Jumat, 28 Juni 2013

Cerita Tentang Cerita (Tidak) Romantis


Oleh Failasufa An
“Sudah jadi. Sup macaroni kental buatanku—aku menambahkan sedikit maizena dan beberapa batang kayu manis. Kau pasti menyukainya.” Sang Lelaki menyodorkan mangkok berisi macaroni kental buatannya di atas meja, di depan Si Perempuan. “Supnya masih panas. Masih sangat perawan. Pancinya baru saja kuangkat dari kompor.”
“Tidak. Tidak. Aku tak suka makan makanan panas.” Lalu Si Perempuan mengangkat kedua tangannya ke samping lalu mengibas-ngibaskannya sebagai lambaian penolakan. “Makanan panas selalu menyengat lidah. Rasanya seperti ada ribuan tawon menyengat-nyengat dengan semangat ke lidahku. Aku juga tak suka menunggu. Menunggu itu mengesalkan! Lagipula mengapa kau taruh sup ini dalam mangkok? Kan lama dinginnya. Mengapa kau tak mengerti-mengerti juga?”
“Ya sudah, sini kutaruh piring saja.” Sang Lelaki dengan sabar menuruti apa yang diingini Si Perempuan. Memindahkan sup macaroni yang masih panas ke piring yang baru saja diambilnya dari dalam lemari dapurnya.
“Piringmu juga ceper sekali. Ini juga tak terlalu kental seperti katamu, mana bisa aku menyendoknya. Coba kalau kau sedikit saja lebih pintar. Buatlah sebuah mangkuk yang kecukupan untuk menampung sup panasmu yang tak cukup kental itu. Agar sup panasmu cepat dinginnya, dan ketika akan menyendok kuahnya pun mudah. Juga bentuknya yang cantik dan indah. Warnanya juga ceria berbunga-bunga. Itu kan akan lebih menyenangkan.”
Cerita itu berlangsung pada tahun-tahun dimana masih tak ada berbagai macam bentuk barang porselen keperluan dapur. Tak ada mangkok sup, tak ada sendok sup, tak ada juga mangkok yang ukurannya besar sekali, bentuknya juga masih sangat payah tak karuan tanpa secuil keindahan sedikitpun. Warnanya semua pucat. Tak ada warna-warna lain selain putih. Hanya putih-putih-putih-dan-putih! Dan bulat-bulat-bulat-dan-bulat!


Bertahun-tahun kemudian. Tujuh tahun tepatnya. Sang Lelaki membawakan hadiah buatannya sendiri kepada Si Perempuan. Mangkok sup yang indahnya rupawan. Molek. Cantik. Bulat—bulat yang tak sepenuhnya bulat. Lekuknya aduhai bak alunan ombak yang tenang. Warnanya memukau mata siapa saja yang melihatnya. Porselen dasarnya entah mengapa bisa berwarna pink. Dibubuhi penuh corak bunga-bunga merekah segar di sana-sini, merah, kuning, nila, ungu, jingga, orange, dan hijau. Keindahan corak bunga-bunga itu tak hanya indah dilihat, namun terasa juga ketika diraba. Timbul. Bergelombang-gelombang. Menimbulkan sensasi yang berbeda. Mungkin rasanya selevel dengan ketika engkau mulai ‘tegang’. Seperti itulah rasanya ketika kau meraba-rabanya. Mula-mula kau akan meraba-raba dengan biasa-biasa saja. Lembut dan licin, halus—kadang kasar karena tekstur pada corak bunga-bunganya, dingin—dingin yang lama-lama menghangat karena kau terus mengelus-elusnya lembut, dan diakhiri dengan sisi pinggirnya yang melandai 100% sempurna. Lalu lama-lama kau akan mampu meraba-rabanya dengan hikmat. Ia seperti mangkuk yang hidup. Mangkuk sup yang mempesona sekali. Ini adalah mangkuk sup terindah pertama di dunia. 


“Sudah jadi. Aku membuatkan ini untukmu.” Kata Sang Lelaki yang telah berhasil membuat studio porselen miliknya sendiri, kembali menyodorkan mangkok sup seperti tujuh tahun lalu—kali ini tanpa sup—kepada Si Perempuan. “Mangkuk sup pertama yang terindah di dunia."
"Ah terima kasih kawan, kau baik sekali.” Ujar Si Perempuan sambil membolak-balikkan mangkuk itu tanpa maksud apapun. “Ah, Hei, aku lupa mengabarimu. Aku akan menikah bulan depan. Aku ingin kau datang ke pernikahanku. Kau tak apa kan?"
“Tak apa. Aku akan datang dengan senang hati.”
“Bagus sekali. Aku suka mangkuk ini.” Lantas ia masyuk sendiri memain-mainkan mainan barunya, mangkuk sup pertama dan terindah di dunia yang terbuat dari porselen, mangkuk buatan Sang Lelaki.
Namun di sisi lain. Sang Lelaki memandang menerawang mengabur melanglang ke arah padang rumput yang mengering di depannya. Saut-sautan burung gereja yang beterbangan cukup tinggi pun bahkan mampu ia dengarkan dengan saksama. Lonceng gereja yang berada di desa seberang, yang biasanya dentangnya terdengar sayup-sayup, kini terdengar makin jelas di telinganya, atau mungkin hanya sebatas imajinasi saja.


~O~


Selesai. Cerita ini kuberi judul, ‘Mangkuk Sup Terindah Pertama di Dunia’. Apakah ini sudah termasuk cerita romantis menurutmu?
Oh bukan ya? Aku tau, aku tak begitu pandai mengarang cerita romantis seperti buku-buku roman yang kau sukaChekov, Tolstoy, Jane Austen, Bronte Sisters, Ivan Turgenev, dan lain-lainnya, aku tak terlalu hafal. Kau tau, aku hanya pernah sekali saja membaca cerita roman, Romeo dan Juliet karya Shakespear. Hahaha. O iya, juga William Shakespear tentunya, salah satu penulis roman favoritmu. Aku lupa menyebutkannya. Maaf. Tapi tak apa. Setidaknya aku sudah mencoba mengarang cerita romantis untukmu, yang mungkin memang tak romantis. Aku akan senang hati juga kala engkau sudi mendengarkanku bercerita tentang cerita yang tak romantis ini. Kau akan mendengarkanku bercerita, bukan?

SELESAI

5 komentar:

  1. gak dapet feelnya atau aku aja ga ngerti tulisan ini, hehe..kyknya klo dipanjangkan lagi ceritanya bisa bagus..mgkn..#cumapembacaawam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahhahaha, iki nemu ide tulisane pas jalan ke kantor pagi tadi, secepat kilat tak tuliskan. Ya jadilah ini, hm, kl dipanjangkan, blm dapet ide lebih panjang lagi. Haha.

      Thx komennya mas DK. Dekky Kurniawan.

      Hapus
    2. kenopo gk diteruske dadi "ceritoception", ada cerita didalam cerita yg didalam cerita

      Hapus
    3. Kedawan. Fictionseption. Suk nek aku wes pinter tak njajal. Haha

      Hapus
  2. gua harus kasihan dengan si lelaki

    BalasHapus