Curhat: Rasanya, di kepalaku sedang terjadi hujan badai kata-kata
yang pada akhirnya diperlukan peledakkan secara dahsyat! Mungkin sudah ada
kilat-kilat ‘ctar-ctar’ di kepalaku yang saat ini pun perlu dibuka gerbang
pintu keluarnya—tentu untuk mengeluarkan mereka—, si badai kata-kata. Dan,
jadilah ini! Sampah otak yang apabila disimpan akan meracuniku, sedikit-sedikit
akan menggerogoti kesadaranku sampai mampus. Dan 1, 2, 3! Haaaaaaaaakkkk!
Jrooooottt! *Saya rindu tahu gejrot*
Jadi begini, sudah semingguan
saya lari maraton dengan sedikit istirahat. Maraton membaca seri-seri Supernova-nya
mbak Dee. Mulai dari (1)Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, (2)Akar, dan (3)Petir.
*Uhuk, saya belom membeli partikel lho… Mungkin weekend ini akan beli Partikel—kalau
masih dapet bukunya juga. Terus terang, ini adalah pengalaman pertama saya
membaca Supernova. Bisa ditebak, saya jatuh cinta pada, Supernova. Membaca Supernova itu, seperti menelan sesuatu yang manis, asam, asin, kecut, pahit,
*halah, nano-nano kecemplung sayur pare*, lalu ingin mengeluarkannya ke dalam
bentuk lain—tulisan, versiku. Terdorong keluar karena, Supernova. Bermula dari
loncatan-loncatan pikiran ingin keluar karena mengenal Elektra—Elektra’ atau
Etra—, si Manusia Millenium, asosial, penggila internet, adalah tokoh dalam
Supernova-Petir. Bagi yang belum baca, cari aja di google*perpustakaan online,
eh?
Oke, mari kita mulai pembahasan ini. Mengenai fenomena badai online. Apa itu badai online? Dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, ba·dai (kata benda) angin kencang yang menyertai cuaca buruk (yang datang dengan tiba-tiba) berkecepatan sekitar 64—72 knot; online adalah terkoneksi dengan jaringan internet. Yah jika digabungkan akan menjadi suatu kalimat yang sangat buruk pengartiannya, yaitu angin kencang yang melanda jaringan internet.
Teknologi vs Anti-Sosial
Dulu-sekarang, manusia-manusia pintar, jenius, cerdas selalu menciptakan
temuan-temuan baru lalu berlanjut dengan teknologi maju. Yang mana
teknologi—tidak usah ditanya— memudahkan pola pergerakan manusia, dari manusia
yang memang ingin butuh dan perlu uptodate—karena ada beberapa minoritas kaum
pedalaman yang benar-benar tidak mau menerima teknologi baru—sampai
manusia-manusia latah teknologi. Misal gini, ibu-ibu yang bahkan beraknya
duit, latah pakai smartphone, padahal ga mudeng cara pakainya. Yang pada
akhirnya suka mejeng sana sini minta tolong dijepretin orang-orang sekitarnya,
“Mbak, minta tolong dong ini kalau mau moto gimana ya? Sekalian jepretin ya.
Makasih.”
Kemampuan manusia dan tekonologi senantiasa berubah, berjalan lurus
bergandengan. Atau lebih tepatnya saling beradaptasi. Atau, mungkin manusia yang
beradaptasi dengan teknologi? Sebelum adanya warnet, manusia Indonesia jarang
ada yang kenal dengan sahabat kita sekarang, internet. Seiring dengan
pergerakan waktu dan pengenalan internet kemana-mana, lalu munculah bisnis
warnet, laptop berfasilitas koneksi wifi, bergerak lagi bisnis café atau resto
berwifi, modem, makin lama makin mengecil dan makin intim ruang lingkupnya,
yaitu modem yang dipadu dengan handphone yaitu smartphone. Tadaaa! Lengkap
sudah. Oh ya, lupa tablet, netbook versi mini. Makin kecil kan? Makin mudah
dibawa kemana-mana. Lama-lama otak juga akan diikut sertakan sebagai alat
berinternet ria. Otak langsung terkoneksi dengan internet!
Lama-lama pula, saya dan para perantau lain tak perlu pulang kampung
untuk dapat bertemu dengan emak dan babe. Cukup pencet tombol klik, HOLOGRAM
mister! Hologram yang mungkin juga bisa dilengkapi dengan efek 4 dimensi? Yang
sampe mengocok-ngocok tangan dan keplak-keplak pundak bisa saling kerasa. Atau mungkin
kenikmatan intim pun, bisa dijamah oleh mister atau nyonya hologram. *uhuk*
Misal gini ya, Suami Istri LDR, satu di Kanada-satu di Papua, nah kan mereka pasangan
setia yang sedang dirindu asmara, dan butuh acara gegulingan di kasur, tinggal
klik on pada hologram dan efek 4 dimensinya. Jadi kan—tapi kurang nikmat. And somehow, kapan punya anaknya, mas
mbak??? Dan akhirnya, masa hologram pun menjadi basi, berganti avatar. Oh
dunia.
Oke, banyangan masa depan di atas, terlalu jauh dan tinggi. Mari
sekarang menoleh ke kanan-kiri-belakang-atas-dan tatap ke depan. Apa yang
terjadi dengan duniamu sekarang? Yang dipenuhi oleh virus-virus online? Orang di
sebelahmu—ketika naik KRL—lebih memilih terkekeh-kekeh dengan smartphonenya
daripada membantu seorang nenek yang tergopoh-gopoh menggendong cucunya, untuk mencari
posisi pewe di KRL. “Nek, duduk dong, di sini.” Atau betapa pilunya, jikalau
anak yang kamu—anggap saja kamu itu ibu-ibu—ajak bicara dengan serius, hanya memperhatikanmu
sepertiga, karena si anak sibuk dengan online-nya? Oh God! Dan bejibun kasus
lain yang tidak bisa dituliskan di sini satu-satu. Capek.
Bahkan, iklan-iklan provider sekarang makin terbuka untuk menggembar-gemborkan
bahwa galau bisa selesai dengan pemfasilitasan sms-sms tak terbatas, chatting
sampai jari-jari pritil, fb, twitter, dan jejaring sosial lainnya yang
mendekatkan kita pada tuhan online. Yah, itu sasarannya ABG. Berbeda dengan
yang seumuran saya ini, 24 tahun—aduh, saya senang sekali ya menuliskan umur
saya 24 tahun padahal aslinya adalah hasil pembulatan dari 23,5 tahun, biar terkesan wanita dewasa. Ahak—, pendekatan online itu didapat karena keadaan. Wanita
metropolitan*hakcuih*, kantoran, Jakarta, yang berurusan hampir-hampir semuanya
menggunakan laptop—tak dipungkiri pula, bahwa saya pun mencintai internet :’) *
Aduh, pengakuan pahit tak terelakkan. Namun tak segila Etra.
Teman nyata (Yogyakarta), karena keadaan, menjadi teman cyber
(Yogyakarta-Jakarta). Yeah, salah satunya Nadia—tentunya dia penggemar online
pula, sekarang menjadi teman cyber setiaku secara tak tertulis. Dan teman nyata
(Jakarta) sekarang ini, nyaris tak ada yang sesampah dan semenampung sampah bak Nadia,
Pap Ni’am, Ara, uhuk dan Amanatia Jundeh, lalu teman yang rajin
terbit-tenggelam seperti matahari di online maupun offline (Yogyakarta). Benar saja, dunia-ku terbalik. Otak dan
pikiranku di online—pingin punya online shop, pingin nulis buku yang kudu rajin
mantengin update-an berita, cerita, dan kata-kata—, sedangkan ragaku, kulit
diriku, ada di sini, Jakarta—tapi bukan berarti saya kehilangan hati dimana
raga berlabuh lho. Teknologi itu, mematikan ya? Keberadaan nyata dan tak nyata
menjadi terbalik. Kok saya agak tidak menyukai keadaan otak dan raga
terpisah-pisah ya? Oh semoga otak dan raga cepat kembali bertemu pada satu
badan utuh. Adakah yang mengalami syndrome seperti ini, selain saya? Mungkin
ada baiknya, memberi kesempatan otak, pikiran, dan raga bertemu dalam satu
waktu. Mematikan apa-apa yang berhubungan dengan online dalam waktu yang
ditentukan dan disepakati.
Badai online. Badai online yang kadang bisa menimbulkan kasus ‘genjreng-genjreng
kelopak bunga warna pink berjatuhan, kupu-kupu berdesiran di perut seperti lagu
tentang Aling’, yeah cyber love. Ada lho… Dan saya, sedang mengamati. Bagaimana
cinteh onlineh bisa menjadi nyata atau hanya ilusi? :) Berikutnya, saya akan
membahas mengenai Badai Online [2]
Cyber Love. “Cinta itu hanya sejauh klik tapi ia mengendarai komidi putar”-Kissing
Frog di Cyber Space.
Meg Ryan di You've Got Mail. Cantik ya? |
Dari panjangnya tulisanmu...
BalasHapusYang tak inget cuma bagian hologram antara papua dan kanada, imaji di otak lansung terbang melesat ndak karu-karuan :(
Ternyata otak Anda cuma sekeping.
Hapushubungan dengan posting dan otak sekeping?
Hapusapakah seperti sekeping mata uang, yang sisi satunya tak dapat melihat sisi yang lain?