, tepat sebelum beliau wafat. Si Bapak
hanya sempat melafalkan nama Failasufa, anak semata wayangnya, berulang-ulang
ke telinga adiknya. Mungkin adik si bapak itu salah dengar, bisa juga. Namun
adik si bapak yakin sekali bahwa arti nama keponakannya adalah Filosof. Mungkin
juga tukang tulis akta kelahiran saat itu sedang melamun ketika menuliskan nama
bayi Failasufa Filsufi Failusufi Filsufa Failusufu Failasufi. Itu bisa saja
terjadi loh! Akan tetapi entahlah, tidak ada yang tahu tepatnya bagaimana.
Failasufa memiliki mimpi yang sangat
mulia, ia tak ingin memenuh-menuhi bumi dengan bayi-bayi yang nantinya pasti
akan tumbuh besar―apabia Tuhan mengizinkannya. Satu bayi akan berkembang biak berkali-kali
lipat sedangkan luas permukaan tanah sudah mulai habis, bumi rusak, dan
kriminalitas telah bersimaharajalela. Failasufa tak tega mellihat keadaan
sekarang ini. Ia hampir tak mengizinkan calon keturunannya untuk meninggali dunia
yang kian fana. Namun di lain pihak, ia mengingingkan banyak anak, untuk meneruskan
pewarisan dari gen dan produk pemikirannya yang siap ditanamkan pada
anak-anaknya nanti. Manusia memang sudah diciptakan sepaket dengan egoismenya
yang tinggi. Herman apalagi. Dia pemuja Failasufa dan ingin memperbaiki
keturunan. Ia sadar bahwa ia adalah lelaki yang kurang pandai di luar bidang pekerjaannya dan penurut sehingga ia
membutuhkan sosok Failasufa yang tangkas dan cergas sebagai betinanya dan induk bagi anak-anaknya
kelak. Ia tak mampu membangun keluarga apabila betinanya adalah seorang wanita yang penurut pula.
“Sampean kerjanya masih nanti toh? Kita duduk
dulu di depan ya,” tanya Sang Wanita. Si Lelaki menjawab iya dengan nada yang
sangat nurut. Diskusi mereka lanjutkan di lincak depan warung. Kebetulan saat
itu warung sedang sepi, sehingga mereka masih leluas berbicara. Mereka sudah
biasa dengan adanya simbok di balik warung tersebut manakala mereka asyik
memperbincangkan hal-hak tidak umum ngalor-ngidul. Kemungkinan besar simbok
turut mencuri dengar tetapi tak apalah, wong simbok ini berbicara jika perlu
saja, bukan tipe penggosip.
“Sampean tahu tidak,” hampir selalu
Sang Wanita yang memulai pembicaraan, “andaikata saya punya banyak anak, pasti
nanti saya akan terlalu cinta kepada anak-anak saya. Saya takut, cinta saya
pada Tuhan bergeser karena kehadiran cinta pada anak di hati saya. Nanti Tuhan
cemburu. Sampean tahu tidak, saya pernah membaca bahwa anak adalah titipan
Tuhan dan merupakan godaan cinta hambaNya untuk Tuhan. Sehingga anak, istri
atau suami adalah godaan.”
“Kamu itu ngomong opo toh dek.. Wong
kamu saja sudah berbuat zina sama saya, masih berani ngomong cintamu ke Tuhan?
Ngayal kamu!” Si Lelaki sudah mulai menimpali pakai otaknya yang jarang sekali digunakan,
yang terkadang ucapannya ada benarnya juga tapi jarang sekali benar.
“Loh, justru itu. Saya ini hina dan
mengakui kehinaan saya ini sehingga saya sadar dan kepingin tobat. Dan saya
mengizinkan sampean berlaku binatang kepada saya, menunjuk-nunjuk tubuh saya
sekeinginan hati sampean adalah agar sampean makin cinta sama saya. Lah lantas
kalau cinta sama saya, mengapa?" Sang Wanita membenarkan poninya yang jatuh hingga depan mata mengganggu pandangannya. Sedangkan Si Lelaki mulai menggoyang-goyangkan kedua kakinya yang menyilang, ke depan dan ke belakang. Sang Wanita berkata lagi, "Ya berlanjut perlahan bisa mempelajari cinta
kepada Sang Pencipta saya. Saya yang menurut sampean ini indah, Pencipta saya
pasti lebih indah dan patut sampean cintai. Mengenal cinta kepada Tuhan itu
paling mudah dari mencintai ciptaanNya yang paling ia cintai. Bagaimana enaknya
saya, bagaimana enaknya ngencuk. Cinta sama saya toh? Enak kan ngencuk sama
saya? Ngencuk dan saya adalah sama-sama ciptaan Tuhan. Jadi pasti Tuhan Sang
Pencipta saya dan ngencuk itu sendiri pasti lebih indah dari hal-hal tersebut.
Ngerti maksud saya?”
“Tapi kan sebaiknya kita halalkan
dulu...” rajuk Si Lelaki.
“Kan sudah saya bilang tadi,
andaikata kita nikah pasti nanti datang berondongan pertanyaan ‘kapan punya
anak’. Wong saya saja belum beres memikirkan cinta saya sama Tuhan, kok sudah
mau sampean isi dengan cinta saya ke anak. Saya ini sudah cinta anak saya
bahkan sebelum mereka lahir! Saya tidak bisa menghindari andai anak saya
benar-benar lahir ke dunia ini, saya pasti akan cinta mati pada mereka.” Kali
ini diremasnya lengan Si Lelaki.
“Cintamu ke anak sesungguhnya bisa
direm sedikit-sedikit, agar tidak keterlaluan cintanya. Janganlah kaku
begitu... Cepat patah nanti kamu, jadilah seperti karet, fleksibel,” kata si
Lelaki sembari berusaha melepaskan tangan kekasihnya yang makin mengencang di
lengannya.
“Kalau saya ngerem-ngerem cinta ke
anak, nanti saya dibilang ibu yang tidak becus, tidak totalitas, tidak ikhlas
ngurus anak! Saya ndak mau seperti itu!” ujar Sang Wanita sudah kembali
meletakkan tangannya di atas kedua pahanya namun masih dengan mimik muka
serius.
“Sebentar dek... saya kepingin tanya
sesuatu, kok sepertinya ada yang mengganjal sedikit. Kamu cinta sama saya toh?
Kok kamu tidak takut dengan cintamu ke saya?” tanya Si Lelaki.
“Mana pernah saya bilang bahwa saya cinta
sampean? Tidak pernah toh?”
“Lah, terus kamu mau menerima
perlakuan kebinatangan saya dan engkau sambut dengan kebinatanganmu pula, siang
malam semau saya, kok kamu mau? Apa itu bukan termasuk pertanda bahwa kamu
cinta saya?” Si Lelaki mulai gelisah. Ternyata dengan menggunakan otak, Si
Lelaki bisa dibuat gelisah.
“Siapa bilang? Persetubuhan adalah
salah satu bagian dari pengejawantahan cinta pada Tuhan. Lagipula saya tidak
selalu mau melayani sampean, kadang saya juga menolak. Sesungguhnya saya perlu
dengan sampean,” Sang Wanita berhenti sejenak mengatur nafas, lantas berlanjut,
“Sampean itu punya gen bagus. Hidung mancung, rahang tegas, perangai kuat di
luar namun lemah terhadap saya, badan tinggi gagah. Pantas sudah untuk anak
saya besok. Sampean tak perlu pintar-pintar amat. Kecerdasan adalah gen bawaan
dari pihak ibu, yaitu saya. Dan yang pasti sampean itu bisa diajak ngomong
ngalor ngidul, dan yang terpentingnya adalah isi kepala sampean.” Si Lelaki
hanya manggut-manggut seolah mengerti. “Isi kepala sampean itu kalau
dianalogikan mirip seperti lahan subur bagi saya sehingga saya mudah menanami
isi kepala sampean yang agak tolol itu―nanti juga sampean jadi
pintar kalau saya rajin menanami isi kepala sampean lantas memanennya. Yang
kurang itu pagar di kepala sampean.” Si Lelaki tengah menyilangkan tangan di
dada. “Isi kepala juga perlu dipagari agar tidak kebablasan. Nah, besok pasti
sampean bisa menjadi bapak pintar bagi anak-anak yang siap dipintarkan juga.
Saya mau anak-anak saya besok pintar-pintar dan ganteng-ganteng dan lahan di
kepalanya juga subur-subur mirip sampean sehingga mudah pula ditanami dan
dipagari. Itu semua diperlukan agar mereka penerus gen-gen baik kita, dan tidak
pasrah begitu saja sehingga menjadi makhluk yang sekelewat belaka.”
“Lah,
gimana toh? Katanya ndak kepingin punya anak...” Si Lelaki sedikit memajukan
badan dengan tetap menyilangkan kedua tangannya di dada.
“Tapi
juga kepingin punya anak! Ingat itu. Guna meneruskan bibit-bibit yang bagus,
bisa jadi orang bener. Sudah terlalu banyak orang tidak bener di dunia ini.”
“Alah
dek... dek... Memang kamu sudah berbuat baik apa sama Tuhan?” Si Lelaki
berusaha mematahkan argumentasi Sang Wanita.
“Lah,
saya kan sudah membantu sampean mengenal Tuhan toh? Besok-besok niatiah dan
rasakan kemasyukan akan Tuhan ketika sedang ngencuk sama saya.”
“Baru
juga kamu kenalkan Tuhanmu sebentar kepadaku dek...” Sekarang Si Lelaki
merebahkan punggung ke dinding warung belakang lincak seraya menatap kosong ke
depan. Seekor belalang terbang berlalu di depannya. “Yasudahlah dek... Semoga
perang dunia ke empat segera pecah. Dan banyak orang mati bergelimpangan di
permukaan bumi lantas bumi dengan sendirinya memakan mereka―biar kita tidak
perlu repot. Manusia memang membutuhkan regenerasi. Dan saya mendoakan agar mereka
yang mati pada perang besok adalah manusia-manusia sampah masyarakat. Populasi
manusia di dunia berkurang, lantas kita dapat beranak pinak sepuasnya. Namun,
andaikata kita termasuk korban perang yang mati, yasudahlah tidak apa-apa.
Artinya Tuhan tidak suka kita berlama-lama hidup di dunia, alias kita kurang
berguna atau telah menjelma menjadi sampah masyarakat. Yang kuat yang bertahan,
yang lemah kalah, musnah! Seperti zaman t-rex!” Sebelum Sang Wanita sempat
membuka mulut siap-siap akan menebas kalimatnya, Si lelaki melongokkan
kepalanya ke belakang dan berteriak, “Simbok... Kopi hitam satu lagi ya mbok...
Terima kasih.”
“Tumben
sampean pinter mas.” Sang Wanita menoleh ke Si Lelaki. “Akan tetapi mas, kalau
semua kuat jadi tidak seimbang dong dunia ini. Tak ada sosok lemah. Tak ada
yang kalah. Tak ada yang di bawah dan jadi bawahan. Semua maunya jadi yang di
atas dan jadi pemimpin.”
“Sesungguhnya
dek, kamu sungguh-sungguh harus berganti nama menjadi yang lebih simpel.
Mungkin Susi Berbudi Baik Sekali cocok untukmu,” usul si lelaki.
“Nanti
saya pikirkan mas. Saya sudah punya rencana nama untuk anak-anak kita nanti.
Empat anak. Masing-masing menyandang nama Barat, Timur, Utara, Selatan.”
“Baiklah
dek. Kamu kepingin punya anak empat, saya kabulkan dan semoga Tuhan juga
kabulkan. Jadi, kapan kita akan buat anak lagi?”
“Sampean
sudah pernah saya buat orgasme berapa kali?” tanya Sang Wanita masih dengan
nada kalem.
“Berapa
ya, mungkin berkali-kali. Saya lupa,” jawab Si Lelaki jujur.
“Nah,
enak kan? Rasanya juga sama saja. Masih ingat rasanya? Begitulah rasa cinta.
Pengejawantahan akan cinta kepada Tuhan bisa sampean rasakan apabila sampea mau
merasakan. Nikmatnya itu, jauh di atas klimaks. Super klimaks. Klimaks pangkat
tak terhingga tiada tara. Ngerti maksud saya? Saya sudah mendapatkan orgasme berkali-kali
dari sampean. Jadi, kita impas!” Segelas kopi bersama simbok datang ke lincak.
Simbok menaruh gelas. Si Lelaki mengucapkan terima kasih, lantas simbok masuk
lagi ke warung.
“Lantas?”
tanya si Lelaki melanjutkan obrolannya.
“Yasudah
begitu saja. Saya kan mau tobat, mosok sampean mau tarik saya ke perzinaan
lagi? Ndak boleh itu,” ujar Sang Wanita keras.
“Kalau
begitu, kita nikah saja.” Si Lelaki kembali merajuk.
“Sampean
belajar dulu mengeja dan menghafal nama saya kata perkata dengan benar. Kan
ijab qabulnya orang bisu, bisa ditulis. Sampean latihan nulis nama saya
sajalah. Nanti lama-lama juga bisa melafalkannya. Sampean hanya perlu sedikir
rajin dan sedikit menanggalkan sebentar ketololan sampean.” Sang Wanita sudah
mulai ketus.
“Saya
tidak bisu, dek!” Si Lelaki membantah. “Kamu ganti nama dulu sajalah yang lebih
simpel, biar kamu sekalian jadi orang yang tidak ruwet begini. Nanti saya
hafalkan nama lengkap barumu. Sungguh!”
“Yasudah,
saya akan ganti nama yang lebih mudah,” jawab Sang Wanita.
“Kapan?”
“Nanti.”
“Iya.
Kapan tepatnya?”
“Kalau
saya sudah mendapakan hidayah berikutnya.”
“Kapan
itu?”
“Saya juga
tidak begitu tau, wahai kangmas Herman Tercinta.”
“Sudah
saya bilang, kalau saya sudah mendapatkan hidayah berikutnya! Sampean itu, yang
dipikir ngencuk melulu. Pikir sana, hafalkan nama lengkap saya!”
“Iya.
Nanti.”
“Kapan?”
Sang Wanita balik bertanya.
“Kalau
saya sudah mendapatkan hidayah.”
Failasufa
membalikkan badan dan melenggang pergi. Herman meneriakinya, “Kamu habis baca
buku apa kok tiba-tiba jadi begini?”
“Bona
dan Rong-Rong!” jawab Failasufa sekenanya tanpa menoleh seraya meneruskan langkah
kakinya. Lantas ia tersandung batu dan jatuh. Duh terdengar pelan keluar dari
mulutnya. Belalang yang tadi terbang di depan Herman, kini berganti terbang di
depan Failasufa. Andai si Belalang dapat bicara, ia akan berkata, “Hihi” dan
mengumbar senyum mengejek.
SELESAI
NB: Ini cuma cerita fiksi loh. Saya memakai nama saya sendiri sebagai tokoh karena kepepet. Butuh banget nama Failasufa karena artinya Filosof, dan rada ribet diucapkan. Sebenarnya cerita ini muncul karena kawan saya sering tidak bisa melafalkan nama saya Failasufa, dia salah melulu dan dia bilang, nama susah saya itu susah juga waktu untuk ijab qabul.
NB: Ini cuma cerita fiksi loh. Saya memakai nama saya sendiri sebagai tokoh karena kepepet. Butuh banget nama Failasufa karena artinya Filosof, dan rada ribet diucapkan. Sebenarnya cerita ini muncul karena kawan saya sering tidak bisa melafalkan nama saya Failasufa, dia salah melulu dan dia bilang, nama susah saya itu susah juga waktu untuk ijab qabul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar