Rabu, 11 April 2012

Bu, Aku Lahir Lewat Mana?

Kata orang, dan sudah menjadi fakta umum bahwa masa kecil adalah masa paling kreatif dan masa penasaran tingkat tinggi—pikiran mereka masih murni, bebas tanpa tau dan mengerti patokan-patokan baku yang membuat kaku. Bahkan, penemuan-penemuan para penemu besar pun, dihasilkan dari pertanyaan polos seorang anak kecil yang mana pada akhirnya orang yang ditanya akan belajar dan melakukan pembelajaran. Seperti, "Mengapa buah apel itu jatuh dari pohonnya?", jikalau yang ditanya adalah seorang ibu biasa dan sudah bosan serta tak acuh dengan pertanyaan anaknya, ia akan menjawab "ya karena sudah saatnya jatuh". Berbeda jika pertanyaan itu ditanyakan oleh seorang Sir Isaac Newton, maka ia akan menggunakan pikirannya, membatin, kemudian berfikir, "oh iya ya?". Dan, berkaryalah dia! Bravo!


Terpancinglah saya untuk teringat masa lalu *halah, masa lalu!* akan suatu kejanggalan. Pada suatu ketika ada seorang gadis cilik, ehm, setingkat TK nol besar, sedang berjalan bersama ibunya, jalan-jalan santai berdua mungkin diajak ke pasar. Mungkin. Entahlah. Pokoknya mereka jalan berdua dan bergandengan tangan. Gadis kecil itu bertanya tiba-tiba—pasti ada sebabnya itu, pemicu pertanyaan tiba-tiba, pasti! Tak mungkin tidak,
          "Bu, aku lahir lewat mana?".
          Sang ibu pun terdiam beberapa detik lalu dengan bijak menjawab,
          "Lewat udel—lewat pusar."
Oh, dan sang anak pun terdiam beberapa detik. Berpikir, "Udel? Apakah udel adalah jalan keluar yang cukup besar untuk mengeluarku dari perut ibu? Udel kan kecil, dan ga bolong". Jawaban ibu bijak itu pun cukup terdengar janggal di mata sang anak. Gadis kecil yang setia dengan pendapat, "ibu yang berkata, aku pun percaya. Orang besar lebih pandai dan mengerti daripada aku yang hanya anak-anak", pada akhirnya cukup menerima kenyataan pahit tersebut bahwa dirinya lahir lewat udel—That's sound weird, teman.


Seiring berjalannya waktu, anak itu pun tumbuh besar. Dan tentu berkembang, otaknya! Datanglah saat segalanya perlu diketahui, maka segalanya pun diketahui, dan diketahui! 
Di tengah-tengah chit-chat dengan Ni'am Rouf Azzacky,
Fela : aku kecil suka tanya, "bu, aku lahir lewat mana?" ibuku jawab, "Udel."
Ni'am : aku gak pernah nanya, :))
atau jawaban dari seorang mbak Urip Tri Hasanah,
Nene: ora je fel <-- ciri-ciri anak yang tidak kritis. Ga tau kenapa, ga merasa penasaran aja. Mungkin ya itu, ga punya adik, jadi ga penasaran
Dari percakapan tersebut telah tersirat dan tersurat fakta, bahwa ada anak yang sama sekali tak menanyakannya! Ajaib. Saya kira, secara sotoy, semua anak menanyakannya. Oh, ternyata tidak, teman! Tak semua anak menanyakannya. *Saya sudah survey via twitter juga, dan memang benar begitu. Tak semua anak menanyakannya.* Dan itu mengagetkan. Menghancurkan dunia kesoktauanku.


Fela : Aku heran, kamu dulu kok ga penasaran sama kamu lahirnya lewat mana?
Ni'am : Mungkin aku tau duluan sebelum sempat penasaran.
Fela : Penasaranmu telat.
Ni'am : Mungkin si, aku lupa.
Fela : Itu aku tanyanya pas aku lagi digandeng tangan waktu jalan, sama ibuku pas TK apa ya, atau SD, soalnya ngerti tentang ibuku hamil dan adekku lahir.—kayaknya TK deh, soalnya adekku lahir pas aku kelas 1 SD.
Fela : Oh ya beda, kamu ga punya adek. Jadi ga tanya.
Ni'am : Oh iya. Gara-gara itu kali. 
Dan benar, ditemukan fakta kedua. Anak yang bertanya, dia punya adik. Yang tidak bertanya, dia tak punya adik. Kurasa itulah penyebabnya. —Sudah survey via twitter juga lho... dan yang menjawab tidak pernah bertanya itu adalah orang yang tidak punya adik.— Anak yang punya adik, ia mengalami pengalaman melihat ibunya berperut besar dan semakin besar. Ditambah pula dengan keterangan si ibu "Di dalamnya ada adekmu, kamu juga dulu seperti ini. Dalam kandungan ibu di dalam perut, makanya perut ibu besar". —Tsyaah! Mungkin penyangkalan untuk menutupi penambahan berat badannya—. Anak yang tidak punya adik, tak memiliki pengalaman tersebut.


Fakta ketiga. Saya setengah percaya perkataan ibu tentang udel sampai saya duduk di bangku SMP setelah mengenal pelajaran Biologi. Apa ya, rasanya itu, seperti dikhianati dikibuli dibohongi diapusi! Ibuku adalah seorang ahli mikrobiologi—mikrobiologi bo'... artinya, mikrobiologi lebih dalam ilmunya ketimbang biologi saja. Dan saya dibohongi. Haaaaak! Tak dijelaskan secara ilmu pengetahuan yang sebenarnya. Mengecewakan. Karena merasa akan kesusahan jika menjelaskannya secara ilmu pasti, beliau malas ribet lalu merelakan membohongi anaknya. Merelakan perasaan anaknya hancur lebur dibohongi puluhan tahun—mungkin ga ada sepuluh tahun si, tapi mendekati sepuluh tahun.
Akhirnya, kekecewaan sang anak pun reda. Berusaha memahami situasi 'kaget' oleh pertanyaan anaknya yang tiba-tiba. Tak mau menimbulkan prasangka dan mengurangi rasa sakit hati, bertanyalah saya. Sekedar kroscek.
Fela : "Ibu dulu pernah bilang aku lahir lewat udel" 
Ibu : "iya ta? ibu lupa". 
Fela : (staight face)
Batinku, "Dasar, ibu-ibu! Segampang itu berkata udel, padahal sang anak sangat mempercayainya dan memikirkannya dengan sangat serius. Sangat berat dan serius."



Saya pun berpikir dan mengambil pelajaran sebagai pembelajaran dari pengalaman sebagai anak yang pernah dikibuli ibunya sendiri. Bahwa, saya akan malu kalau menjadi ibu yang membohongi anaknya. Karena, lama-kelamaan akan ketauan. Anak tumbuh, berkembang, dan akan sadar—"Bu, aku lahir ga lewat udel. Kelahiran lewat udel adalah hal yang konyol. Dan jawaban ibu, benar-benar konyol!"—. Ingatan anak, tak semudah itu hilang. Ingatannya, masih menempel di kepala sampai hari ini, sampai umur anak tersebut sudah 24 tahun. Saya tak akan melakukan hal sama yang telah ibu itu lakukan pada anaknya. Yang perlu dilakukan adalah melakukan persiapan menjawab pertanyaan-pertanyaan anak dengan jawaban berdasarkan ilmu pengetahuan yang benar namun dapat dimengerti anak. *Tapi, opo yo...* Untunglah saya belum beranak, jadi belum akan mengalami itu dalam waktu-waktu dekat. Tapi, tetap berpikir. Untuk persiapan, biar tidak mengecewakan si anak. Oke? Jadi, apa ya? :)) Jawaban pas-nya maksudku. Ada yang mau urun rembug persiapan jawaban-jawaban atas? Ihik. Mari belajar dan berkarya. Terima kasih dan sekian. :)

***


Tambahan aja: Pikiran anak-anak itu, terkadang aneh. Konyol. Tak masuk akal. Seperti,

"Pokoknya aku nyimpulin dari pilem-pilem, kalo cewek ama cowok deket-deketan dalam waktu yang lama, si cewek bakal otomatis hamil."
(oleh Ni'am yang mengingat-ingat masa kecilnya)

"Kamu makan jeruknya, bijinya kamu telen ya? Ih... itu kan bahaya. Nanti biji jeruknya tumbuh di perutmu lho" 
(oleh teman maen kecil, lupa siapa. Maaf, sudah lama.)
Adalah sebuah bentuk peringatan sekaligus perhatian dari seorang teman ketika saya duduk di bangku awal-awal SD. Saya pun percaya ketika itu, bahkan sampai terbawa mimpi kalau ubun-ubunku akan jebol oleh pohon jeruk, akibat pohon jeruk di dalam perut yang semakin tumbuh ke atas. Dan aku akan berjalan seperti manusia yang kepalanya ditumbuhi pohon. Bodoh.

 
"Jangan minum dari sedotan yang sama. Nanti kalau bekas mulutnya (menunjuk Y laki-laki) di sedotan itu, nempel di mulutmu (menunjuk X perempuan) maka kamu akan hamil"
(oleh Teman SD, lupa siapa. Maaf, sudah lama.) 
Adalah percakapan antar teman laki-laki dan perempuan yang saya dengar ketika duduk di bangku kelas 6 SD. Pikirku saat itu, "Hah, bodoh dan keterlaluan! Mana ada hal-hal segampang itu bisa menyebabkan kehamilan? Lalu apa yang bisa menyebabkan kehamilan? Aku pun tak tau."—kan masih kelas 6 SD, tapi tak semudah itu pula, percaya pada kekonyolan macam itu. :D
Ha!

 

Rabu, 04 April 2012

Kebanggaan Seorang Wanita Indonesia

Mbak Dian Sastrowardoyo
Apa yang harus dilakukan jikalau kehidupan kantor Anda mulai membosankan? Lurus, lurus, dan lurus saja. Tanpa belak-belok. Tanpa ada adrenalin yang mengalir adalah benar-benar datar. Tanpa kasus. Tanpa musuh. Tanpa selingkuh. Uh, sungguh membosankan!


Hai reader, hari ini writer sedang mengalami kebosanan dengan the bla bla bla gawean yang sebenarnya mudah.—Karena hal yang mudah adalah berbanding lurus dengan kemalasan. Dampak psikologis pekerjaan yang mudah memang seperti itu, kurang menantang. Dan akhirnya, malas. :D *pembelaan*—
Dan, tiba-tiba datanglah 1 New Message via email. Oh, dari Nadia Sarasati ternyata. Mengirim email tanpa laporan terlebih dahulu adalah hal yang kurang biasa untuk seorang Nadia Sarasati. Ia adalah sejenis makhluk pesampah sejati, apa-apa dilaporkan, "Fel, aku kirim email ya?". Salah satu pesampahku yang kadang sampah-sampah darinya adalah obat mujarab penghilang suntuk. Benar saja! Email darinya sangat menggoda iman untuk menyampah ke hal selanjutnya yang agak-agak bodoh.


Berikut adalah isi emailnya beliau.


Klik yang perlu diklik. Lalu berlanjut ke halaman berikutnya. Muncul lah pertanyaan-pertanyaan seputar biodata dan kaki tangannya—akun-akun sosmed maksud saya—untuk diisikan sebagai keharusan mengikuti kuis tersebut. Dan lalu, pertanyaan intinya. Oh yes! Dapat media menyampah baru dimana sifatnya adalah nothing to lose. Hahahaha

"Apa yang membuat Anda bangga menjadi wanita Indonesia?"

Tapi, haaaaakkkk... ... ... mikir.
Apa ya... Kok tiba-tiba blank!
.

.

.
 
...

As mbuh lah, jawab wae! Ketik! Nothing to lose kan?


Pada akhirnya gombalan-gombalan yang berhasil saya racik dengan otak sedikit ngaco, adalah sebagai berikut.
"Keharusan dan kenikmatan menjadi wanita Indonesia adalah pandai dan cerdas dalam memasak. Masakan istri adalah kunci sukses kelengkapan kebahagiaan rumah tangga. Masakan istri enak, suami senang dan makin cinta. Menjadi wanita Indonesia berarti mencintai budaya Indonesia termasuk makanannya. Makanan Indonesia beribu jenisnya sesuai dengan daerah masing-masing dengan teknik memasak dan bumbu berbeda-beda pula. Tentunya, semua itu lezat di mulut dan kenyang di perut. Masakan ala Indonesia adalah tantangan bagi para wanita Indonesia. Dari Mie Aceh sampai Papeda. Dan saya merasa tertantang untuk bisa menguasi ilmu masak-memasak ala Indoesia. Mengapa masakan Indosia itu terasa sangat nikmat dan lezat? Karena bumbu-bumbunya mantab! Semua itu berkat alam Indoesia yang kaya akan rempah-rempah. Saya bangga menjadi wanita Indonesia. Indonesia kaya akan alam dan budaya. :)"

Sebelum mengeklik "send", ucapkanlah basmillah dan shalawat nariyah, serta alfatikhah. *NIAAAATTT*


Saya pikir, itu semacam the mbelgedes words sebagai pelampiasan kebosanan tingkat akut.
Dan terima kasih buat Jeung Nadia. Akhirnya saya menulis lagi setelah beberapa bulan tidak menulis. *Pemanasan*


Oh ya reader, salah satu cara mengatasi kebosanan dalam kantor adalah, ya ini. >>> Do what you love! —Kalau saya sih, nyampah. Nyampah yang berguna. :D. Kalau rejeki, ya bisa diajak kulineran gratis rame-rame bersama 9 pemenang lainnya. Kalau engga, ya kan nothing to lose kan? Ya kan, ya kan?—




NB:
Bagi yang sedang mencari-cari kuis, silakeun dicoba. Semoga berhasil :D Rejeki ga lari ke mana kok. Kalo ga rejeki, ya lari kemana-mana.


Have A Nice Long Long Weekend.
Salam,

Rabu, 18 Januari 2012

Hati-Hati Dengan Matamu

Bola mata kecil itu berputar-putar berkeliling menyapu bersih warna putih mata hingga habis. Memperhatikan detail lekukan, tanda, noda, dan mungkin sedikit tahi lalat. Kedua bola mata bergerak secara lincah ‘zrrttt zrrrtt zrrt’ men-scan anatomi bentuk tulangan wajah serta pembungkusnya, si kulit dan ronanya, coklat! Wajah milik seorang lelaki bertubuh jangkung mencuat ke atas yang diamati secara detil oleh dua bola mata liar milik seorang perempuan tak terlalu pendek namun masih tetap butuh membelok-lokkan bola matanya jauh ke atas agar tetap mampu menjamah sasaran visualnya. Senja mengurangi frekuensi cahaya yang masuk ke dalam mata. Agak remang-remang. Perlu lah si pupil mata bekerja keras melebarkan diameternya semaksimal mungkin agar ia mampu menjangkau untuk menangkap remang cahaya senja. Baru kemudian retina mampu menangkap bayangan secara jelas hingga cukup terlihat untuk diterjemahkan ke otak.

***

“Mmm… apa ya yang memiripkanmu dengan temanku Paijo? Apa ya, yang mirip... Kok tadi temanku bilang, kamu mirip Paijo…”, celoteh si perempuan, tetap menjungkir balikkan bola matanya.

…....

“kamu, menggunakan alasan memirip-miripkan, biar bisa puas memandangi rupaku bukan?”

Iya kah? Kayaknya bener deh... Kok ngerti ya?
Gotcha! Kena! Beku. Namun, Ga terasa, ternyata bola mata itu menikmati, lalu—kalau inget pelajaran agama, jadi bilang begini nih dalam hati >>— “Astagrifullah. Bukan muhrim.”

“karena ga ada objek lain yang menarik”, spontan dan ‘kleb’, tutup mulut lalu arah bola mata dilempar jauh-jauh ke arah yang lebih wajar atas penebusan dosa.

***

Tuhan menciptakan detil-detil mikroskopik terkecil bagian mata agar manusia bisa melihat keindahan ciptaanNya. Wauw! Tuhan memang Indah. Menciptakan mata untuk bisa melihat sesuatu yang sebenarnya indah namun tak terlalu indah, biasa namun tidak terlalu biasa namun bisa terasa luar biasa (lebay...). Secara visual adalah kecukupan, standar, karena memang bukan Nabi Yusuf atau pun Deddy Mizwar dan Ikang Fawzi. Oh ternyata Tuhan juga menciptakan hati. Di dalam hati ada emosi, intuisi, keyakinan, rasa, dan nafsu (ada tambahan lain?). Dan kedudukan hati itu setara dengan logika, terserah akan diatur seperti apa (mengutip kata Maulin Ni’am pada postingan sebelumnya: “Kedudukan emosi sejajar dengan logika maupun organ tubuhmu. Kamu berhak mengatur mereka. Itu fungsi dari kesadaran.”). Sehingga si hati berhak untuk menikmati atau tidak menikmati. Di mata terlihat biasa saja, di hati terlihat bersinar berpendar-pendar. Kecukupan bisa berubah menjadi luar biasa. Tuhan, Allah, memang Mahahebat!
Menciptakan hati untuk memositifkan otak. Kan hati itu, sanubari, sebagian ditiupkan sedikit sifat-sifatNya. Positif dong ya?



Sekian.

Sabtu, 14 Januari 2012

Orang Baik itu, Tidak Menarik!

"Karena orang baik biasanya tidak menarik. 
Mereka hanya dikagumi saja. 
Dinikmati dari jauh saja."


Yeah, saya memang ngefans sama orang ini. Ngefans sama isi kepalanya. Dan itungannya, sering saya tanyai ketika sedang galau tentangNya. Guru dimana saya bisa tanpa beban bertanya tentang cinta padaNya dari seorang bodoh dan agak ndableg. Dan jawaban yang saya peroleh sering kali sangat membantu untuk kembali lurus. Saya suka jalan belok-belok dan nabrak-nabrak sih.

Ga ada angin, ga ada awan, ga ada hujan, ga mendung pula. Eh kok ya tiba-tiba saya kepikiran untuk bertanya ini padanya. Tiba-tiba pula saya jadi penasaran setengah setan. Dan bertanyalah saya pada sang guru via sms (ya capek males ngidupin lappi, males online, kalau pun online mungkin si guru ga online, mending sms)

***

“Oyo mas, aku meh tekon. Rada bodoh sih… Tp heran deh. Moga-moga dong maksudku. Intinya semua wanita itu maunya bisa nikah sama suami yang jadi imam keluarga, yang ngademke ati, yang bisa menambah cinta padaNya. Harusnya kalau aku jatuh cinta, ya wooh jatuh cinta padamu dong. Tapi kok aku malah sukanya sama orang yang, yang biasa-biasa aja. Yang keduniawiannya masih tinggi atau kalau tau agama pun, hanya sebatas pengetahuan saja. HARUSnya kan sukanya itu sama misalnya kamu. Pinginnya yang kayak kamu. Tapi kok akunya sendiri yang mbelok. HARUSnya nemploknya ke kamu. Tapi masih belum bisa. Jadi, tingkat keduniawianku juga masih tinggi sepertinya.” -> emang mas Ni’am minta dijatuhcintain gitu sama banyak orang sepertiku? Ga minta deh. Malah wahing-wahing kalau sampai ditaksir orang sepertiku. Sayanya juga, noleh atas bawah kanan kiri dan ngaca! Agak ribet kalau jadi pasangannya.


“Itu idealnya. Tapi setidaknya kamu sudah sadar kepada siapa hatimu biasanya condong. Itu awal dari kesadaran berikutnya. Bahwa kamu selalu sadar kepada siapa kamu suka. Kenapa kamu belum bisa suka pada orang-orang yang ‘baik’? Karena orang baik biasanya tidak menarik. Mereka hanya dikagumi saja. Dinikmati dari jauh saja.
Perasaan sukamu itu bagian dari keseluruhan dirimu. Kedudukan emosi sejajar dengan logika maupun organ tubuhmu. Kamu berhak mengatur mereka. Itu fungsi dari kesadaran.
Meskipun terdengar tidak sopan, tiap kali ada orang yang bilang ke aku bahwa aku orang baik, aku biasa jawab, ‘Itu karena kamu belum tau sisi burukku.’”


“Padahal menurutku, aku tertarik dengan semua-muamu. Tertarik dengan caramu berpikir. Kegiatanmu. Aktivitasmu. Ketertarikanmu pada suatu hal. Tapi ternyata hanya sebatas kagum. Karena yang kelihatan hanya yang baik-baiknya saja.
Ya memang modelmu itu orang yang pandai untuk tidak menampakkan negatifnya. Kalau negatifmu mbokepan atau misuhan sih, wajar bagiku. Ga mengurangi nilaimu blas! Tapi beda kalau kamunya telatan, mbolosan, ngupilan, ngentutan ketika sedang forum rapat lalu pecengas-pecengis. Itu menurunkan nilaimu.”


“hahaha”

***             


Yang justru menurut saya jikalau nilai minusnya terlihat, dia akan nampak seperti bukan ‘orang baik’ dan menjadi cukup menarik bagi para lajang atau istilah bekennya menjadi ‘bad boy’ yang banyak digemari gadis-gadis dewasa dan matang *alahh... Termasuk saya. Haha.
Dari semua sisi ia terlihat hampir sempurna dengan sedikit coreng tentu, maka banyak para wanita yang kagum pada sosok pemilik nama lengkap Ahmad Muhammad Maulin Ni’ambener ga sih? Saya cuma lihat di FBnya saja. Nama terpanjangnya sempat itu, sekarang telah kembali pendek (lagi), Maulin Ni'am. Saya juga belum bertanya pada YBS mengenai nama panjang(asli)nya yang mana.dan biasa disingkat M.N.. Hingga mantan teman kost saya, Risza Ratu Muliartha (sebut saja Ica, Ilmu Komunikasi 2007) dua tahun di bawah Maulin Ni’am (Ilmu Komunikasi 2005), bilang, “siapa sih cewek komunikasi ya ga suka sama Maulin Ni’am? Dia dinobatkan sebagai lelaki terseksi gitu…” | Fela: *melotot* “seksi dari hongkong?” dibatin. | Ica: “Seksi isi kepalanya.” | Fela: “Oh…”—


*Percakapan diedit dengan bahasa yang lebih enak dibaca dari bahasa sms aslinya, bahasa jawa. Maklum wong jowo kabeh.
Foto menyusul ya mbro kalau sudah dapat ijin dari yang punya nama, tampangnya emang tampang orang baek. :D. Ki mas... Aku nulis tentangmu tenan to... Hahahahaha.

Mengapah Menikah itu, IBADAH?


Lagi-lagi tulisan mengenai menikah? Ada apa denganmu, Fela? Halo… | Fela: Ga ada apa-apa tuh. Biasa aja, cuma dari dulu penasaran saja dengan pertanyaan judul tulisan ini, “Mengapa menikah itu, IBADAH?” “Mengapa Allah menyukai ibadah berupa pengumbaran nafsu hewaninya?” Untuk menghindari zina gitu? Udah gitu doang alesannya? Dangkal! Itu sih alesan nikah orang karena pingin kawin aja. Makannya ada nikah kontrak. Bisa nih, saya sampe umur 23—23 udah tua ya? Udah makan garam ya? Berasa udah hebat daripada 53 ya? Hidih, dangkal juga kowe Fel!—ini, ga ngapa-ngapain. Itu sih tergantung tingkat ketahanan penahanan nafsunya. Tapi nahannya, nahan banget bo’… Oke kembali ke topik awal. Nilai ibadah dari menikah. Ini yang pertama bikin saya kaget dan sedikit seneng sih ;)), bahkan menyentuh pasangan juga ibadah. Wow enak sekali ya ibadahnya… Saya nyentuh terus dong kalau gitu. Kan ibadah ;p. 


Awalnya saya ga bisa terima bahwa Allah Yang Mahasuci menghalalkan dan memberi nilai plus bagi para manusia—yang sudah melalui proses Ijab-Kobul tentu—untuk berlaku seperti binatang, dengan lawan jenis pastinya. MENGAPA? Saya yang masih muda kala itu, saya ga ngerti alesannya. Ya, karena saya memang bego sih, sekarang diri sendiri sudah agak melakukan kegiatan penyerapan ilmu jadilah mengerti sedikit-kit-kit. Tulisan ini juga berusaha mencoba menghubung-hubungkan. Berdasarkan benang-benang ruwet yang ada di kepala saya, akan segera saya uraikan pada paragraf selanjutnya. Jadi ngertinya saya gini nih, menurut pemahaman saya>>>>

***

(1) Anak. Tentu dengan menikah itu akan memunculkan anak juga kan? Yang artinya menambah para manusia yang akan memuja dan memujiNya. —amin untuk mendidik anak yang bener dan jadi anak soleh solihah—. Dengan adanya anak, maka akan me-replace kita sebagai kholifah di bumi ini. Hingga bumi lelah menopang para manusia—ya karena ulah manusia sendiri bumi kecapekan dan Yang Memiliki bumi bisa marah—. Catatan memunculkan anak: Jumlah anak disesuaikan dengan kemampuan juga ya mbro… Kemampuan Lahiriyah dan Rohaniyah.


(2) Menambah kualitas dan kejelasan tajalli Cinta padaNya. Manusia akan bisa mencintaiNya apabila ia telah mengerti, memahami, merasakan, dan menikmati sisi erotisnya cinta itu sendiri. Gampangnya, kenalilah cinta pada sesama manusia itu sendiri. Cinta pada pasangan. Sepertinya sangat nikmat—saya masih muda, jadi belum gitu ngerti senikmat apa itu cinta. Yang saya tau hanya sebatas perut berasa ada kupu-kupunya, berbunga-bunga, dan merindu, atau kalo pas lagi sialnya adalah perut mules dan badan berkeringat dingin karena harus merasakan patah hati (lagi). Oleh karena itu para muda mudi berkepala dua, seperti saya, dianjurkan untuk menikah, karena nikah itu ibadah untuk menuju padaNya. Kok bisa? Ya bisa dong. Nanti saya jelaskan.— 


Kata The Guru, Maulin Ni’am, “cintanya para sufi yang mabuk akan CintaNya, nikmatnya  itu seperti orgasme.” Kalau menurut saya sih, bahkan melebihi si orgasme itu. Ya, karena gosipnya para sufi kelak hanya akan mlengosi surga saja, baginya surga itu kurang menarik. Kurang eksotis. Hanya makanan dan perkawinan saja. Mereka menantikan kenikmatan yang lebih untuk “melihat”-Nya. Kan? Lebih nikmat dari kenikmatan paling nikmat di dunia dan di surga—bahkan Allah pun memberikan sekotak lahan untuk kegiatan perkawinan  di Surga. Amazing! -> Ini beneran saya baru tau dari Maulin Ni’am beberapa minggu lalu dan tambahan dari buku. Benar! Hadiah di surga adalah makanan yang ga akan habis dan perkawinan-perkawinan. Ternyata tujuan bidadari dan bidadara surga itu bukan hanya untuk menyejukkan mata, tetapi juga untuk pemuasan bawah perut.


Oke berhenti membahas tentang cinta para sufi. Terlalu jauh. Tapi cukup jelas kan, dari uraian di atas yang membincangkan perihal nikmatnya bercinta hingga mencinta? Lanjut… Cinta konvensional. Cinta kebanyakan manusia awam. Mengenal cinta untuk mencintaiNya. Mengenal bisa menumbuhkan efek makin cinta untuk mencintaiNya. Jadi, kenikmatan cinta itu ada tingkatannya.
Pertama, kecantikan dan ketampanan wajah sang kekasih. Semakin cantik atau tampan wajah kekasih itu, pasti semakin sempurna kenikmatan memandangnya. (Rindu Tanpa Akhir: Imam Al Ghazali, Serambi)
Kedua, kuatnya rasa cinta dan nafsu asmaranya, Kenikmatan yang dirasakan oleh orang yang mendalam rasa cintanya tidak akan sama dengan kenikmatan yang dirasakan oleh orang yang dangkal cintanya. (Rindu Tanpa Akhir: Imam Al Ghazali, Serambi)
Ketiga? STOP. Karena selanjutnya adalah cinta tingkatan sufi, tidak usah dibahas ya, berat.


Intinya, bahwa peningkatan level cinta itu mempengaruhi peningkatan kenikmatan cinta itu sendiri. Jelas pula, bahwa dengan menikah (halal untuk kawin) akan menumbuhkan peningkatan kualitas cinta pada manusia yang kemudian mengajarkan kita akan nikmatnya bercinta untuk mencinta. 1. Rasa merindu. 2. Rasa cinta yang ‘waauww’ 'brrrrr' atau rasa berbunga-bunga 'cling-cling-cling' (seperti adegan Lintang yang terjatuhi bunga-bunga ketika membeli kapur #film Laskar Pelangi) Melalui itu, Allah mengajarkan manusia untuk mengenal kenikmatan cinta. Yang berakhir pada ajaran untuk mencintaiNya, Sang Pencipta, dari apapun yang indah-indah dan menyebabkan dicintai. Wajar kan mencintai Sang Penciptanya? 
Dong maksudku? Nangkep maksudku? Kasarannya gini deh >>> jadi dari kegiatan bercinta itu adalah kegiatan menuju pada Allah. Isi surga saja, makanan dan perkawinan. Sekian. 
Capek juga mbahas tentang cinta, bercinta, mencinta. Cinteh! Kesel je. Mikir. Mbulet.
Ada tambahan point nomer 3 setelah nomer 2. Cinta, mungkin? Atau bahkan koreksian?



Hai Tuhan :)