“Sudah jadi. Sup macaroni kental
buatanku—aku menambahkan sedikit maizena dan beberapa batang kayu manis. Kau
pasti menyukainya.” Sang Lelaki menyodorkan mangkok berisi macaroni kental
buatannya di atas meja, di depan Si Perempuan. “Supnya masih panas. Masih
sangat perawan. Pancinya baru saja kuangkat dari kompor.”
“Tidak. Tidak. Aku tak suka makan
makanan panas.” Lalu Si Perempuan mengangkat kedua tangannya ke samping lalu
mengibas-ngibaskannya sebagai lambaian penolakan. “Makanan panas selalu
menyengat lidah. Rasanya seperti ada ribuan tawon menyengat-nyengat dengan
semangat ke lidahku. Aku juga tak suka menunggu. Menunggu itu mengesalkan!
Lagipula mengapa kau taruh sup ini dalam mangkok? Kan lama dinginnya. Mengapa
kau tak mengerti-mengerti juga?”
“Ya sudah, sini kutaruh piring
saja.” Sang Lelaki dengan sabar menuruti apa yang diingini Si Perempuan.
Memindahkan sup macaroni yang masih panas ke piring yang baru saja diambilnya
dari dalam lemari dapurnya.
“Piringmu juga ceper sekali. Ini
juga tak terlalu kental seperti katamu, mana bisa aku menyendoknya. Coba kalau
kau sedikit saja lebih pintar. Buatlah sebuah mangkuk yang kecukupan untuk
menampung sup panasmu yang tak cukup kental itu. Agar sup panasmu cepat
dinginnya, dan ketika akan menyendok kuahnya pun mudah. Juga bentuknya yang
cantik dan indah. Warnanya juga ceria berbunga-bunga. Itu kan akan lebih
menyenangkan.”
Cerita itu berlangsung pada
tahun-tahun dimana masih tak ada berbagai macam bentuk barang porselen
keperluan dapur. Tak ada mangkok sup, tak ada sendok sup, tak ada juga mangkok
yang ukurannya besar sekali, bentuknya juga masih sangat payah tak karuan tanpa
secuil keindahan sedikitpun. Warnanya semua pucat. Tak ada warna-warna lain
selain putih. Hanya putih-putih-putih-dan-putih! Dan
bulat-bulat-bulat-dan-bulat!
Bertahun-tahun kemudian. Tujuh
tahun tepatnya. Sang Lelaki membawakan hadiah buatannya sendiri kepada Si
Perempuan. Mangkok sup yang indahnya rupawan. Molek. Cantik. Bulat—bulat yang
tak sepenuhnya bulat. Lekuknya aduhai bak alunan ombak yang tenang. Warnanya
memukau mata siapa saja yang melihatnya. Porselen dasarnya entah mengapa bisa
berwarna pink. Dibubuhi penuh corak bunga-bunga merekah segar di sana-sini,
merah, kuning, nila, ungu, jingga, orange, dan hijau. Keindahan corak
bunga-bunga itu tak hanya indah dilihat, namun terasa juga ketika diraba.
Timbul. Bergelombang-gelombang. Menimbulkan sensasi yang berbeda. Mungkin
rasanya selevel dengan ketika engkau mulai ‘tegang’. Seperti itulah rasanya
ketika kau meraba-rabanya. Mula-mula kau akan meraba-raba dengan biasa-biasa
saja. Lembut dan licin, halus—kadang kasar karena tekstur pada corak
bunga-bunganya, dingin—dingin yang lama-lama menghangat karena kau terus
mengelus-elusnya lembut, dan diakhiri dengan sisi pinggirnya yang melandai 100%
sempurna. Lalu lama-lama kau akan mampu meraba-rabanya dengan hikmat. Ia
seperti mangkuk yang hidup. Mangkuk sup yang mempesona sekali. Ini adalah
mangkuk sup terindah pertama di dunia.
“Sudah jadi. Aku membuatkan ini untukmu.” Kata Sang Lelaki yang telah berhasil membuat studio porselen miliknya sendiri, kembali menyodorkan mangkok sup seperti tujuh tahun lalu—kali ini tanpa sup—kepada Si Perempuan. “Mangkuk sup pertama yang terindah di dunia."
"Ah terima kasih kawan, kau
baik sekali.” Ujar Si Perempuan sambil membolak-balikkan mangkuk itu tanpa
maksud apapun. “Ah, Hei, aku lupa mengabarimu. Aku akan menikah bulan depan.
Aku ingin kau datang ke pernikahanku. Kau tak apa kan?"
“Tak apa. Aku akan datang dengan
senang hati.”
“Bagus sekali. Aku suka mangkuk
ini.” Lantas ia masyuk sendiri memain-mainkan mainan barunya, mangkuk sup
pertama dan terindah di dunia yang terbuat dari porselen, mangkuk buatan Sang
Lelaki.
Namun di sisi lain. Sang Lelaki memandang menerawang mengabur melanglang ke arah padang
rumput yang mengering di depannya. Saut-sautan burung gereja yang beterbangan
cukup tinggi pun bahkan mampu ia dengarkan dengan saksama. Lonceng gereja yang
berada di desa seberang, yang biasanya dentangnya terdengar sayup-sayup, kini
terdengar makin jelas di telinganya, atau mungkin hanya sebatas imajinasi saja.
~O~
Selesai. Cerita ini kuberi judul,
‘Mangkuk Sup Terindah Pertama di Dunia’. Apakah ini sudah termasuk cerita
romantis menurutmu?
Oh bukan ya? Aku tau, aku tak
begitu pandai mengarang cerita romantis seperti buku-buku roman yang kau
suka—Chekov, Tolstoy, Jane Austen, Bronte Sisters, Ivan Turgenev, dan
lain-lainnya, aku tak terlalu hafal. Kau tau, aku hanya pernah sekali saja
membaca cerita roman, Romeo dan Juliet karya Shakespear. Hahaha. O iya,
juga William Shakespear tentunya, salah satu penulis roman favoritmu. Aku lupa
menyebutkannya. Maaf. Tapi tak apa. Setidaknya aku sudah mencoba mengarang
cerita romantis untukmu, yang mungkin memang tak romantis. Aku akan senang hati
juga kala engkau sudi mendengarkanku bercerita tentang cerita yang tak romantis
ini. Kau akan mendengarkanku bercerita, bukan?
SELESAI
gak dapet feelnya atau aku aja ga ngerti tulisan ini, hehe..kyknya klo dipanjangkan lagi ceritanya bisa bagus..mgkn..#cumapembacaawam
BalasHapusHahahhahaha, iki nemu ide tulisane pas jalan ke kantor pagi tadi, secepat kilat tak tuliskan. Ya jadilah ini, hm, kl dipanjangkan, blm dapet ide lebih panjang lagi. Haha.
HapusThx komennya mas DK. Dekky Kurniawan.
kenopo gk diteruske dadi "ceritoception", ada cerita didalam cerita yg didalam cerita
HapusKedawan. Fictionseption. Suk nek aku wes pinter tak njajal. Haha
Hapusgua harus kasihan dengan si lelaki
BalasHapus