Oleh Failasufa An
Suatu pagi di hari Minggu pukul tujuh lewat sepuluh
tanggal tujuh bulan kesepuluh tahun dua ribu tujuh. Tanggal ini akan menjadi
bagian dari aksara china tradisional, Hanzi namanya,—yang diukir di batu nisan besar,
yang terbuat dari marmer—di pekuburan china kaki bukit Gunung Gandul.
Herman selalu rutin mengungsi di rumah akongnya tiap
akan ujian. Akong sudah lama menduda dan tinggal sendirian di rumahnya yang
hening, sunyi, tenang, juga nyaman, dan adem. Pun kata Ci-Hu-nya—suami kakak
perempuannya—, yang ahli Fengshui, rumah akong membawa energi super positif
untuk belajar atau menyerap ilmu. Atap rumahnya tinggi menjulang. Masih
termasuk rumah jaman dulu. Rumah indish
peninggalan Belanda. Penuh perabotan kuno. Guci. Patung. Lilin merah besar
seukuran lontong. Hio-hio1 panjang sepanjang sapu lidi di mana ujung teratasnya api-api
kecil sedang meruap-ruap alun, tertanam ujung bawahnya sebagian dalam hio lo—wadah
hio yang berbentuk cawan berwarna emas terletak di poros rumah. Juga lukisan
macan dan tikus agung terpacak mantap di sisi dinding sebelah kanan altar
sembahyang. Dinding didominasi warna kuning matang dengan sedikit ornamen china
warna merah pada tiap-tiap sudutnya―dan satu sisi dinding sisanya polos warna
putih tulang dimana di depannya terlonggok gundukan kain-kain satin china yang
mentereng warnanya. Tegel rumah bermotif geometri bunga warna krem. Matahari
yang sedang girang-girangnya menyinari teras semburat masuk ke dalam melewati
pintu utama dan jendela utama yang berukuran jumbo.
Saat ayam sudah berhenti berkokok dan sepuluh menit
sebelum pukul tujuh lewat sepuluh. Herman sedang duduk menggelesot di teras
seraya membolak-balik halaman koran satu persatu dengan tak sabar. Tidak ada
yang menarik. Tidak ada yang menarik. Lagi-lagi tidak ada yang menarik! Herman
telah kehabisan bacaan yang menggelitik untuk merefresingkan otaknya dari
rutinitas belajar. Ia telah membaca majalah bisnis milik akongnya. Tidak ada
yang menarik. Ia juga telah membaca buku neraca lama di meja akongnya. Juga
tidak ada yang menarik. Terakhir sebelum ia menyerah, ia menemukan koran! Masih
saja tidak menarik! Berita-berita yang menggelikan baginya. Ekonomi &
Bisnis. Pendidikan. Olagraga. Apalagi politik! Alah! Berita kriminal? Memang
agak berhasil menarik perhatiannya. Ia membaca karena penasaran sekaligus lumayan
menjadikannya sebagai bahan cercaan, “Masih ada ya penjahat blo’on macam ini? Para penjahat jaman
sekarang ndak makai jidatnya buat
mikir agar mereka ndak ketangkap.
Dasar blo’on!” Tapi hanya sebutuhnya,
tak sampai rampung paragraf-per-paragraf dibacanya. Lantas, tepat kali ketujuh
ia menyibak-nyibak halaman secara serabutan setelah membaca sedikit berita
kriminal, Herman menemukan kolom Astrologi Jawa oleh Ki Adinagoro. Ia dekatkan mata sipitnya ke
koran, membaca sebentar,berhenti, lalu tiba-tiba bertanya, “Oya, Akong kapan
lahirnya?”
“23 Mei. Sad-da. Ada ndak, Her?”
Kata Akong seraya memalingkan wajahnya dari sepincuk sarapan nasi
pecel lauk ikan bandeng ke arah Herman dengan tangan kanan masih mengepal penuh
sejumput nasi.
“Ada Kong. Tak bacak-ke ya...”Jawab Herman.
~O~
Akong mati. Akong mati secepat kilat pada hari Minggu,
tepat pukul tujuh lewat sepuluh tanggal tujuh bulan kesepuluh tahun dua ribu
tujuh, lima hari lalu.
Pemasangan berita duka di koran—menilik Akong adalah
salah satu seorang pedagang kain china tersohor di daerahnya—hingga upacara
pemakaman yang dilangsungkan cukup besar-besaran dengan menyewa suhu dan cai ma2,
telah selesai. Tangisan kencang sekencang-kencangnya, bagai raungan kuda yang
benar-benar kesakitan, oleh sanak saudara (baik bagi mereka yang
sungguh-sungguh dirundung duka mendalam maupun yang sungguh-sungguh khusyuk
dengan kepura-puraan), juga telah rampung. Lantas kerumunan pelayat segera
tercerai-berai ke arah mobil masing-masing. Pemakaman menjadi macet, ricuh,
padat merayap. Terpaksa beberapa kelompok pelayat harus mengalah untuk berdiam
diri dulu di belakang menunggu antrian depan, depannya lagi, dan depan-depannya
lagi agar cepat keluar dari area pemakaman. Pada akhirnya apa yang dipendam
mereka sejak upacara tutup peti tiga hari lalu, terlepeh juga. Gerombolan ai-ai3,
juga terselip satu apek4, berbisik pelan penuh hasrat.
“Pssttt.. Psssttt.. Sinio, sinio,
merapatlah yang rapat..” kata seorang ai menarik lengan ai yang lain. “Sinio lho.. Sini.. Ndak enak kalau
kedengaran yang lain.” Lantas ai yang lain juga turut menarik lengan ai yang
lainnya lagi. “Kalian ndak pada penasaran ya, sama cara meninggalnya Akong
Liong?”
“Iya, emang kenapa sih? Yang benar gimana? Sebab,
keluarga besar Akong menutup-nutupi penyebab meninggalnya Akong.” Tanya ai
kedua.
“Ada yang bilang, meninggal karena jantungan setelah
menelepon.” Ujar ai ketiga.
“Tidak. Tidak. Tidak begitu. Ndak gitu! Saya dengar dari keluarga intinya, Akong Liong
meninggal karena keracunan makanan.” Sahut apek satu-satunya.
“Mungkin... Akong meninggal... karena dibunuh
cucunya... ya si Herman itu! Kan ada saksi yang lihat Herman duduk di teras
bersama mendiang. Iya, mungkin itu. Pasti benar! Intrik warisan. Mungkin Herman
adalah suruhan bapaknya, anak Akong Liong.” Ai kedua menimpali dengan mata
berbinar-binar namun tetap lirih.
“Mungkin juga.”
“Mungkin...” dan seterusnya dipenuhi dengan hayalan
tanpa data.
Semua saling sahut karena merasa benar bahwa
kemungkinan-kemungkinan pada jawaban masing-masing mereka sendirilah yang
terbenar.
Sementara itu, di sisi lain pekuburan. Duduk bersila
bersama Herman di nisan kuburan lain, Enlien, tetangga Akong Liong sekaligus
teman SMA Herman dua tahun lalu, sesungguhnya juga sedang mempertanyakan
perihal cara mati Akong Liong yang terbenar.
“Untung kau bertanya-tanya padaku―jadinya aku merasa
wajib menjawab pertanyaan-pertanyaanmu. Ndak
ada orang yang berani bertanya langsung padaku. Malah mereka milih berembuk
di belakangku dengan spekuasi-spekulasi mereka dewe! Tak pikir-pikir ya,
keberanian mereka itu sekurus hio! Dan kepengecutan mereka segembrot mammoth
hamil. Lemunya mencuat kemana-mana. Pernah liat mammoth hamil?” Herman bertanya
kepada Enlien tanpa memandangnya, sembari melirik sebal ke arah gerombolan
ai-ai yang dari tadi telah sibuk berkasak-kusuk.
“Ya nggak pernah lah...” Sentak Enlien.
“Seperti mereka,” Herman masih mencibir ke arah ai-ai
di sana, “gemuk, besar, purba, yang seharusnya sudah punah. Aku benar-benar sudah
gatal untuk menceritakan perkara yang
sebenarnya ke semua orang termasuk mereka, mammoth gembrot! Tapi, kau tau ndak permasalahan besarnya lagi?”
“Ndak. Aku ndak tau.”
“Masalah sialan! Keluarga besarku sinting semua! Yang
benar saja, aku telah dihujat sana-sini oleh para tetangga gara-gara tuduhan
edan mereka, tapi keluargaku menyuruh kami semua untuk tutup mulut atas
detail-detail perihal kematian Akong.” Herman mengatur nafas sejenak lantas
memisuh dengan lantang, “Wong eddyan! Kelewat tabu katanya.
Juga demi melindungi nama baik keluarga besar. Terutama nama baik Akong sebagai
orang terpandang. Cih!”
“Kau ndak marah
padaku kan? Awal mula juga aku sempat terbawa arus kabar burung yang beredar
bahwa kau terlibat intrik sadis itu.”
“Iya, tapi setelah itu kan kau bertanya langsung
padaku untuk kebenarannya. Berbeda dengan para penyebar berita dusta itu.”
“Lantas, kau akan menceritakan kepadaku atau tidak
perihal penyebab kematian Akong?”
“Tentu saja!” Kata Herman mantap.
Herman mengingat-ingat kejadian lima hari lalu.
7-10-2007 pukul 07.10 WIB setelah ia membacakan kolom
Sadda dalam Astrologi Jawa oleh Ki Adinagoro di Koran Suara Merdeka. Kurang
lebih seperti ini:
------
SADDA: Bisnis sandang ada peningkatan. Keuangan: cukup
lancar. Kesehatan: rawan masuk angin dan sakit lambung. Yang diinginkan sering
gagal dan gampang tertipu. Anda juga terlalu percaya terhadap kata-kata manis
dari orang yang dianggap baik. Anda cenderung keras kepala. Mudah terkenal dan
banyak orang mengagumi.
------
Kemudian selama lima puluh tujuh detik, akong
mengerut-ngerutkan alis matanya. Sekonyong-konyong kakek si Herman terkesiap.
Meletakkan pincuk nasinya yang tinggal sedikit di atas meja. Tersisa tulang
ikan bandeng, ampas-ampas pecel, juga sedikit nasi. Lekas akong menuju telepon
rumah di sebelah gulungan kain-kain satin chinanya. Mencermati catatan nomor
telepon di dinding sambil telunjuk kirinya―karena telunjuk kanannya masih kotor
bekas makan pecel yang juga masih penuh di mulutnya―ditempelkan dan digerakkan
dari baris atas-ke-bawah lalu kolom kiri-ke-kanan di catatan di dinding itu,
kemudian akong menelepon. Bla-bla-bla-dan-bla. Demikianlah kira-kira percakapan
mereka. Intinya, akong ditipu oleh pemasok kain satin china ekspor. Pemasoknya
kabur bersama uang akong. Akong kaget lalu tersedak. Dan duri ikan bandeng
menancap dalam di kerongkongannya. Akong tersengal-sengal, nafasnya tinggal
setengah, megap-megap. Herman bingung. Spontan Herman memasukkan ujung jari
telunjuk dan jempolnya ke mulut akong yang terbuka lebar untuk mengambil duri
ikan bandeng. Namun, ia tak mampu meraihnya. Herman bingung lagi, lalu ia berlari
pergi mencari pinset―untuk mengambil duri bandeng. Pinset disimpan di lemari
obat di ruang tengah, Herman sudah hafal letaknya. Setelah mengambil pinset, Herman
bergegas lari kembali ke tempat akong sekarat. Lima meter di depan Herman yang
sedang berlari kepayahan, kedua tangan akong yang sedari tadi memegang lehernya
akhirnya jatuh lunglai lalu diikuti badannya yang jatuh juga ke lantai. Langkah
kaki Herman terhenti begitu saja, ia sempat melongo beberapa detik. Pinset
masih dipegang Herman erat, tidak jatuh. Lalu tubuh Herman tergegas lagi ke
arah tubuh akong yang tergeletak di lantai. Herman mengguncang-guncang tubuh
akong, mengecek nafasnya, memeriksa nadi di pergelangan tangan akong
asal-asalan—yang mana Herman pun tak mengerti apakah masih terasa atau tidak denyut
nadi akongnya. Herman melongo kembali beberapa detik. Akong mati. Mati bukan
karena duri bandengnya, namun karena akong tersedak. Sudah begitu saja. Mati
karena tersedak tak bisa bernafas. Begitu kata dokter—yang memeriksa penyebab
kematian akong—setelahnya.
Keluarga besar Akong Liong tidak terima. Katanya, cara
matinya kurang ‘wah’, kurang greget, kurang menggigit! Menurutnya, Akong Liong
sebagai orang terpandang tak pantas mati hanya dengan cara tersedak saja.
Seharusnya cara matinya jatuh dari pesawat atau jatuh dari helikopter, ya
pokoknya cara mati yang semacam itu. Elegan! Ditambah Akong terlampau percaya
dan mendengarkan apa yang dibacakan Herman dari Astrologi Jawa di surat kabar.
Akong adalah seorang tionghoa, mengapa ia percaya kepada astrologi jawa? Itu
kan hal memalukan! Kalau sampai orang luar tau sehingga ada kemungkinan
media akan memberitakan perihal kematian Akong, itu kan bisa jadi berita
konyol! Mereka bisa memberi judul “Seorang Pedagang Kain China Meninggal Dengan
Cara Konyol”. Mungkin juga bisa masuk di acara tv show dengan tag “7
Cara Mati Konyol di Dunia”.
“Keluargamu parnoan, ya?” Simpul Enlien. “Termasuk Akong,
sampai-sampai Akong sangat percaya apa yang dituliskan Ki siapa itu, di
astrologi jawa yang kau bacakan untuknya kemarin?”
“Ki Adinagoro. Iya. Begitulah.” Jawab Herman. “Akong
juga sangat patuh pada aturan shio. Untung saja shioku macan, kalau kuda, nanti
aku ndak boleh nginep rumah akong. Akong shio tikus. Shio tikus
katanya paling ndak cocok sama shio kuda.”
“Oh, sebegitunya ya... Kalau kamu, percaya sama yang
begitu-begituan ndak?”
“Aku? Endak ah,
nanti aku matinya jadi kayak akong, tersedak!”
“Hahahahahha.”
Mereka berdua tertawa tergelak-gelak tak sampai
tersedak.
Antrian panjang mengular di pekuburan telah habis.
Mereka berdua jadi tak terlalu perlu berdesak-desakkan. Mereka pulang
melenggang bersama dengan santai.
“Mengapa namamu Herman, ya? Kuno sekali di jaman
sekarang.”
“Aku juga tidak tau. Hahhahaha. Mungkin Herman adalah
nama mantan kekasih ibuku.”
“Hahahahhahahhaha.”
Mereka berdua tertawa tergelak-gelak tak sampai
tersedak.
Lalu hujan gerimis turun tersendat-sendat.
SELESAI
-----
Keterangan:
1.
Hio --- dupa china
2.
Cai ma --- wanita satu
atau berkelompok yang menggunakan baju
hitam membawa simbal dan alat musik untuk doa lainnya dan melakukan serangkaian
upacara dan doa. Untuk acara pemakaman agama konghucu, biasanya untuk
menyanyikan lagu, dan lain-lain
3.
Ai-ai --- sebutan bagi
wanita-wanita tionghoa seumuran/sebaya ibu, yang bukan saudara, bagi
4.
Apek --- sebutan bagi
laki-laki tionghoa seumuran/sebaya bapak yang bukan saudara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar