YOU! HEY YOU! |
Pengecapan, dari kata dasar cap bukan kecap, atau bahasa kerennya, JUDGEMENT. Diiihhh.. Terdengar serem
banget yaaa... Kayak di pengadilan, hakim. Hakim Bao! Inget?
Kenapa saya membahas ini? Tanpa diusut-usut, dikarenakan adanya twitt yang
muncul di timeline twitter saya! “Being judged
or being ignored?” Sebenarnya yang cukup mengena adalah kata judge-nya saja. Karena saya juga sering dibilang,
“kowe i seneng ngejudge padahal rung reti
akeh...”
Akhirnya saya bahaslah masalah ini dengan kawan di wasap... anak sosmed banget yey... jaman sekarang
banget... mbahasnya di wasap, ga live aja? Di kosan lagi ga ada orang yang
enak di ajak ngobrol beginian, jadilah mbahas di wasap. Jadi ya gitu deh...
Apa bedanya menge-judge dan menilai?
Karena saya kira, kawan saya yang bilang, “kowe i senengane menge-judge” dia sendiri juga telah menge-judge saya bukan? Lalu akhirnya saya
berfikir lagi. Saya sendiri tidak sedang menge-judge, tapi sedang meNILAI yang bersifat analisis sementara, tidak
permanen. Beda loh, beda... Akhirnya saya berkata kepada diri sendiri, mungkin kawan
saya itu telah menilai saya, bukan menge-judge
saya?
Judgement atau pengecapan terjadi berdasarkan penilaian.
Judge atau cap terjadi berdasarkan
nilai. Nilai dulu baru judge. Menilai
dulu baru menge-judge. Menilai ada di
dalam menge-judge. Menilai itu hak
semua orang. Setara dengan memberikan pendapat. Yang kadang kurang
terkondisikan adalah judgement yang
terlalu dini. Belum mendapatkan data, bahan, atau nilai yang cukup lengkap
sudah dicap! Tidak melihat seluk beluknya dulu. Semacam, “Ih, covernya datar
banget... Monoton ih...” Tapi tidak melihat latar belakang konsep covernya yang
monoton itu. Mungkin covernya bisa sesuai dengan judul atau isi atau bahasan
bukunya? Semua-muanya ada latar belakangnya. Baru setelah dinilai atau diamati
kumplit sampai kulitnya ngelotok
dagingnya ketok, barulah silakan menge-judge. Nah, masalah pernyataan judgement yang terlalu dini... maka saya
pun bertanya,
“Kapan judgement bisa dikatakan terlalu dini?”
Judgement itu sebenarnya tidak berlaku mutlak.
Bukan masalah waktu, tapi seberapa dalam mengenal dan menilainya. Sedangkan orang
menilai dari apa yang ditampilkan, apa yang diucapkan, dan apa yang dilakukan.
Balik lagi kepada “cover” atau “pencitraan”. Ga usah membahas tentang “pencitraan”
ya? Kemaren-kemaren udah dibahas mbak Najwa Shihab di Mata Najwa. Eniwei, ada loh
temenku cewek (sebut saja Ajeng Setyo Wardhani) yang beli serial novel Agatha
Christie dengan cover yang setema, buatannya Staven Andersen. Dan dihuntinglah
semua novel Agatha Christie dengan tema cover itu semua, tanpa terkecuali! Juga
novel-novel serial penulis lain, Sir Arthur Conan Doyle misalnya. Oke lanjut
kepada judgement.
Menilai itu berlaku terus sampai mengenal lebih dekat-kat-kat. Kalau sudah
bertahun-tahun ngerti dan kenal, baru bisa mengejudge yang sifatnya bisa berlaku panjang, atau hampir permanen, masih
bisa berubah. Judgement bisa bersifat
kaku ataupun fleksibel. Yah mirip-mirip dengan karakter lah, dia toleran atau enggak.
Boleh saja menge-judge, kapan saja
juga boleh. Cuma pakemnya masih selalu bisa berubah. Kalau judgement sifatnya kaku mentok di situ dan ga bisa berubah, itu
yang disebut judgement yang kaku dan
tidak toleran. Misal, “DIA PEMBUNUH!” diucapkan kepada seorang nara pidana yang
membunuh, ya memang membunuh sih, tapi kalo setelah bebas dan si narapida yang
kena judgement “DIA PEMBUNUH!” ga
selama-lamanya akan membunuh terus kan? Lagi pula, mungkin saja membunuhnya itu
punya alasan kuat misal membela diri atau membela anaknya? Misal Harry Potter
membunuh Lord Voldemort? Haha, beda soal. Pokoknya bedaaaa aja. Aduh panjang
kalo dijelasin... Kembali lagi ke judgement.
Kalau sekalinya melakukan hal yang parah banget, yang dalem banget, ya capnya
dalem banget juga, judgement sifatnya hampir permanen. Makin dalem capnya, makin kuat dan kaku sifat judgement-nya, dan akhirnya jatuh pada malas menilai lagi pada akhirnya. Oke sekian.
Kalau udah saking ga senengnya sama si anu si itu, ga akan kok
sebel-sebel lagi, karena udah ga ngurus lagi, males menilai, dan males repot.
Akhirnya ga peduli. Selese. Tingkatan paling ngenes adalah kalau sampai orang
ga peduli sama kamu. Kesian.
Tulisan ini kebanyakan adalah hasil pemaparan Saudara Ni’am Rouf Azzaki,
saya bertanya-tanya saja dan melengkapi paparan beliau. Beliau? Apeuuuu...
Final Judgement hanya milik Tuhan Yang Maha Esa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar