Wangi khas secangkir
kopi toraja tanpa gula membumbung menyeruak hidung. Kopi bertambah syahdu bila
diseduh di pagi yang dingin. Ditambah bau tanah bercampur hujan. Dan bau mawar
merekah segar di dalam pot basah embun bercampur hujan. Cespleng! Barusan subuh
tadi Jakarta diguyur hujan. Seperti seharusnya di bulan Desember. Jatahnya
hujan datang ke bumi. Harini―dari nama lengkap di KTP-nya: Suharini―sedang
duduk di teras rumahnya, santai. Karena hari ini, hari Sabtu.
Teras sejadinya yang
berukuran satu meter kali empat meter masih cukup nyaman digunakan sebagai
ruang santai sejenak di pagi hari. Cukup untuk dua orang saja. Dua
menggenapkan, tiga akan mampu mengganjilkan. Lagipula, mana ada tiga kursi
teras berada dalam satu teras dalam waktu yang bersamaan? Tak akan pernah kau
temukan fenomena seperti itu. Sungguh! Coba saja kau cari di majalah-majalah
seri rumah atau taman. Secara estetika saja janggal. Karena estetika pun tak
pernah mengesampingkan fungsionalitas (sebenarnya ini bohong).
Satu halaman sesak
pot-pot kecil bunga mawar. Dua kursi rotan tua dan satu meja teras bundar
kecil. Sepaket warna coklat tua dipernis sangat mengkilap. Tak pernah diganti
sejak rumah ini berulang tahun pertama kalinya. Di situ pula dua orang selalu
duduk santai di Sabtu pagi. Namun, kali ini hanya Harini dan secangkir kopi
hitam.
“Bismillah” ucapnya.
Kopi panas itu disesapnya perlahan. Satu sesapan, berhenti. Satu sesapan,
berhenti. Lidahnya berjingkat kecil. Panas kicat-kicat. Harini
mengibaskan tangan kirinya di depan mulutnya yang menganga lebar dan menimbukan
suara “huwaaah hah hah”. Lalu perlahan ia taruh cangkir kopi di tangan kanannya
ke meja teras bulat di sampingnya. Sejenak menenangkan diri dari keganasan
panas kopi. Ia jadi teringat apa yang dipikirkannya semalam. Ia
telah mengingat-ingat. Ia telah mengingat-ingat sambil telentang di kasur dalam gelap sebelum tidur.
“Abah... Abah...”
seketika itu Harini berlari ke arah abahnya sambil berteriak-teriak.
“Teman-teman di kelas tadi mengejekku. Ka-ka-katanya mukaku jerawatan mirip
Susan..." ―Susah adalah orang gila yang biasa mangkal di pertigaan jalan dekat SD Harini.― "Aku ga mau jerawatan Bah... Aku ga mau....” Tangis Harini pun
langsung menghambur kencang.
Abah pun menimpali
penuh pengertian sambil mengelus-elus rambut Harini. “Ya sudah. Harini berdoa
saja, minta sama Tuhan kalau Harini mau jerawat Harini hilang. Sabar ya...”
Harini menuruti saran
abah. Berdoa kepada Tuhan. Namun Harini masih lugu, tidak begitu mengerti bahwa
Tuhan tak mengenal aturan beli-bayar dari para pendoanya. Maka Ia pun berdoa,
“Ya Tuhan. Aku mau jerawatku hilang. Plisss... Tak apa aku gemuk sedikit. Asal
jerawaku hilang. Ya Tuhan, ya?” Jerawat dibayar dengan kegemukan.
Ketika Harini tak
menyenangi hawa panas di sekitarnya―cuaca saat itu memang sedang panas-hujan
tak menentu―, ia berteriak, “Abah? Panas... Abah kenapa ngga
pasang-pasang AC kayak rumah tetangga-tetangga sebelah? Panas.”
“Coba kamu berdoa.
Mintalah hujan agar panas hilang. Coba saja.”
Oke. Saya ini engga punya diari. Karena ga punya diari. Saya akan tuliskan mimpi saya di sini. HAHA.
1. Umur 26 mentok-mentok, saya akan menghadiahi diri saya sendiri 1 buku dahulu. 1 buku tulisan saya sendiri. Bismillah. HAHA.
Dan karena saya malas menjawab perihal "kapan nikah?" Yak, society kita tuh gitu tuh, pertanyannya adalah "kapan nikah?" ntar setelah nikah, "kapan punya momongan?" dih. Siapa yang ngelakoni, kok situ tanya-tanya terus? Ini hidup siapa sih? Terserah saya dong. Sekarang saya punya jawaban dan doa.
2. Saya akan menikah setelah buku pertama saya terbit. HAHA.
Itu doa kan bo'? Doakan saja deh, mempercepat kebaikan. =,)
Sebenernya ini terinspirasi oleh adik teman SMA saya, Najmalinda Zenitha:
"Guess what? I open my dream book, that I had not open for around a year or a year and half. I read a dream on it that said "Jalan2 keliling eropa Juli 2012". Well, I forget that i ever wrote that dream, specifically i forgot when i want to realize it. It didnt literally happen on July, but on August.But I rather shock on the power of writing our dreams. I wrote that dream, and it does really happen. Subhanallah :"))"
Terima kasih. Semoga simpanan ini, cepat mengebul, bul, bul.
Besok adalah hari Jumat, 15 November 2012. Dalam kalender Islam artinya tanggal
1 Muharram 1434 Hijriah. Dalam kalender Jawa artinya tanggal 1 Suro―yang kadang
dikeramatkan. Dalam kalender negeri Indonesia artinya tanggal merah. Merah yang
dinanti. Merah yang berhenti, grak!
Hari ini, aku bangun terlambat. Sebenarnya
memang sudah biasa untuk bangun terlambat. Atau memang selalu sengaja untuk
bangun terlambat. Keadaan pun seperti biasa. Selalu ada buku yang terbuka
halamannya, di samping laptop di atas meja. Selalu ada gunungan cucian di
belakang pintu. Dan selalu ada buah naga dan susu kedelai di atas rak sepatu
telah siap sebagai sarapan pagi―setelah minum segelas air putih, menyisir
rambut, dan gosok gigi.
Namaku Suharini. Kata bapak ibuku, arti
namaku adalah kebaikan hari ini. Su artinya baik. Harini adalah singkatan dari
hari ini. Jadi, hari ini selalu baik. Hari ini. Ini. Ini. Setiap hari selalu
baik. Entah mengapa aku anak tahun 1989-an, masih saja dinamai dengan awalan
Su, dan hanya satu kata. Suharini. Hanya itu.
Ibuku tak pernah mengajari untuk
berbohong. Bapakku pun tidak. Mereka berdua sangat melaknatnya. Apalagi Tuhan.
Ia melarang keras ajaran kebohongan. Dan aku pun malas untuk dikatai munafik
atau pembohong. Namun, aku manusia. Sering sekali khilaf. Aku memang tak gemar
berbohong. Namun aku sungguh gemar mencari celah untuk menciptakan kalimat umum
sehingga menghasilkan banyak tafsiran.
Tok tok tok. Tok tok tok TOK. TOK. TOK.
TOK. TOK. TOK.
“Har, Har, tangi Har! Jam wolu Har...” Taufik
mengetuk pintu kamar sembarangan seenak udel. Tangan tak
bertanggung jawab.
Kaget. Mataku terbelalak lima detik untuk
menengok pada jam HP di sudut meja―sekarang HP bermultifungsi, jam dinding dan
weker dimerger ringkas ke dalam sepaket mobile phone. Lalu. Sialan.
Ia membohongiku. Sekarang jam 07.02 WIB. Alarm berjalan itu berhasil
membangunkanku satu jam lebih pagi daripada biasanya. Aku tidur lagi. Tidak.
Tidak jadi. Aku teringat pekerjaanku yang belum selesai. Kurang tiga bab
terakhir lagi, selesai.
08.25 WIB :
Tujhe dekha to yeh jaana sanam...
Pyar hota hai deewana sanam...
Alarm Pengingat berbunyi. Memang sengaja
agar bunyinya norak seperti itu―norak-norak merdu. Biar minta kuperhatikan.
Begitu konsepnya. Bertuliskan:
Hai matahari yang terbit di timur dan tenggelam di barat dan selalu menjadi romatisme dunia.
Kapan dan siapa yang pertama kali berpendapat bahwa matahari terbit di timur dan tenggelam di barat adalah indah dan romantis?
Apakah satu orang berkata bahwa matahari yang terbit di timur dan tenggelam di barat itu indah, lalu orang-orang lain mengikuti?
Satu pendapat berpengaruh pada jutaan manusia sekitar. Sebegitu besarnya pengaruh kata dari 'orang-orang besar'.
Apakah Adam dan Hawa yang menemukan keindahan romantisme matahari terbit di timur dan tenggelam di barat? Mereka pasti karena terbisiki oleh-Nya.
Matahari terbit di timur dan tenggelam di barat adalah hal biasa, ia statis bukan dinamis. ia jarang dirindui.
Ingat, jarang! Bukan tidak pernah.
Matahari terbit di timur dan tenggelam di barat sifatnya statis kadang tak disyukuri, tak dicari, dan tak dirindui.
Statis berbanding lurus dengan tak dirindui.
Matahari terbit di timur dan tenggelam di barat selalu dengan setia terbit di timur dan tenggelam di barat, masing-masing sehari sekali.
Hai matahari, apakah kau tak jengah untuk statis dan setia sehingga tidak dirindui para manusia?
Coba hai kau matahari, tak datang barang sehariiii saja. Kau pasti akan dirindui oleh para manusia. Tanaman tentu merinduimu. Tanaman bisa kelaparan kemudian busung lapar kemudian mati tanpamu, sehariii saja.
Apakah untuk dirindui perlu suatu dinamisasi, ketidakdatangan, kepengecewaan, dan ketidaksetiaan?
"Dengan amat setia Gusti menerbitkan matahari tanpa peduli apakah kita pernah mensyukuri terbitnya atau tidak."
~Emha Ainun Nadjib
Besok ketika hari kiamat datang, kira-kira adakah manusia yang menyadari matahari terbitnya bukan di timur melainkan di barat? Mungkin mereka yang tidak akan sadar matahari terbitnya di barat bukan di timur, adalah orang-orang yang linglung, arah. Orang-orang disorientasi. Oke. Sekian. Salah fokus. #curhat
semangka***: waaaa lucu fel
semangka***: koyo wong mabuk ngono
Fela: lucu kaannn,, itu kan pas aku SD dan berteman denganmu
semangka***: ahahahaha
semangka***: kita kan sampai skg masih berteman sayang
semangka***: kelingan ra tutup gembesmu tibo ng kalen kw nangis
semangka***: e aku yang dimarahi
Fela: pas sekolah podo maksudku
Fela: ora
Fela: hahahahhaa
Fela: lali
Fela: sopo sik nyeneni?
Fela: tutup gembesku?
Fela: dan aku nangis?
Fela: kok gembeng banget sih?
semangka***: iyo koe marah2 ro aku dikira aku yang njatuhin
semangka***: wkwkwkw
semangka***: tibo pas bar olahraga
semangka***: koe nangis kekejer kae
Fela: mosok sih???
Fela: nggilani banget ik
Fela: hahahahhaa, kok kw eling to?
Fela: sori yo...
Fela: aku lali blas je
Note: semangka*** adalah teman SD kelas 3-kelas 4 Fela ketika masa kecilnya sempat tinggal di Yogyakarta.
Pelajaran yang harus diambil :
Minta maaflah, walau sudah lama kesalahan itu kau lupakan. *Tak sengaja lupa.
Minta maaflah, walau kau lupa kesalahanmu.
Jadilah anak yang baik, jangan ngasal marah-marah ke anak laen atas kesalahanmu sendiri. Seperti pelajarang, "Dih, mejanya yang salah. Bukan aku. *Sambil ngeplak-ngeplak meja selagi nangis kejer. Padahal, yang sembrono jalan dan kebentur meja siapa? Anak itu sendiri kan? Harus belajar untuk tidak menyalahkan orang lain, tapi lebih ke belajar berhati-hati.". Kasian anak itu, semangka*** anak yang baik, penyayang, dan anak semata wayang tapi kena marah-marah seorang anak manja dan semena-mena.
"Rahasia adalah hal yang berbahaya, bahkan ketika rahasia-rahasia itu perlu disimpan pun, mereka akan menggerogoti jiwa kita" ~Nilofer; The Stone Woman; Tariq Ali
Rahasia. Mengenai rahasia. Semua yang ada di antara kepitan langit dan bumi, berahasia. Bumi pun berahasia. Ia menyembunyikan waktunya, kapan saat yang tepat
untuk memuntahkan seisi bumi dan meledakkan permukaannya. Termasuk rahasia, bukan? Hanya Tuhan yang tau. Tuhan pun
berahasia—ya karena Tuhan itu Mahakeren, makannya Dia mampu berahasia. Lalu, siapakah makhluk di dunia ini, yang tak mempunyai rahasia? Bahkan sekecil biji zarah dan seenteng debu pun, ada? Oh, saya pikir tak ada—tak ada makhluk di dunia ini yang tak punya rahasia. Saya pikir pula, manusia itu sebenarnya tidak tahan untuk menahan-nahan. Menahan berahasia. Sebenarnya, rahasia sudah hampir menjadi bukan rahasia lagi. Orang yang bisa menyimpan rahasianya rapat-rapat sampai mati adalah orang yang kuat dan sekaligus orang yang kurang ajar! Kuat karena orang yang bisa menahan-nahan rahasia di hatinya, adalah kuat! Karena menahan-nahan sesuatu adalah berat dan membutuhkan energi besar. Saya sebut kurang ajar karena ia dengan egoisnya menyembunyikan kebenaran. Kebenaran dan kejujuran adalah mutlak untuk diketahui bagi yang membutuhkan. Oleh karena itu, ada pengadilan, untuk mengungkapkan kebenaran. Misal gini nih contoh rahasia yang disimpan sampe mati,
"Sebenarnya aku bukanlah ibu kandungmu nak... Aku hanyalah tantemu, kembaran ibumu. Ibu kandungmu sudah mati setelah melahirkanmu, tidak sengaja aku ketika bertengkar dengan ibumu, aku melemparkannya ke laut. Mungkin tubuhnya sudah dimakan piranha tanpa sisa. Maafkan aku nak... Aku menyimpan rahasia ini puluhan tahun lamanya, harusnya kamu berhak mengetahui ini. Tapi, sebelum sempat aku menceritakan kebenaran ini padamu, ajal sudah menjemputku."
atau...
Andaikan Romeo dan Juliet saling merahasiakan rasa cintanya, maka kisah Romeo dan Juliet pun tak akan pernah terjadi. Rasa cinta yang dirahasiakan dan dibawa mati. Ah egois. Tak akan ada kisah cinta yang indah-indah. Yang ada hanya, hambar dimana-mana. Statis. Dan bukan dinamis. Bukankah sesuatu yang dinamis dan berkelok-kelok itu menarik?
Ahhhh ini kenapa jadi drama... Oh men... Memang wanita mencintai drama, eh kenapa wanita? Ah wanita. Kenapa wanita senang mendramatisasi sih?
Oke, balik lagi ke pokok bahasan utama, rahasia. Rahasia dalam KBBI adalah kata benda yang berarti sesuatu yang sengaja disembunyikan supaya tidak diketahui orang lain. Orang kan? Orang. Jadi, kita masih punya rahasia yang sebenarnya bukan rahasia. Loh? Ya karena kadang kala, orang menceritakan rahasianya pada benda mati. Misal buku diari. Hahah. Kuno banget ya, Diari. Sekarang? Sudah bukan masanya diari, lalu ke mana rahasia butuh dilepaskan? Rahasia lho ya, rahasia itu artinya disembunyikan dari manusia. Jadi melepaskannya pada benda mati tak apa-apa kan? Sah-sah aja kan?
Kepada benda mati mana harusnya rahasia perlu disimpan? Lalu mengapa pula perlu melepaskan rahasia? Karena menyimpan rahasia adalah hal menyesakkan, "rahasia adalah hal yang berbahaya, bahkan ketika rahasia-rahasia itu perlu disimpan pun, mereka akan menggerogoti jiwa kita" ~quote Nilofer; The Stone Woman; Tariq Ali. Maka lebih baik ia dilepaskan dan tetap menjadi rahasia yang menguap ke udara.
Oke, kembali ke pertanyaan, ke mana rahasia sebaiknya disimpan? Ke dalam hati? Hati orang? Hatimu sendiri? Capek tau. Capek. Hati dan otak itu kecil, eh dimasukin berbagai macam rahasia. Menggunung. Eh meledak. Mending meledak bisa ilang, lenyap. Sayangnya meledaknya rahasia dari hati mirip dengan sembelit. Kebelet tapi ga bisa keluar. Cuma butuh waktu, tempat, dan obat yang tepat untuk melepaskan. Eh apa balik lagi menyimpannya ke era diari? Menulisnya dengan catatan tambahan di bawahnya "ini rahasia ya, jangan bilang siapa2." lalu membakar diari itu, dan seketika juga dengan terbakarnya diari itu, ingatan tentang rahasia itu akan hilang, lepas gitu? Bener akan berhasil? Engga! Dijampi-jampiin mungkin? Bahkan alat canggih berteknologi tinggi dalam film Eternal Sunshine Of The Spotless Mind pun, si dokter yang membantu mengambil ingatannya itu. Jadi si dokter tau dong, rahasia terdalam yang kepingin dihapuskan pasiennya dari ingatannya?
Terlalu tau banyak hal tentang hal-hal yang sebenarnya kita tak perlu tau adalah menyapekkan. Apalagi hal-hal tersebut kebanyakan hal-hal negatif. Kata @empap, "Mengetahui hal negatif tentang orang lain dalam lingkaran sosial kita, dapat merusak objektivitas pandangan kita pada orang tersebut." Mendingan kalau mau meminta tolong orang untuk merahasiakan rahasia kita, lebih baik ceritakanlah rahasia tersebut pada orang-orang di luar lingkaran sosialmu. Ga akan merepotkan dan membebani orang yang kamu titipin rahasia itu. Oya, ada sedikit saran yang bisa saya sampaikan sebelum orang menceritakan, menyimpan, sekaligus melepaskan rahasianya padamu:
Tanya dulu rahasianya sebesar dan sepenting tentang hal umum apa dan siapa? Kalau kamu siap untuk tetap objektif dengan menerima dan menyimpan rahasia itu, ya silakan. Dan sebaiknya tau cara melepaskannya juga. Catatan aja: Biasanya sih, kalau rahasia yang akan diceritakan orang itu adalah hal besar, saya kira rahasia itu sudah bukan menjadi rahasia lagi. Karena orang yang menyimpan rahasia itu sebenarnya juga mendapatkan rahasia tersebut dari orang lain dan si calon pencerita rahasia sudah tidak kuat untuk menahan-nahan rahasia besar itu, rahasia yang siap meledak, lepas. Jadi, sudahkah engkau siap menjadi bahu dan tangan kanannya untuk dibagii rahasia besar itu? Rahasia besar yang hanya diketahui oleh orang-orang terdahulu. Kalau sampai rahasia itu turun sampai ke generasimu, berarti sudah menjadi rahasia turun-temurun dan rahasia sangat, sangat, sangat besar. Seperti, "Anak si X itu sebenarnya bukan anak kandung antara si X dan Y. Namun hasil perselingkuhan antara si X dan si Z". Wauw, saya mendramatisasi lagi. :)) Tapi ya begitulah permisalannya.
Kalau udah siap menyimpan rahasia, jangan lupa untuk menyiapkan otak dan mencatatnya kalau hal yang diceritakan itu adalah hal rahasia. Dicatatat secara detail dan lengkap. Perihal dan oleh siapa dan tidak boleh diceritakan kepada siapa saja. Ya, biar ga kesingsel-singel dengan rahasia-rahasia kecil yang ga penting lainnya. Namanya juga udah diserahin kata, "jangan bilang siapa-siapa" atau "rahasia ya", ya tetap jadi rahasia dong walaupun itu hal paling ga penting sedunia. Misal, "Yang kentut di ruang ujian tadi, saya. Jangan bilang siapa-siapa ya. Rahasia."
Kalau bisa dan mampu melupakan rahasia dan jangan sampai keluar kemana-mana, ya lupakan saja. :)) Gimana caranya coba? Embuh. Melupakan secara sengaja itu susah lho... Mending urusan-urusan ga penting lupakan saja. Lepaskan.
Oya, catatan juga. Ga usah deh hobi bilang, "Ini rahasia ya. Jangan bilang siapa-siapa". Artinya pencerita memberi tugas dan membebani orang. Dia curang ih curang! Dia mau setengah lepas tangan. Beban yang ada di pundaknya dan harus di pundaknya, malah dibagikan ke orang lain. Daripada kamu kasih dan bagi rahasia itu ke orang lain. Mending lupakan saja. Lepaskan. Hoooooohhh... Haaaaahhhh... Hiiihhhh... Duaaarrrr...
Otak dan hati itu kecil lho... Menyimpan rahasia artinya menyimpan
memori. Otak dan hati penuh dong jadinya kalau terlalu banyak memori. Bisa mengurangi space buat bagian santai-santainya otak dan hati. Udah... ga usah terlalu semua dipikirin dan dimasukin ke hati dan berberat hati menyimpan rahasia—mending jadi orang yang apa adanya, legowo, dan tanpa rahasia. Dipilah-pilah dulu mana yang pantas masuk otak dan hati. Tentu yang ga merusak dan membebani otak dan hati. Oh bahagianya... Menjadi enteng dan santai. Sel-sel syaraf otak dan hati pun perlu meregang.
Jadi, balik lagi ke pertanyaan, ke mana sebaiknya rahasia disimpan?
Sebelum disimpan, ga usah menyimpan. Sebelum membuat rahasia, ga usah dibuat rahasia. Beres. Ga usah punya rahasia. :)) Karena rahasia itu beban. Intinya, cuwek aja. Ga usah terlalu banyak mikir beban.
Bagi yang udah terlanjur menyimpan, lepaskan saja. Lalu muncul pertanyaan lagi, ke mana sebaiknya rahasia dilepaskan? Ke mana saja dan apa pun di mana ia bisa membawanya pergi lepas ga balik-balik. Di buang ke laut. Laut lepas. Hati-hati juga ketika melepasnya agar tidak dibaca atau dilihat, dan bisa didengar orang.
Rahasia, aku maling!
NB: Pernah seorang Pradipta Surya Dinandra, manusia yang mirip burung, ringan mampu terbang dengan bebasnya, berkata pada saya. "Saya ga punya rahasia, oleh karena itu saya adalah makhluk paling selalu gembira di bumi ini." Benar saja saya pikir, memang orang yang tidak menyimpan rahasia adalah orang yang paling bergembira di muka bumi ini. Karena ia tak perlu menyimpan dan menahan sesuatu. Kan sudah saya bilang sebelumnya, menahan-nahan sesuatu perlu energi. Menahan kentut ketika solat pun, perlu energi.
“Pyuh!
Pegawai biasa, gaji standar. Status jomblo. Tempat ndoprok sementara: Jakarta.
Lagi mikir super berat. Tiket PP Jakarta-Surabaya itu, setidak-tidaknya sejuta-an.
Liburku pun cuma Sabtu dan Minggu. Aduh. Ke Surabaya-enggak-ke Surabaya-enggak.
Ada sih duit. Tapi, duit sejutaan habis dalam selang waktu 2 hari aja itu,
mubadzir besar! Tapi, penasaran. Butuh
buat konfirmasi pada perasaan saja sih. Pergi-enggak-pergi-enggak. Galau
tingkat dewa.”
(Lelaki—teteup
kalem dan penuh dengan coolness)
“Hah?
Apa ini? Engga mungkin! Sangat
memalukan. Ngga mungkin seorang Sri dengan mudahnya naksir makhluk online? Ini
bener ga sih? Ini hukuman bagi para pecinta online ya? Tuhan? Hoi Tuhan, aku
dipermainkan internet… Aaaaa… Aku suka internet, tapi ogah melibatkan hati. Haaaaaaakkkkk…
Matilah aku. Mati! Mati! Mati! Tuhan, tolong sadarkan aku dari mimpi buruk ini.
Bayang abu-abu nggak jelas! Aku ngga ngerti ini kudu ngapain. Apa-apaan ini,
hah? Bola mataku rasanya mau loncat kegirangan kalau lihat mr_paijo online. Dan
tiap melihat notification orange berkedip-kedip, hatiku langsung oleng, saking
senengnya. Makjang… Tampar aku Tuhan! Tampar aku! Aku terbelasuk ke jalur abu-abu. Kalau sampai
teman-temanku tau, aku tak akan bisa lolos dari julukan makhluk ga realistis.
Maluku sudah tak bisa kusembunyikan di pantat lagi—yang sekarang sudah pindah
ke muka. Oh… Dia di sana-aku di sini. Aku menyusahkan diriku sendiri. Kayak ga
ada lelaki di depan mata saja. Malah naksir lelaki online.”
(Wanita—yang
jelas lebih bawel dan lebay daripada makhluk yang disebut lelaki.)
Adalah jeritan hati para onliners yang
sedang terjerat jaring-jaring cinteh onlineh. Ternyata, cinteh sekarang tak
sebatas mata memandang, namun bisa meloncat-loncat seperti kutu loncat, lewat jejaring online.
Jadilah cinteh onlineh.
~O~
Pagi. Mendung. Dalam kamar kost. Dan, maskeran!—kebiasaan yang teramat jarang saya lakukan. Memulai Senin dengan cantiknya. Latihan otak kulakukan, mencoba mengulas
keadaan tak terelakkan yang dialami oleh korban cyber love. Menganalisis, mensistematisasi, menggodognya, lalu menjadikan bacaan intermezzo diwaktu bolong Anda. Kenapa saya bahas? Karena meneruskan tulisan terdahulu, Badai Online [1]—saya sedang fokus-fokusnya
dengan dunia online dan efek-efeknya. Termasuk ini, Badai Online [2] Cyber Love.
Tau film You’ve Got Mail? Film yang dibintangi Mbak
Meg Ryan (Kathleen Kelly) dan Om Tom Hanks (Joe Fox). Hanya satu hal yang bisa
membuat hari sejoli online tersebut kegirangan lari tunggang langgang, tulisan
kedip-kedip dalam layar online “You’ve Got Mail”. Bha! Di cerita itu, melihat lappi itu
bagaikan melihat kekasih tercinta, "lappiku cintaku". Rajin dielus-elus, dipegang-pegang,
ditengok-tengok, disenyum-senyumi, dan tingkat parahnya sampai diajak ngomong
atau terkadang malah dimarah-marahin—jadi mencet keyboardnya manteb sampe bunyi "tak cetak cetak cetak tok!", nutup
lappinya juga bunyi, "klap".
Yap, itu film tahun 1998 yang settingnya di kota New
York tercinta(nya) yang jelas-jelas berbeda dengan keadaan sekarang, di sini
Indonesia—ga tau ya kalo di NY sekarang gimana, mungkin bisa lebih parah.
Sekarang online itu makin parah, sudah dibahas pula di Badai Online [1], makin
menjerat hati karena dibawa kemana-mana. Bagaimana tidak? Online sekarang sudah
masuk hape teman, hape! Smart Phone istilahnya. Dari aplikasi di Black Berry
ada BB, YM, jejaring sosial apa pun lah. Ya ga masalah sih
kalau emang bener-bener online penting, browsing atau kebutuhan kerjaan. Tapi
kalau udah sampai nagih itu lho, jadi kurang ngeh dengan dunia sekeliling (fokus
terbagi-bagi antara mendengarkan manusia live dan berhubungan dengan manusia
online) parahnya sampai kena jejaring cyber love. Nah kan?
Cerita demi cerita saya dengarkan dengan seksama dari
berbagai sumber, termasuk blog tetangga lajang dan menikah yang judulnya 'Jodohnya di Facebook'. Tersimpulkan bahwa para pelaku jejaring cyber love itu, cukup banyak. Ada yang berhasil, ada yang setengah berhasil, ada yang
benar-benar gagal.
Berhasil: Setelah ketemuan ternyata berhasil sampai
tingkat nikah (yang entah ga tau di nikah itu berhasil atau enggak. Haha).
Setengah berhasil: setelah tidak berhubungan online
lagi, tepatnya sesudah bertatap muka satu sama lain, tinggal di satu kota, berlaku
status in relationship beberapa bulan, lalu putus karena ditemukan bahwa di
online cocok namun live-nya tidak cocok. Haaaak apa pula itu.
Gagal: ya benar-benar gagal, belum memulai saja sudah
gagal, alias bertepuk sebelah tangan. Kasian ya? Kan,
nasib. :]
Mungkin penyebab terbesar kasus cyber love adalah lokasi.
Lalu dibawah lokasi, ada perihal kehidupan pegawai kantoran. Ngantor pagi,
pulang sore, capek, mandi, makan, lalu online sebentar, dan tidur! Begitulah
rutinitasnya. Hidup di perkotaan yang mau ga mau pada akhirnya kita berlaku sleepless seattle, banyak online-nya,
jarang jalan-jalannya, jarang ketemu orang-orang baru—bagi orang yang hidupnya ga aktif dengan kegiatan atau komunitas macam-macam, ya begitu akibatnya. Ga beruntung ya, bagi mereka yang cyber love dengan orang yang beda tempat tinggal, jauh pula.
Pada akhirnya cuma bisa digemari, disenyum-senyumi via internet karena mentok
susah ketemu karena lokasi masing-masing saling berjauhan. —Lha, salah sendiri
kali ya? Mau-maunya suka sama orang online yang jauh di sana. Cari masalah!
Tapi, kalau ketemunya dan cocoknya sama orang yang jauh di sana, gimana dong?
Ya risiko. Embuh. Eh, tapi itu siapa tau bukan suka lho, mungkin CUMA
penasaran? Mungkin. #selftalk—
Etapi, kok bisa ya orang seneng sama manusia dengan
sosok tak terjamah alias virtual, online, bayang-bayang, mimpi, apalagi kata
yang pas? Mungkin karena via online itu, orang lebih mudah mengungkapkan,
mengaktualisasikan diri lewat kata-kata ketimbang via bercakap-cakap secara live. Dan yang ditampakkan via internet itu, ya yang baik-baik saja, yang menarik untuk dikonsumsi publik, yah kurang lebih begitu. Kita kan ga ngerti, kalau ternyata dia (yang jauh
di sana dan online) yang menurut penggambarannya itu orang cerdas, manis, so
sweet, romantis,—apalagi?—, ternyata tukang kentut, ngupilan, ngorok,
bersendawa keras, ketawa (live) yang ga ada indah-indahnya sama sekali hingga
memekakkan telinga, dilengkapi pula dengan BAU BADAN yang menyengat. Oh ya satu
lagi, siapa tau bisu? Nah, kan? Indra-indra perasa, pengecap, pembau, pendengaran
dari tubuh kita, tidak bisa merasakan secara online. Yang berlaku via online
itu, cuma satu, yaitu indra penglihatan. Apa kalian siap dengan keadaan itu
semua—kenal hanya dari indra penglihatan saja, di internet?
NB: Cukup beruntunglah bagi orang yang
seenga-engganya pernah ketemu sekali dua kali—dalam takdir kebejonan yang tak terelakkan,
ga sengaja ketemu di satu kota, lalu berjauhan lagi, ujung Indonesia timur dan ujung
Indonesia barat, kurang jauh, hah?—. Bisa melihat dan mendengarkan secara live,
bagaimana suaranya (ada?), cara ketawanya (manis?), dan cara bicaranya (alus?).
Lalu, sering berjalannya waktu, kita lupa cara tertawanya dan suaranya. Hahaha.
Menderitalah kau! Yaudah sih, telepon.
Jadi, kesimpulannya?
Dari cerita manusia cyber love?
Manusia online di atas, berhasil menggantikan kedudukan
manusia nyata di depan mata. Wauw! Kok bisa ya? |
Ya kan hati itu, dirasa—bukan dilihat. Kecocokan, keklikan itu dirasa, tapi ya dilihat juga
sih—ngecek ada unsur deg-degannya apa enggak. :D Ketemu, kalau cocok ya lanjut, kalau enggak, ya udah. Gampang kan?
Kayak di film You’ve Got Mail. Ketemu, kalau jauh, butuh duit ya? Haha. Dasar
masalah!
Ada yang kena virus cyber love? Atau Anda sendiri, yang membaca ini? HAHAHAHA
Curhat: Rasanya, di kepalaku sedang terjadi hujan badai kata-kata
yang pada akhirnya diperlukan peledakkan secara dahsyat! Mungkin sudah ada
kilat-kilat ‘ctar-ctar’ di kepalaku yang saat ini pun perlu dibuka gerbang
pintu keluarnya—tentu untuk mengeluarkan mereka—, si badai kata-kata. Dan,
jadilah ini! Sampah otak yang apabila disimpan akan meracuniku, sedikit-sedikit
akan menggerogoti kesadaranku sampai mampus. Dan 1, 2, 3! Haaaaaaaaakkkk!
Jrooooottt! *Saya rindu tahu gejrot*
Jadi begini, sudah semingguan
saya lari maraton dengan sedikit istirahat. Maraton membaca seri-seri Supernova-nya
mbak Dee. Mulai dari (1)Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, (2)Akar, dan (3)Petir.
*Uhuk, saya belom membeli partikel lho… Mungkin weekend ini akan beli Partikel—kalau
masih dapet bukunya juga. Terus terang, ini adalah pengalaman pertama saya
membaca Supernova. Bisa ditebak, saya jatuh cinta pada, Supernova. Membaca Supernova itu, seperti menelan sesuatu yang manis, asam, asin, kecut, pahit,
*halah, nano-nano kecemplung sayur pare*, lalu ingin mengeluarkannya ke dalam
bentuk lain—tulisan, versiku. Terdorong keluar karena, Supernova. Bermula dari
loncatan-loncatan pikiran ingin keluar karena mengenal Elektra—Elektra’ atau
Etra—, si Manusia Millenium, asosial, penggila internet, adalah tokoh dalam
Supernova-Petir. Bagi yang belum baca, cari aja di google*perpustakaan online,
eh?
Oke, mari kita mulai pembahasan
ini. Mengenai fenomena badai online.Apa
itu badai online? Dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, ba·dai (kata benda) angin kencang yang menyertai cuaca buruk
(yang datang dengan tiba-tiba) berkecepatan sekitar 64—72 knot; online adalah terkoneksi dengan jaringan
internet. Yah jika digabungkan akan menjadi suatu kalimat yang sangat buruk
pengartiannya, yaitu angin kencang yang melanda jaringan internet.
Teknologi vs Anti-Sosial
Dulu-sekarang, manusia-manusia pintar, jenius, cerdas selalu menciptakan
temuan-temuan baru lalu berlanjut dengan teknologi maju. Yang mana
teknologi—tidak usah ditanya— memudahkan pola pergerakan manusia, dari manusia
yang memang ingin butuh dan perlu uptodate—karena ada beberapa minoritas kaum
pedalaman yang benar-benar tidak mau menerima teknologi baru—sampai
manusia-manusia latah teknologi. Misal gini, ibu-ibu yang bahkan beraknya
duit, latah pakai smartphone, padahal ga mudeng cara pakainya. Yang pada
akhirnya suka mejeng sana sini minta tolong dijepretin orang-orang sekitarnya,
“Mbak, minta tolong dong ini kalau mau moto gimana ya? Sekalian jepretin ya.
Makasih.”
Lama-lama pula, saya dan para perantau lain tak perlu pulang kampung
untuk dapat bertemu dengan emak dan babe. Cukup pencet tombol klik, HOLOGRAM
mister! Hologram yang mungkin juga bisa dilengkapi dengan efek 4 dimensi? Yang
sampe mengocok-ngocok tangan dan keplak-keplak pundak bisa saling kerasa. Atau mungkin
kenikmatan intim pun, bisa dijamah oleh mister atau nyonya hologram. *uhuk*
Misal gini ya, Suami Istri LDR, satu di Kanada-satu di Papua, nah kan mereka pasangan
setia yang sedang dirindu asmara, dan butuh acara gegulingan di kasur, tinggal
klik on pada hologram dan efek 4 dimensinya. Jadi kan—tapi kurang nikmat. And somehow, kapan punya anaknya, mas
mbak??? Dan akhirnya, masa hologram pun menjadi basi, berganti avatar. Oh
dunia.
Oke, banyangan masa depan di atas, terlalu jauh dan tinggi. Mari
sekarang menoleh ke kanan-kiri-belakang-atas-dan tatap ke depan. Apa yang
terjadi dengan duniamu sekarang? Yang dipenuhi oleh virus-virus online? Orang di
sebelahmu—ketika naik KRL—lebih memilih terkekeh-kekeh dengan smartphonenya
daripada membantu seorang nenek yang tergopoh-gopoh menggendong cucunya, untuk mencari
posisi pewe di KRL. “Nek, duduk dong, di sini.” Atau betapa pilunya, jikalau
anak yang kamu—anggap saja kamu itu ibu-ibu—ajak bicara dengan serius, hanya memperhatikanmu
sepertiga, karena si anak sibuk dengan online-nya? Oh God! Dan bejibun kasus
lain yang tidak bisa dituliskan di sini satu-satu. Capek.
Bahkan, iklan-iklan provider sekarang makin terbuka untuk menggembar-gemborkan
bahwa galau bisa selesai dengan pemfasilitasan sms-sms tak terbatas, chatting
sampai jari-jari pritil, fb, twitter, dan jejaring sosial lainnya yang
mendekatkan kita pada tuhan online. Yah, itu sasarannya ABG. Berbeda dengan
yang seumuran saya ini, 24 tahun—aduh, saya senang sekali ya menuliskan umur
saya 24 tahun padahal aslinya adalah hasil pembulatan dari 23,5 tahun, biar terkesan wanita dewasa. Ahak—, pendekatan online itu didapat karena keadaan. Wanita
metropolitan*hakcuih*, kantoran, Jakarta, yang berurusan hampir-hampir semuanya
menggunakan laptop—tak dipungkiri pula, bahwa saya pun mencintai internet :’) *
Aduh, pengakuan pahit tak terelakkan. Namun tak segila Etra.
Teman nyata (Yogyakarta), karena keadaan, menjadi teman cyber
(Yogyakarta-Jakarta). Yeah, salah satunya Nadia—tentunya dia penggemar online
pula, sekarang menjadi teman cyber setiaku secara tak tertulis. Dan teman nyata
(Jakarta) sekarang ini, nyaris tak ada yang sesampah dan semenampung sampah bak Nadia,
Pap Ni’am, Ara, uhuk dan Amanatia Jundeh, lalu teman yang rajin
terbit-tenggelam seperti matahari di online maupun offline (Yogyakarta). Benar saja, dunia-ku terbalik. Otak dan
pikiranku di online—pingin punya online shop, pingin nulis buku yang kudu rajin
mantengin update-an berita, cerita, dan kata-kata—, sedangkan ragaku, kulit
diriku, ada di sini, Jakarta—tapi bukan berarti saya kehilangan hati dimana
raga berlabuh lho. Teknologi itu, mematikan ya? Keberadaan nyata dan tak nyata
menjadi terbalik. Kok saya agak tidak menyukai keadaan otak dan raga
terpisah-pisah ya? Oh semoga otak dan raga cepat kembali bertemu pada satu
badan utuh. Adakah yang mengalami syndrome seperti ini, selain saya? Mungkin
ada baiknya, memberi kesempatan otak, pikiran, dan raga bertemu dalam satu
waktu. Mematikan apa-apa yang berhubungan dengan online dalam waktu yang
ditentukan dan disepakati.
Badai online. Badai online yang kadang bisa menimbulkan kasus ‘genjreng-genjreng
kelopak bunga warna pink berjatuhan, kupu-kupu berdesiran di perut seperti lagu
tentang Aling’, yeah cyber love. Ada lho… Dan saya, sedang mengamati. Bagaimana
cinteh onlineh bisa menjadi nyata atau hanya ilusi? :) Berikutnya, saya akan
membahas mengenai Badai Online [2]
Cyber Love. “Cinta itu hanya sejauh klik tapi ia mengendarai komidi putar”-Kissing
Frog di Cyber Space.
Kata orang, dan sudah menjadi fakta umum bahwa masa kecil adalah masa paling kreatif dan masa penasaran tingkat tinggi—pikiran mereka masih murni, bebas tanpa tau dan mengerti patokan-patokan baku yang membuat kaku. Bahkan, penemuan-penemuan para penemu besar pun, dihasilkan dari pertanyaan polos seorang anak kecil yang mana pada akhirnya orang yang ditanya akan belajar dan melakukan pembelajaran. Seperti, "Mengapa buah apel itu jatuh dari pohonnya?", jikalau yang ditanya adalah seorang ibu biasa dan sudah bosan serta tak acuh dengan pertanyaan anaknya, ia akan menjawab "ya karena sudah saatnya jatuh". Berbeda jika pertanyaan itu ditanyakan oleh seorang Sir Isaac Newton, maka ia akan menggunakan pikirannya, membatin, kemudian berfikir, "oh iya ya?". Dan, berkaryalah dia! Bravo!
Terpancinglah saya untuk teringat masa lalu *halah, masa lalu!* akan suatu kejanggalan. Pada suatu ketika ada seorang gadis cilik, ehm, setingkat TK nol besar, sedang berjalan bersama ibunya, jalan-jalan santai berdua mungkin diajak ke pasar. Mungkin. Entahlah. Pokoknya mereka jalan berdua dan bergandengan tangan. Gadis kecil itu bertanya tiba-tiba—pasti ada sebabnya itu, pemicu pertanyaan tiba-tiba, pasti! Tak mungkin tidak,
"Bu, aku lahir lewat mana?".
Sang ibu pun terdiam beberapa detik lalu dengan bijak menjawab, "Lewat udel—lewat pusar."
Oh, dan sang anak pun terdiam beberapa detik. Berpikir, "Udel? Apakah udel adalah jalan keluar yang cukup besar untuk mengeluarku dari perut ibu? Udel kan kecil, dan ga bolong". Jawaban ibu bijak itu pun cukup terdengar janggal di mata sang anak. Gadis kecil yang setia dengan pendapat, "ibu yang berkata, aku pun percaya. Orang besar lebih pandai dan mengerti daripada aku yang hanya anak-anak", pada akhirnya cukup menerima kenyataan pahit tersebut bahwa dirinya lahir lewat udel—That's sound weird, teman.
Seiring berjalannya waktu, anak itu pun tumbuh besar. Dan tentu berkembang, otaknya! Datanglah saat segalanya perlu diketahui, maka segalanya pun diketahui, dan diketahui!
Di tengah-tengah chit-chat dengan Ni'am Rouf Azzacky,
Fela : aku kecil suka tanya, "bu, aku lahir lewat mana?" ibuku jawab, "Udel."
Ni'am : aku gak pernah nanya, :))
atau jawaban dari seorang mbak Urip Tri Hasanah,
Nene: ora je fel <-- ciri-ciri anak yang tidak kritis. Ga tau kenapa, ga merasa penasaran aja. Mungkin ya itu, ga punya adik, jadi ga penasaran
Dari percakapan tersebut telah tersirat dan tersurat fakta, bahwa ada anak yang sama sekali tak menanyakannya! Ajaib. Saya kira, secara sotoy, semua anak menanyakannya. Oh, ternyata tidak, teman! Tak semua anak menanyakannya. *Saya sudah survey via twitter juga, dan memang benar begitu. Tak semua anak menanyakannya.* Dan itu mengagetkan. Menghancurkan dunia kesoktauanku.
Fela : Aku heran, kamu dulu kok ga penasaran sama kamu lahirnya lewat mana?
Ni'am : Mungkin aku tau duluan sebelum sempat penasaran.
Fela : Penasaranmu telat.
Ni'am : Mungkin si, aku lupa.
Fela : Itu aku tanyanya pas aku lagi digandeng tangan waktu jalan, sama ibuku pas TK apa ya, atau SD, soalnya ngerti tentang ibuku hamil dan adekku lahir.—kayaknya TK deh, soalnya adekku lahir pas aku kelas 1 SD.
Fela : Oh ya beda, kamu ga punya adek. Jadi ga tanya.
Ni'am : Oh iya. Gara-gara itu kali.
Dan benar, ditemukan fakta kedua. Anak yang bertanya, dia punya adik. Yang tidak bertanya, dia tak punya adik. Kurasa itulah penyebabnya. —Sudah survey via twitter juga lho... dan yang menjawab tidak pernah bertanya itu adalah orang yang tidak punya adik.— Anak yang punya adik, ia mengalami pengalaman melihat ibunya berperut besar dan semakin besar. Ditambah pula dengan keterangan si ibu "Di dalamnya ada adekmu, kamu juga dulu seperti ini. Dalam kandungan ibu di dalam perut, makanya perut ibu besar". —Tsyaah! Mungkin penyangkalan untuk menutupi penambahan berat badannya—. Anak yang tidak punya adik, tak memiliki pengalaman tersebut.
Fakta ketiga. Saya setengah percaya perkataan ibu tentang udel sampai saya duduk di bangku SMP setelah mengenal pelajaran Biologi. Apa ya, rasanya itu, seperti dikhianati dikibuli dibohongi diapusi! Ibuku adalah seorang ahli mikrobiologi—mikrobiologi bo'... artinya, mikrobiologi lebih dalam ilmunya ketimbang biologi saja. Dan saya dibohongi. Haaaaak! Tak dijelaskan secara ilmu pengetahuan yang sebenarnya. Mengecewakan. Karena merasa akan kesusahan jika menjelaskannya secara ilmu pasti, beliau malas ribet lalu merelakan membohongi anaknya. Merelakan perasaan anaknya hancur lebur dibohongi puluhan tahun—mungkin ga ada sepuluh tahun si, tapi mendekati sepuluh tahun.
Akhirnya, kekecewaan sang anak pun reda. Berusaha memahami situasi 'kaget' oleh pertanyaan anaknya yang tiba-tiba. Tak mau menimbulkan prasangka dan mengurangi rasa sakit hati, bertanyalah saya. Sekedar kroscek.
Fela : "Ibu dulu pernah bilang aku lahir lewat udel" Ibu : "iya ta? ibu lupa". Fela : (staight face)
Batinku, "Dasar, ibu-ibu! Segampang itu berkata udel, padahal sang anak sangat mempercayainya dan memikirkannya dengan sangat serius. Sangat berat dan serius."
Saya pun berpikir dan mengambil pelajaran sebagai pembelajaran dari pengalaman sebagai anak yang pernah dikibuli ibunya sendiri. Bahwa, saya akan malu kalau menjadi ibu yang membohongi anaknya. Karena, lama-kelamaan akan ketauan. Anak tumbuh, berkembang, dan akan sadar—"Bu, aku lahir ga lewat udel. Kelahiran lewat udel adalah hal yang konyol. Dan jawaban ibu, benar-benar konyol!"—. Ingatan anak, tak semudah itu hilang. Ingatannya, masih menempel di kepala sampai hari ini, sampai umur anak tersebut sudah 24 tahun. Saya tak akan melakukan hal sama yang telah ibu itu lakukan pada anaknya. Yang perlu dilakukan adalah melakukan persiapan menjawab pertanyaan-pertanyaan anak dengan jawaban berdasarkan ilmu pengetahuan yang benar namun dapat dimengerti anak. *Tapi, opo yo...* Untunglah saya belum beranak, jadi belum akan mengalami itu dalam waktu-waktu dekat. Tapi, tetap berpikir. Untuk persiapan, biar tidak mengecewakan si anak. Oke? Jadi, apa ya? :)) Jawaban pas-nya maksudku. Ada yang mau urun rembug persiapan jawaban-jawaban atas? Ihik. Mari belajar dan berkarya. Terima kasih dan sekian. :)
***
Tambahan aja: Pikiran anak-anak itu, terkadang aneh. Konyol. Tak masuk akal. Seperti,
"Pokoknya aku nyimpulin dari pilem-pilem, kalo cewek ama cowok deket-deketan dalam waktu yang lama, si cewek bakal otomatis hamil."
(oleh Ni'am yang mengingat-ingat masa kecilnya)
"Kamu makan jeruknya, bijinya kamu telen ya? Ih... itu kan bahaya. Nanti biji jeruknya tumbuh di perutmu lho" (oleh teman maen kecil, lupa siapa. Maaf, sudah lama.)
Adalah sebuah bentuk peringatan sekaligus perhatian dari seorang teman ketika saya duduk di bangku awal-awal SD. Saya pun percaya ketika itu, bahkan sampai terbawa mimpi kalau ubun-ubunku akan jebol oleh pohon jeruk, akibat pohon jeruk di dalam perut yang semakin tumbuh ke atas. Dan aku akan berjalan seperti manusia yang kepalanya ditumbuhi pohon. Bodoh.
"Jangan minum dari sedotan yang sama. Nanti kalau bekas mulutnya (menunjuk Y laki-laki) di sedotan itu, nempel di mulutmu (menunjuk X perempuan) maka kamu akan hamil" (oleh Teman SD, lupa siapa. Maaf, sudah lama.)
Adalah percakapan antar teman laki-laki dan perempuan yang saya dengar ketika duduk di bangku kelas 6 SD. Pikirku saat itu, "Hah, bodoh dan keterlaluan! Mana ada hal-hal segampang itu bisa menyebabkan kehamilan? Lalu apa yang bisa menyebabkan kehamilan? Aku pun tak tau."—kan masih kelas 6 SD, tapi tak semudah itu pula, percaya pada kekonyolan macam itu. :D
Apa yang harus dilakukan jikalau kehidupan kantor Anda mulai membosankan? Lurus, lurus, dan lurus saja. Tanpa belak-belok. Tanpa ada adrenalin yang mengalir adalah benar-benar datar. Tanpa kasus. Tanpa musuh. Tanpa selingkuh. Uh, sungguh membosankan!
Hai reader, hari ini writer sedang mengalami kebosanan dengan the bla bla bla gawean yang sebenarnya mudah.—Karena hal yang mudah adalah berbanding lurus dengan kemalasan. Dampak psikologis pekerjaan yang mudah memang seperti itu, kurang menantang. Dan akhirnya, malas. :D *pembelaan*—
Dan, tiba-tiba datanglah 1 New Message via email. Oh, dari Nadia Sarasati ternyata. Mengirim email tanpa laporan terlebih dahulu adalah hal yang kurang biasa untuk seorang Nadia Sarasati. Ia adalah sejenis makhluk pesampah sejati, apa-apa dilaporkan, "Fel, aku kirim email ya?". Salah satu pesampahku yang kadang sampah-sampah darinya adalah obat mujarab penghilang suntuk. Benar saja! Email darinya sangat menggoda iman untuk menyampah ke hal selanjutnya yang agak-agak bodoh.
Berikut adalah isi emailnya beliau.
Klik yang perlu diklik. Lalu berlanjut ke halaman berikutnya. Muncul lah pertanyaan-pertanyaan seputar biodata dan kaki tangannya—akun-akun sosmed maksud saya—untuk diisikan sebagai keharusan mengikuti kuis tersebut. Dan lalu, pertanyaan intinya. Oh yes! Dapat media menyampah baru dimana sifatnya adalah nothing to lose. Hahahaha
"Apa yang membuat Anda bangga menjadi wanita Indonesia?"
Tapi, haaaaakkkk... ... ... mikir.
Apa ya... Kok tiba-tiba blank!
.
.
.
...
As mbuh lah, jawab wae! Ketik! Nothing to lose kan?
Pada akhirnya gombalan-gombalan yang berhasil saya racik dengan otak sedikit ngaco, adalah sebagai berikut.
"Keharusan dan kenikmatan menjadi wanita Indonesia adalah pandai dan cerdas dalam memasak. Masakan istri adalah kunci sukses kelengkapan kebahagiaan rumah tangga. Masakan istri enak, suami senang dan makin cinta. Menjadi wanita Indonesia berarti mencintai budaya Indonesia termasuk makanannya. Makanan Indonesia beribu jenisnya sesuai dengan daerah masing-masing dengan teknik memasak dan bumbu berbeda-beda pula. Tentunya, semua itu lezat di mulut dan kenyang di perut. Masakan ala Indonesia adalah tantangan bagi para wanita Indonesia. Dari Mie Aceh sampai Papeda. Dan saya merasa tertantang untuk bisa menguasi ilmu masak-memasak ala Indoesia. Mengapa masakan Indosia itu terasa sangat nikmat dan lezat? Karena bumbu-bumbunya mantab! Semua itu berkat alam Indoesia yang kaya akan rempah-rempah. Saya bangga menjadi wanita Indonesia. Indonesia kaya akan alam dan budaya. :)"
Sebelum mengeklik "send", ucapkanlah basmillah dan shalawat nariyah, serta alfatikhah. *NIAAAATTT*
Saya pikir, itu semacam the mbelgedes words sebagai pelampiasan kebosanan tingkat akut.
Dan terima kasih buat Jeung Nadia. Akhirnya saya menulis lagi setelah beberapa bulan tidak menulis. *Pemanasan*
Oh ya reader, salah satu cara mengatasi kebosanan dalam kantor adalah, ya ini. >>> Do what you love! —Kalau saya sih, nyampah. Nyampah yang berguna. :D. Kalau rejeki, ya bisa diajak kulineran gratis rame-rame bersama 9 pemenang lainnya. Kalau engga, ya kan nothing to lose kan? Ya kan, ya kan?—
NB: Bagi yang sedang mencari-cari kuis, silakeun dicoba. Semoga berhasil :D Rejeki ga lari ke mana kok. Kalo ga rejeki, ya lari kemana-mana.
Bola mata kecil itu berputar-putar berkeliling menyapu bersih warna putih mata hingga habis. Memperhatikan detail lekukan, tanda, noda, dan mungkin sedikit tahi lalat. Kedua bola mata bergerak secara lincah ‘zrrttt zrrrtt zrrt’ men-scan anatomi bentuk tulangan wajah serta pembungkusnya, si kulit dan ronanya, coklat! Wajah milik seorang lelaki bertubuh jangkung mencuat ke atas yang diamati secara detil oleh dua bola mata liar milik seorang perempuan tak terlalu pendek namun masih tetap butuh membelok-lokkan bola matanya jauh ke atas agar tetap mampu menjamah sasaran visualnya. Senja mengurangi frekuensi cahaya yang masuk ke dalam mata. Agak remang-remang. Perlu lah si pupil mata bekerja keras melebarkan diameternya semaksimal mungkin agar ia mampu menjangkau untuk menangkap remang cahaya senja. Baru kemudian retina mampu menangkap bayangan secara jelas hingga cukup terlihat untuk diterjemahkan ke otak.
***
“Mmm… apa ya yang memiripkanmu dengan temanku Paijo? Apa ya, yang mirip... Kok tadi temanku bilang, kamu mirip Paijo…”, celoteh si perempuan, tetap menjungkir balikkan bola matanya.
…....
“kamu, menggunakan alasan memirip-miripkan, biar bisa puas memandangi rupaku bukan?”
Iya kah? Kayaknya bener deh... Kok ngerti ya?
Gotcha! Kena! Beku. Namun, Ga terasa, ternyata bola mata itu menikmati, lalu—kalau inget pelajaran agama, jadi bilang begini nih dalam hati >>— “Astagrifullah. Bukan muhrim.”
“karena ga ada objek lain yang menarik”, spontan dan ‘kleb’, tutup mulut lalu arah bola mata dilempar jauh-jauh ke arah yang lebih wajar atas penebusan dosa.
***
Tuhan menciptakan detil-detil mikroskopik terkecil bagian mata agar manusia bisa melihat keindahan ciptaanNya. Wauw! Tuhan memang Indah. Menciptakan mata untuk bisa melihat sesuatu yang sebenarnya indah namun tak terlalu indah, biasa namun tidak terlalu biasa namun bisa terasa luar biasa (lebay...). Secara visual adalah kecukupan, standar, karena memang bukan Nabi Yusuf atau pun Deddy Mizwar dan Ikang Fawzi. Oh ternyata Tuhan juga menciptakan hati. Di dalam hati ada emosi, intuisi, keyakinan, rasa, dan nafsu (ada tambahan lain?). Dan kedudukan hati itu setara dengan logika, terserah akan diatur seperti apa (mengutip kata Maulin Ni’am pada postingan sebelumnya: “Kedudukan emosi sejajar dengan logika maupun organ tubuhmu. Kamu berhak mengatur mereka. Itu fungsi dari kesadaran.”). Sehingga si hati berhak untuk menikmati atau tidak menikmati. Di mata terlihat biasa saja, di hati terlihat bersinar berpendar-pendar. Kecukupan bisa berubah menjadi luar biasa. Tuhan, Allah, memang Mahahebat!
Menciptakan hati untuk memositifkan otak. Kan hati itu, sanubari, sebagian ditiupkan sedikit sifat-sifatNya. Positif dong ya?