Rabu, 05 Juni 2013

Gara-Gara Koran



Oleh Failasufa An

Suatu pagi di hari Minggu pukul tujuh lewat sepuluh tanggal tujuh bulan kesepuluh tahun dua ribu tujuh. Tanggal ini akan menjadi bagian dari aksara china tradisional, Hanzi namanya,—yang diukir di batu nisan besar, yang terbuat dari marmer—di pekuburan china kaki bukit Gunung Gandul.


Herman selalu rutin mengungsi di rumah akongnya tiap akan ujian. Akong sudah lama menduda dan tinggal sendirian di rumahnya yang hening, sunyi, tenang, juga nyaman, dan adem. Pun kata Ci-Hu-nya—suami kakak perempuannya—, yang ahli Fengshui, rumah akong membawa energi super positif untuk belajar atau menyerap ilmu. Atap rumahnya tinggi menjulang. Masih termasuk rumah jaman dulu. Rumah indish peninggalan Belanda. Penuh perabotan kuno. Guci. Patung. Lilin merah besar seukuran lontong. Hio-hio1 panjang sepanjang sapu lidi di mana ujung teratasnya api-api kecil sedang meruap-ruap alun, tertanam ujung bawahnya sebagian dalam hio lo—wadah hio yang berbentuk cawan berwarna emas terletak di poros rumah. Juga lukisan macan dan tikus agung terpacak mantap di sisi dinding sebelah kanan altar sembahyang. Dinding didominasi warna kuning matang dengan sedikit ornamen china warna merah pada tiap-tiap sudutnya―dan satu sisi dinding sisanya polos warna putih tulang dimana di depannya terlonggok gundukan kain-kain satin china yang mentereng warnanya. Tegel rumah bermotif geometri bunga warna krem. Matahari yang sedang girang-girangnya menyinari teras semburat masuk ke dalam melewati pintu utama dan jendela utama yang berukuran jumbo.


Saat ayam sudah berhenti berkokok dan sepuluh menit sebelum pukul tujuh lewat sepuluh. Herman sedang duduk menggelesot di teras seraya membolak-balik halaman koran satu persatu dengan tak sabar. Tidak ada yang menarik. Tidak ada yang menarik. Lagi-lagi tidak ada yang menarik! Herman telah kehabisan bacaan yang menggelitik untuk merefresingkan otaknya dari rutinitas belajar. Ia telah membaca majalah bisnis milik akongnya. Tidak ada yang menarik. Ia juga telah membaca buku neraca lama di meja akongnya. Juga tidak ada yang menarik. Terakhir sebelum ia menyerah, ia menemukan koran! Masih saja tidak menarik! Berita-berita yang menggelikan baginya. Ekonomi & Bisnis. Pendidikan. Olagraga. Apalagi politik! Alah! Berita kriminal? Memang agak berhasil menarik perhatiannya. Ia membaca karena penasaran sekaligus lumayan menjadikannya sebagai bahan cercaan, “Masih ada ya penjahat blo’on macam ini? Para penjahat jaman sekarang ndak makai jidatnya buat mikir agar mereka ndak ketangkap. Dasar blo’on!” Tapi hanya sebutuhnya, tak sampai rampung paragraf-per-paragraf dibacanya. Lantas, tepat kali ketujuh ia menyibak-nyibak halaman secara serabutan setelah membaca sedikit berita kriminal, Herman menemukan kolom Astrologi Jawa oleh Ki Adinagoro. Ia dekatkan mata sipitnya ke koran, membaca sebentar,berhenti, lalu tiba-tiba bertanya, “Oya, Akong kapan lahirnya?”
“23 Mei. Sad-da. Ada ndak, Her?” Kata Akong seraya memalingkan wajahnya dari sepincuk sarapan nasi pecel lauk ikan bandeng ke arah Herman dengan tangan kanan masih mengepal penuh sejumput nasi.
“Ada Kong. Tak bacak-ke ya...”Jawab Herman.



~O~


Akong mati. Akong mati secepat kilat pada hari Minggu, tepat pukul tujuh lewat sepuluh tanggal tujuh bulan kesepuluh tahun dua ribu tujuh, lima hari lalu.

Pemasangan berita duka di koran—menilik Akong adalah salah satu seorang pedagang kain china tersohor di daerahnya—hingga upacara pemakaman yang dilangsungkan cukup besar-besaran dengan menyewa suhu dan cai ma2, telah selesai. Tangisan kencang sekencang-kencangnya, bagai raungan kuda yang benar-benar kesakitan, oleh sanak saudara (baik bagi mereka yang sungguh-sungguh dirundung duka mendalam maupun yang sungguh-sungguh khusyuk dengan kepura-puraan), juga telah rampung. Lantas kerumunan pelayat segera tercerai-berai ke arah mobil masing-masing. Pemakaman menjadi macet, ricuh, padat merayap. Terpaksa beberapa kelompok pelayat harus mengalah untuk berdiam diri dulu di belakang menunggu antrian depan, depannya lagi, dan depan-depannya lagi agar cepat keluar dari area pemakaman. Pada akhirnya apa yang dipendam mereka sejak upacara tutup peti tiga hari lalu, terlepeh juga. Gerombolan ai-ai3, juga terselip satu apek4, berbisik pelan penuh hasrat.
“Pssttt.. Psssttt.. Sinio, sinio, merapatlah yang rapat..” kata seorang ai menarik lengan ai yang lain. “Sinio lho.. Sini.. Ndak enak kalau kedengaran yang lain.” Lantas ai yang lain juga turut menarik lengan ai yang lainnya lagi. “Kalian ndak pada penasaran ya, sama cara meninggalnya Akong Liong?”
“Iya, emang kenapa sih? Yang benar gimana? Sebab, keluarga besar Akong menutup-nutupi penyebab meninggalnya Akong.” Tanya ai kedua.
“Ada yang bilang, meninggal karena jantungan setelah menelepon.” Ujar ai ketiga.
“Tidak. Tidak. Tidak begitu. Ndak gitu! Saya dengar dari keluarga intinya, Akong Liong meninggal karena keracunan makanan.” Sahut apek satu-satunya.
“Mungkin... Akong meninggal... karena dibunuh cucunya... ya si Herman itu! Kan ada saksi yang lihat Herman duduk di teras bersama mendiang. Iya, mungkin itu. Pasti benar! Intrik warisan. Mungkin Herman adalah suruhan bapaknya, anak Akong Liong.” Ai kedua menimpali dengan mata berbinar-binar namun tetap lirih.
“Mungkin juga.”
“Mungkin...” dan seterusnya dipenuhi dengan hayalan tanpa data.
Semua saling sahut karena merasa benar bahwa kemungkinan-kemungkinan pada jawaban masing-masing mereka sendirilah yang terbenar.



Sementara itu, di sisi lain pekuburan. Duduk bersila bersama Herman di nisan kuburan lain, Enlien, tetangga Akong Liong sekaligus teman SMA Herman dua tahun lalu, sesungguhnya juga sedang mempertanyakan perihal cara mati Akong Liong yang terbenar.
“Untung kau bertanya-tanya padaku―jadinya aku merasa wajib menjawab pertanyaan-pertanyaanmu. Ndak ada orang yang berani bertanya langsung padaku. Malah mereka milih berembuk di belakangku dengan spekuasi-spekulasi mereka dewe! Tak pikir-pikir ya, keberanian mereka itu sekurus hio! Dan kepengecutan mereka segembrot mammoth hamil. Lemunya mencuat kemana-mana. Pernah liat mammoth hamil?” Herman bertanya kepada Enlien tanpa memandangnya, sembari melirik sebal ke arah gerombolan ai-ai yang dari tadi telah sibuk berkasak-kusuk.
“Ya nggak pernah lah...” Sentak Enlien.
“Seperti mereka,” Herman masih mencibir ke arah ai-ai di sana, “gemuk, besar, purba, yang seharusnya sudah punah. Aku benar-benar sudah gatal untuk menceritakan perkara yang sebenarnya ke semua orang termasuk mereka, mammoth gembrot! Tapi, kau tau ndak permasalahan besarnya lagi?”
Ndak. Aku ndak tau.”
“Masalah sialan! Keluarga besarku sinting semua! Yang benar saja, aku telah dihujat sana-sini oleh para tetangga gara-gara tuduhan edan mereka, tapi keluargaku menyuruh kami semua untuk tutup mulut atas detail-detail perihal kematian Akong.” Herman mengatur nafas sejenak lantas memisuh dengan lantang, “Wong eddyan! Kelewat tabu katanya. Juga demi melindungi nama baik keluarga besar. Terutama nama baik Akong sebagai orang terpandang. Cih!
“Kau ndak marah padaku kan? Awal mula juga aku sempat terbawa arus kabar burung yang beredar bahwa kau terlibat intrik sadis itu.”
“Iya, tapi setelah itu kan kau bertanya langsung padaku untuk kebenarannya. Berbeda dengan para penyebar berita dusta itu.”
“Lantas, kau akan menceritakan kepadaku atau tidak perihal penyebab kematian Akong?”
“Tentu saja!” Kata Herman mantap.
Herman mengingat-ingat kejadian lima hari lalu.
7-10-2007 pukul 07.10 WIB setelah ia membacakan kolom Sadda dalam Astrologi Jawa oleh Ki Adinagoro di Koran Suara Merdeka. Kurang lebih seperti ini:  
------
SADDA: Bisnis sandang ada peningkatan. Keuangan: cukup lancar. Kesehatan: rawan masuk angin dan sakit lambung. Yang diinginkan sering gagal dan gampang tertipu. Anda juga terlalu percaya terhadap kata-kata manis dari orang yang dianggap baik. Anda cenderung keras kepala. Mudah terkenal dan banyak orang mengagumi. 
------
Kemudian selama lima puluh tujuh detik, akong mengerut-ngerutkan alis matanya. Sekonyong-konyong kakek si Herman terkesiap. Meletakkan pincuk nasinya yang tinggal sedikit di atas meja. Tersisa tulang ikan bandeng, ampas-ampas pecel, juga sedikit nasi. Lekas akong menuju telepon rumah di sebelah gulungan kain-kain satin chinanya. Mencermati catatan nomor telepon di dinding sambil telunjuk kirinya―karena telunjuk kanannya masih kotor bekas makan pecel yang juga masih penuh di mulutnya―ditempelkan dan digerakkan dari baris atas-ke-bawah lalu kolom kiri-ke-kanan di catatan di dinding itu, kemudian akong menelepon. Bla-bla-bla-dan-bla. Demikianlah kira-kira percakapan mereka. Intinya, akong ditipu oleh pemasok kain satin china ekspor. Pemasoknya kabur bersama uang akong. Akong kaget lalu tersedak. Dan duri ikan bandeng menancap dalam di kerongkongannya. Akong tersengal-sengal, nafasnya tinggal setengah, megap-megap. Herman bingung. Spontan Herman memasukkan ujung jari telunjuk dan jempolnya ke mulut akong yang terbuka lebar untuk mengambil duri ikan bandeng. Namun, ia tak mampu meraihnya. Herman bingung lagi, lalu ia berlari pergi mencari pinset―untuk mengambil duri bandeng. Pinset disimpan di lemari obat di ruang tengah, Herman sudah hafal letaknya. Setelah mengambil pinset, Herman bergegas lari kembali ke tempat akong sekarat. Lima meter di depan Herman yang sedang berlari kepayahan, kedua tangan akong yang sedari tadi memegang lehernya akhirnya jatuh lunglai lalu diikuti badannya yang jatuh juga ke lantai. Langkah kaki Herman terhenti begitu saja, ia sempat melongo beberapa detik. Pinset masih dipegang Herman erat, tidak jatuh. Lalu tubuh Herman tergegas lagi ke arah tubuh akong yang tergeletak di lantai. Herman mengguncang-guncang tubuh akong, mengecek nafasnya, memeriksa nadi di pergelangan tangan akong asal-asalan—yang mana Herman pun tak mengerti apakah masih terasa atau tidak denyut nadi akongnya. Herman melongo kembali beberapa detik. Akong mati. Mati bukan karena duri bandengnya, namun karena akong tersedak. Sudah begitu saja. Mati karena tersedak tak bisa bernafas. Begitu kata dokter—yang memeriksa penyebab kematian akong—setelahnya.
Keluarga besar Akong Liong tidak terima. Katanya, cara matinya kurang ‘wah’, kurang greget, kurang menggigit! Menurutnya, Akong Liong sebagai orang terpandang tak pantas mati hanya dengan cara tersedak saja. Seharusnya cara matinya jatuh dari pesawat atau jatuh dari helikopter, ya pokoknya cara mati yang semacam itu. Elegan! Ditambah Akong terlampau percaya dan mendengarkan apa yang dibacakan Herman dari Astrologi Jawa di surat kabar. Akong adalah seorang tionghoa, mengapa ia percaya kepada astrologi jawa? Itu kan hal memalukan! Kalau sampai orang luar tau sehingga ada kemungkinan media akan memberitakan perihal kematian Akong, itu kan bisa jadi berita konyol! Mereka bisa memberi judul “Seorang Pedagang Kain China Meninggal Dengan Cara Konyol”. Mungkin juga bisa masuk di acara tv show dengan tag “7 Cara Mati Konyol di Dunia”.
“Keluargamu parnoan, ya?” Simpul Enlien. “Termasuk Akong, sampai-sampai Akong sangat percaya apa yang dituliskan Ki siapa itu, di astrologi jawa yang kau bacakan untuknya kemarin?”
“Ki Adinagoro. Iya. Begitulah.” Jawab Herman. “Akong juga sangat patuh pada aturan shio. Untung saja shioku macan, kalau kuda, nanti aku ndak boleh nginep rumah akong. Akong shio tikus. Shio tikus katanya paling ndak cocok sama shio kuda.”
“Oh, sebegitunya ya... Kalau kamu, percaya sama yang begitu-begituan ndak?”
“Aku? Endak ah, nanti aku matinya jadi kayak akong, tersedak!”
“Hahahahahha.”
Mereka berdua tertawa tergelak-gelak tak sampai tersedak.
Antrian panjang mengular di pekuburan telah habis. Mereka berdua jadi tak terlalu perlu berdesak-desakkan. Mereka pulang melenggang bersama dengan santai.
“Mengapa namamu Herman, ya? Kuno sekali di jaman sekarang.”
“Aku juga tidak tau. Hahhahaha. Mungkin Herman adalah nama mantan kekasih ibuku.”
“Hahahahhahahhaha.”
Mereka berdua tertawa tergelak-gelak tak sampai tersedak.
Lalu hujan gerimis turun tersendat-sendat.

SELESAI

-----
Keterangan:
1.           Hio --- dupa china
2.           Cai ma --- wanita satu atau berkelompok yang menggunakan baju hitam membawa simbal dan alat musik untuk doa lainnya dan melakukan serangkaian upacara dan doa. Untuk acara pemakaman agama konghucu, biasanya untuk menyanyikan lagu, dan lain-lain
3.           Ai-ai --- sebutan bagi wanita-wanita tionghoa seumuran/sebaya ibu, yang bukan saudara, bagi

4.           Apek --- sebutan bagi laki-laki tionghoa seumuran/sebaya bapak yang bukan saudara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar