Oleh Failasufa Karima A.N.
Wangi khas secangkir
kopi toraja tanpa gula membumbung menyeruak hidung. Kopi bertambah syahdu bila
diseduh di pagi yang dingin. Ditambah bau tanah bercampur hujan. Dan bau mawar
merekah segar di dalam pot basah embun bercampur hujan. Cespleng! Barusan subuh
tadi Jakarta diguyur hujan. Seperti seharusnya di bulan Desember. Jatahnya
hujan datang ke bumi. Harini―dari nama lengkap di KTP-nya: Suharini―sedang
duduk di teras rumahnya, santai. Karena hari ini, hari Sabtu.
Teras sejadinya yang
berukuran satu meter kali empat meter masih cukup nyaman digunakan sebagai
ruang santai sejenak di pagi hari. Cukup untuk dua orang saja. Dua
menggenapkan, tiga akan mampu mengganjilkan. Lagipula, mana ada tiga kursi
teras berada dalam satu teras dalam waktu yang bersamaan? Tak akan pernah kau
temukan fenomena seperti itu. Sungguh! Coba saja kau cari di majalah-majalah
seri rumah atau taman. Secara estetika saja janggal. Karena estetika pun tak
pernah mengesampingkan fungsionalitas (sebenarnya ini bohong).
Satu halaman sesak
pot-pot kecil bunga mawar. Dua kursi rotan tua dan satu meja teras bundar
kecil. Sepaket warna coklat tua dipernis sangat mengkilap. Tak pernah diganti
sejak rumah ini berulang tahun pertama kalinya. Di situ pula dua orang selalu
duduk santai di Sabtu pagi. Namun, kali ini hanya Harini dan secangkir kopi
hitam.
“Bismillah” ucapnya.
Kopi panas itu disesapnya perlahan. Satu sesapan, berhenti. Satu sesapan,
berhenti. Lidahnya berjingkat kecil. Panas kicat-kicat. Harini
mengibaskan tangan kirinya di depan mulutnya yang menganga lebar dan menimbukan
suara “huwaaah hah hah”. Lalu perlahan ia taruh cangkir kopi di tangan kanannya
ke meja teras bulat di sampingnya. Sejenak menenangkan diri dari keganasan
panas kopi. Ia jadi teringat apa yang dipikirkannya semalam. Ia
telah mengingat-ingat. Ia telah mengingat-ingat sambil telentang di kasur dalam gelap sebelum tidur.
“Abah... Abah...” seketika itu Harini berlari ke arah abahnya sambil berteriak-teriak. “Teman-teman di kelas tadi mengejekku. Ka-ka-katanya mukaku jerawatan mirip Susan..." ―Susah adalah orang gila yang biasa mangkal di pertigaan jalan dekat SD Harini.― "Aku ga mau jerawatan Bah... Aku ga mau....” Tangis Harini pun langsung menghambur kencang.
Abah pun menimpali penuh pengertian sambil mengelus-elus rambut Harini. “Ya sudah. Harini berdoa saja, minta sama Tuhan kalau Harini mau jerawat Harini hilang. Sabar ya...”
Harini menuruti saran abah. Berdoa kepada Tuhan. Namun Harini masih lugu, tidak begitu mengerti bahwa Tuhan tak mengenal aturan beli-bayar dari para pendoanya. Maka Ia pun berdoa, “Ya Tuhan. Aku mau jerawatku hilang. Plisss... Tak apa aku gemuk sedikit. Asal jerawaku hilang. Ya Tuhan, ya?” Jerawat dibayar dengan kegemukan.
Ketika Harini tak menyenangi hawa panas di sekitarnya―cuaca saat itu memang sedang panas-hujan tak menentu―, ia berteriak, “Abah? Panas... Abah kenapa ngga pasang-pasang AC kayak rumah tetangga-tetangga sebelah? Panas.”
“Coba kamu berdoa. Mintalah hujan agar panas hilang. Coba saja.”
Aroma tanah basah
menjadi semakin kuat. Bebauan pun beradu. Harini kembali menyesap kopi yang
sudah tak terlalu panas, masih perlahan-lahan. Rasanya ia memang menikmati cara
meminum kopi yang sececap berhenti-sececap berhenti. Apalagi jika hujan begini,
bisa sampai satu jam ia duduk di teras sembari ditemani satu cangkir
kopi dan sedikit biskuit Marie Regal di atas lepek. Tak jarang ia
mencecahkannya ke dalam secangkir kopi yang masih sedikit hangat, baru kemudian
dimamahnya. Ia mengingat kembali apa-apa yang mengajaknya masuk ke dalam
ingatan masa lampaunya.
Ketika Harini duduk di bangku kelas 2 SMP, ia sudah tak berjerawat lagi. Tak akan ada lagi yang mengejeknya seperti Susan. Apa yang dimintanya kepada Tuhan terkabul, tak terkecuali badannya yang menjadi sedikit gemuk. Sebenarnya ia sedikit menyesal atas keluguannya dulu. Mengapa ia harus memohon doa dengan balasan embel-embel sedikit gemuk? Tapi, itulah yang Tuhan beri. Ia tetap berterima kasih.
Harini memohon kepada Tuhan lagi. Yang terbaik bagi abah dan emak. Dan Tuhan pun mengabulkan. Abah sekarang lebih menyenangi kopi hitam aceh dengan sedikit gula daripada kopi hitam toraja tanpa gula. Sudah tidak cocok lagi dengan kopi hitam toraja tanpa gula. Katanya kopi aceh lebih lembut daripada kopi toraja. Dan abah ingin menambah sedikit gula, katanya agar rasanya tidak monoton. Bersama kopi hitam aceh dengan sedikit gula, abah pergi. Abah pergi dari rumah. Tanpa membawa kopi hitam toraja tanpa gula.
Sedangkan emak masih tetap menyenangi berkebun di taman depan rumah―yang dipenuhi hanya dengan satu jenis tanaman―, tepatnya berkebun bunga mawar merah. Emak tetap tinggal di rumah.
Pada akhirnya, Harini terus-menerus meminta kepada Tuhan. Kali itu ia meminta agar abahnya pulang. Lagi-lagi Tuhan mengabulkan. Namun Tuhan Pengabul Permintaan tak memanjakan Harini sebegitunya. Selepas tujuh bulan, baru ibunya pulang membawa abah baru. Disebutnya ayah.
Harini mengambil lagi
secangkir kopi dari sisi kanannya, dari atas meja teras bundar kecil. Tak
diminumnya kopi itu. Diam. Khusyuk memandang kopi dengan pikiran merasuk ke
dalam ramuan kopi hitam kentalnya yang masih hampir secangkir penuh. Khusyuk
mendalam hingga mampu menyentuh dasar cangkir. Tuk. Kekhusukannya mentok. Ia
sekonyong-konyong mendongakkan kepalanya. Melihat ke arah pot-pot bunga mawar
yang telah bertambah basah di halaman rumah. Merah merekah dihujani
tetesan-tetesan air jatuh bergantian tanpa henti barang sedetik pun. Hujan dan
pagi di hari Sabtu. Kosong melompong. Tak ada kendaraan lewat. Orang pun tak
ada yang lewat berjalan sambil membawa payung. Bahkan gerobak bubur ayam yang
biasanya sepagi ini sudah mangkal di depan rumah Harini, tak ada juga. Semuanya
mengurung diri di dalam rumah hujan-hujan begini. Jalanan sepi. Bertambah sepi.
Sepi. Sepi. Sepi. Kemudian senyap.
“Bagaimana kabar abah ya? Sekarang abah ada di mana? Abah tak sedikitpun pernah menghubungiku. Kira-kira abah kangen padaku, tidak? Mungkin tidak kangen, lupa punya anak aku. Mungkin abah punya anak baru―di entah abah tinggal di mana―, sehingga lupa padaku. Ya, mungkin begitu. Mungkin. ......... Mengapa abah melupakanku?” Terpikir bermacam pertanyaan malang melintang melintas menyeberang berhenti silih berganti di kepalanya malam sebelum pagi ini.
Kopi hitamnya sudah
akan kehilangan aroma kopinya. Sudah akan kehilangan kehangatannya. Menjelang
dingin. Harini masih menatap tak tentu pada kopinya. Ia cecahkan satu keping
pertama biskuit Marie Regalnya ke dalam secangkir kopi yang menjelang dingin.
Dimasukkannya ke mulut perlahan. Ia masih tak sadar kopinya sudah hampir
dingin. Lalu ia memamahnya.
Pikirannya ricuh.
Bertubrukan. Ia sering kembali pada remah-remah ingatan masa lampaunya. Hingga
pada akhirnya tadi malam sebelum tidur, ia berdoa kepada Tuhan. Atau mungkin
bukan berdoa, bisa jadi bercakap-cakap dengan Tuhan.
“Kepada Tuhan-ku Yang Terhormat. Hai Tuhan. Halo. Tuhan, emmm... Begini. Kira-kira jika aku meminta mati besok pagi bagaimana? Apakah engkau akan mengabulkan permintaanku? Ini bukan bagian dari bunuh diri kan, Tuhan? Ya kan? Kalau aku mati, hanya akan ada dua kemungkinan, yang sudah diketahui pasti, sama-sama menguntungkanku dan sekitar. Ditambah satu keuntungan yang hanya akan menguntungkanku.
“Kemungkian pertama yang sama-sama menguntungkan: bisa jadi aku itu orang baik, katanya orang baik itu cepat matinya karena Tuhan sayang mereka. Orang yang disayang Tuhan, akan baik-baik saja dan bahagia di kehidupan selajutnya, bukan? Artinya kebahagiaan panjang menantiku. Aku memang menantikan ini. Kemungkian kedua: bisa jadi aku orang yang tak berguna untuk hidup di dunia sama sekali, tak berguna bagi bangsa, negara, bumi, dan sekitar, juga tak punya masa depan secerah pelangi warna-warni. (Catatan: aku hanya seorang yang tak berguna, bukan seorang pendosa.) Jadi buat apa aku hidup dan menambah beban bumi? Menghabiskan jatah oksigen, tanah, dan air bersih saja. Kematianku mengurangi pertambahan penduduk dari kemungkinan hasil beranak-pinak keturunanku di masa depan. Tuh kan? Aku mati pun menolong bumi, bukankah itu suatu hadiah bagi bumi dan penduduknya? Wah, tapi aku terlalu pede ya, Tuhan? Berani-beraninya meminta kematian datang padaku esok pagi. Memangya aku punya modal untuk mati? Hahaha―kesok-sokanku mulai kumat. Kurasa, aku tak banyak dosa juga, jadi aku merasa pede-pede saja meminta mati. Lihat saja, aku menghindari sejauh-jauhnya dari berbohong kan? Kalau pun dulu pernah, bukankah aku sudah langsung bertobat dan meminta maaf padamu lalu meminta maaf juga kepada ybs? Intinya, aku sudah banyak bertobat, wahai Tuhan. Jadi, boleh aku meminta mati? Kematianku menguntungkan bagi semua pihak. Lagipula, aku juga akan memperoleh keuntungan pribadi bukan? Keuntungan ketiga: Kalau aku mati, aku yakin abah akan datang ke pemakamanku. Aku sudah lama tak bertemu abah.”
HAHAHAHAHAHAHA.
Begitulah kisah Harini. Ia pun tertawa sepertiku. Lalu kembali sadar tanpa lupa
meminum secangkir―kurang sedikit―kopi hitam dinginnya. Dicecapnya sedikit,
pahit sekali kopi yang diminum setelah dibiarkan mendingin puluhan menit. Ia
menambahkan gula sedikit―baru kali ini Harini menambahkan gula pada kopi
hitamnya, sungguh ajaib!―Diaduknya lama sampai ia yakin gulanya telah 100%
larut dan bercampur sempurna dengan kopi. Dicecapnya lagi sedikit. Pas!
Keyakinan pada kesempurnaan komposisi rasa antara kopi dingin dan gula
menyebabkan Harini melakukan ajang “sekali teguk, habis.” Dan Ia kembali
tertawa lepas. Di sela-sela deretan giginya banyak menempel ampas kopi. Hujan bertambah
deras.
Oh iya, masih
ada beberapa keping Marie Regal.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar