Rabu, 24 Desember 2014

Pendekar Tongkat Emas, Film Genre Baru Penutup Akhir Tahun 2014

Dikarenakan konsep dan tema film Pendekaran Tongkat Emas oleh Mira Lesmana film adalah film genre baru, kolosal persilatan, yang digarap dengan apik, saya memutuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)mengikuti gaya penuturan percakapan di film tersebut. Saya memikirkan bahwa menarik juga menulis dengan gaya yang sangat EYD jaman persilatan namun tetap menarik untuk dibaca. Saya menjadi teringat akan film Misteri Gunung Merapi sebelum menonton film ini, karena saya dulu penggemar film seri Misteri Gunung Merapi (sebelum film tersebut menjadi terlalu dipanjang-panjangkan episodenya). Tentu saja eksekusi film Pendekar Tongkat Emas dikemas lebih apik dan halus pengemasannya berhubung akan ditayangkan di layar lebar.

Review Film Pendekar Tongkat Emas

Foto dari mbah google

Apa yang akan terjadi jika empat murid (Biru, Gerhana, Dara, dan Angin) yang dibesarkan bersama-sama oleh Guru Cempaka (Christine Hakim) harus saling bertarung memperebutkan Tongkat Emas milik Sang Guru? Biru (Reza Rahadian) berkomplot dengan Gerhana (Tara Basro) kemudian menghasut perguruan Sayap Merah untuk turut mengejar Dara (Eva Celia) dan Angin (Aria Kusumah) yang membawa lari Tongkat Emas. Dara dan Angin ditemukan oleh Elang (Nicholas Saputra) yang menolong mereka saat keadaan mereka telah sekarat. Lantas bagaimana nasib Dara dan Angin saat mereka sedang menjadi buronan namun harus mencari Naga Putih untuk mempelajari jurus Tongkat Emas Melingkar Bumi? Bagaimana kelanjutannya? Bagaimana kelanjutannya? Lekas kalian semua menonton saja kelanjutannya di bioskop-bioskop kesayangan kalian.

Sebagai seorang penonton dan penikmat film, saya berkesimpulan bahwa, pertama:
Opening film Pendekar Tongkat Emas ini sungguh sempurna dari segi suara dan visual. Suara Christine Hakim yang begitu matang dan berkarakter telah muncul di awal film beserta suguhan visual yang apik. Pemicu konflik besarnya telah dijabarkan dengan samar-samar pada openingnya. Memelihara empat anak macan. Sungguh sebenarnya memelihara anak macan adalah bukan tindakan bijak, tetapi tetap saja Cempaka memeliharanya. Opening yang menggelitik dan menimbulkan rasa penasaran karena Cempaka tetap mempertahankan untuk memelihara anak macan tersebut hingga mereka tumbuh besar dan siap untuk meneruskan ilmu silat Cempaka.

Dari segi lokasi dan teknik pengambilan gambar, padang rumput Sumba yang menjadi lokasi utamanya benar-benar terekspos sisi eksotisnya. Bahkan ketika saya melihat padang rumput yang bergunung-gunung, sempat sekelebat film the Hobbit muncul di benak saya. Pengambilan lokasi syuting film The Hobbit kebanyakan di studio, untuk kebutuhan gambar gunung, menara, lembah, dan gua tentu saja menggunakan permainan komputer. Sedangkan dalam pembuatan film Pendekar Tongkat Emas, mereka benar-benar turun ke lokasi dataran padang rumput Sumba. Dan sedikit terpikir oleh saya untuk tidak percaya, apakah ini benar-benar Sumba-Indonesia? Apakah gundukan tanah di padang rumput tersebut adalah efek komputer saja (saya menyebutnya copy paste gundukan tanah). Indah sekali!

Selanjutnya kedua,
Untuk film sekelas layar lebar di tanah air, hati saya sedikit retak ketika Tara Basro muncul di scene-scene selanjutnya. Senyum dan ekspresi mata Tara Basro seperti kurang alami. Yang terbayang oleh saya saat itu adalah akan lebih baik apabila senyum dan sorot mata Tara Basro sebagai Gerhana seperti peran yang dibawakan oleh Keira Knigtley di film Never Let Me Go. Sorot mata licik dan senyum yang seksi menggoda. Atau bisa juga sorot mata Nicole Kidman saat memerankan tokoh antagonis di Film Golden Compass atau Paddington. Sangat luwes dan alami. Untuk aktris Indonesia, yang muncul di kepala saya untuk memainkan tokoh Gerhana adalah Meriam Bellina. Namun sayang, Meriam Bellina sekarang lebih pas bersanding dengan Slamet Rahardjo daripada menjadi Gerhana. Kembali lagi ke Tara Basro, gesture tubuh Tara Basro telah cukup apik sebagai tokoh Gerhana yang berkuasa tetapi licik. Namun chemisty antara Tara Basro dan Reza Rahadian masih kurang kuat. Untuk adegan silatnya, semua pemainnya jempolan, usaha semua pemainnya patut diapresiasi. Apalagi tokoh Angin (Aria Kusumah) dan anak kecil di penutup filmnya. Saat saya menonton si anak kecil di penghujung film, rasanya sudah seperti menonton adegan kunfu di film-film tiongkok. Mungkin harapan mereka adalah ingin seperti film-film kungfu sekelas IP Man atau Fearless. Oh, tentu saja saya sangat tersuguhi adegan silat klimaks di akhir film antara Biru, Gerhana, Elang, dan Dara. Namun akan lebih baik jika adegan silat-silat di scene sebelum-sebelumnya pun sehebat adu silat saat klimaks keempat tokoh tersebut bertarung secara berpasangan.

Saya sendiri sangat suka akting Whani Darmawan saat memerankan tokoh Guru Perguruan Sayap Merah, sungguh alami sekali dan mengalir begitu saja. Saya harap akting tokoh utama pun sematang Whani Darmawan dan Chirstine Hakim.

Bahkan saya juga sangat terpukau dengan akting ibu-ibu yang berbaju merah marun, ibu-ibu yang menyanyi dan menari saat prosesi pemakaman yang di pimpin oleh Guru Perguruan Sayap Merah. Walaupun kemunculannya hanya sekilas, adegan tersebut sempat membuat saya berpikir, “Apakah ibu-ibu ini penduduk asli Sumba? Waw. Aktingnya luwes sekali saat menari-nari sambil membagikan makanan.”

Bahkan Prisia Nasution sebagai Cempaka Muda dan Darius Sinathrya sebagai Naga Putih kalah jauh aktingnya dengan Whani Darmawan dan ibu-ibu yang saya maksud di atas. Saya berharap untuk film-film selanjutnya yang akan digarap, karakter-karakter dan akting para pemainnya lebih kuat dan matang seperti para seniornya. Termasuk juga di bagian detail, yaitu akting anak-anaknya dan penduduk sekitar, rasanya pandangan mata dan cara bercakapnya masih kurang mengena. Mungkin cara ucap bahasa Indonesia masa jaman persilatan memang agak susah, terkesan kaku sehingga saya maklumi. Akan tetapi hal tersebut juga harus merupakan tantangan untuk dapat memerankan keaneragaman aksen dan macam dialog yang ada di Indonesia. Film ini banyak miss di bagian detail. Saya berharap untuk film yang akan digarap selanjutnya dapat dikerjakan dengan sedetail mungkin sampai bagian terkecilnya, hingga maksimal dan sesempurna mungkin.

Ketiga:
Saat Naga Putih mulai muncul dalam scene, yang sungguh-sungguh saya perhatikan adalah rambut si Naga Putih. Rambutnya nampak seperti rambut di iklan-iklan sampo. Saya berpikir mungkin rambut Naga Putih terlalu bersih untuk rambut ukuran pendekar yang hidup di alam terbuka. Masih nampak seperti rambut palsu (wig). Padahal rambut Elang (memang rambut asli Nicholas Saputra) dan Biru nampak alami sekali.

Keempat:
Ada dua atau tiga scene pemandangan yang tak perlu, sekitar dua atau tiga detik masih ditayangkan di film ini sehingga film terasa kurang padat. Seharusnya film masih bisa lebih dipadatkan lagi. Misalnya saat adegan dua burung beterbangan di perairan Sumba dengan backsound suarasebenarnya backsound tersebut telah pas untuk menunjang adegan sebelum dan setelahnya, namun gambarnya saya rasa kurang tepat, terasa kosong dan tidak bercerita hingga saya langsung terbayang acara National Geograpic Wild.

Untuk cerita, saya rasa masih terlalu biasa, belum terlalu banyak konflik yaitu hanya mengenai perebutan kekuasaan dan konflik batin Elang sendiri. Sedangkan bagian konflik batin Elang untuk memegang teguh janjinya masih kurang terekspos kuat. Chemistry Eva Celia dan Nicholas Saputra, saya rasa juga masih kurang. Untuk aktingnya, Eva Celia pada setengah jam pertama masih terlihat agak kaku, untuk selanjutnya sudah lumayan luwes. Dan nilai moral paling kuat yang dapat saya tangkap dari film tersebut adalah, bahwa janji memang harus ditepati, Elang memutuskan untuk mengorbankan egonya daripada harus merelakan kepentingan masyarakat kampung yang dijajah oleh kekuasaan dunia persilatan yang telah salah arah.

Kelima:
Sejujur-jujurnya saya sangat mengapresiasi film Pendekar Tongkat Emas dari segi sinematografi dan audionya. Film ini sangat kuat di settingnya. Tak disangka dengan latar tanah Sumba, film ini mampu memanjakan mata penontonnya dan mengagumi tanah Indonesia. Dan backsound suara jangkriknya, sungguh menancap hebat di hati saya, langsung berkelebat suasana di ranah pedesaan tempat saya tumbuh.

Skenarionya: TOP! Saya suka bahasa Indonesia dengan EYD yang digarap dengan apik.

Semoga dengan review saya sebagai penikmat film, film Indonesia genre silat kolosal ini bisa lebih baik lagi, hingga sekelas IP Man atau Crouching Tiger Hidden Dragon.

Good luck for next project then!

#NontonPTE untuk meningkatkan dan mendukung kualitas perfilman Indonesia agar semakin baik, film Indonesia tidak kalah dengan film luar. Lokasi yang diambil di PTE ini sungguh mumpuni memanjakan mata penonton. Indonesia punya! Sumba!


Tiket Pendekar Tongkat Emas. Semoga saya beruntung, untung-untungan berjalan-jalan ke Lokasi syuting film Pendekar Tongkat Emas, Halo Sumba!


Soliloquy

Premier perdana Pendekar Tongkan Emas diputar di bioskop pada hari Kamis, 18 Desember 2014. Sesungguhnya saya akan langsung menonton premiernya. Kenyataan yang terjadi sebelum saya pergi bertandang ke XXI Cipinang Mall, kawan saya Rino mengirim pesan saat siang hari, “Saya mempunyai sisa satu tiket The Hobbit pada tengah malam ini, apakah kamu sudi mengganti tiket tersebut?” Saya tidak perlu berlama-lama memikirkan jawabannya, Rino yang malang, daripada mencari-cari orang lagi kemudian saya menyetujui tawarannya. Sekaligus saya sudah mempunyai janji dengan Dodi. Dodi menawarkan menonton Pendekar Tongkat Emas pada hari Jumat daripada Kamis. Kamis berganti Jumat, Jumat datang beserta hujan sehingga kami membatalkan acara menonton Pendekar Tongkat Emas pada hari kedua setelah premier film. Datang pesan baru lagi pada malam Jumat dari seorang kawan lama, “Kamu sekarang sedang berada di mana? Apakah kamu bisa menonton Exodus besok bersama saya?” Kemudian dengan cepat saya menawarkan kepadanya, “Pendekar Tongkat Emas juga sudah ada di bioskop XXI Cipinang Mall. Bagaimana dengan tawaran saya, apakah kamu menyetujuinya?” Kawan saya segera menjawab, “Tidak!” Kawan saya Bima hanya menginginkan Exodus pada hari itu, karena Senin depan Bima sudah tidak akan bisa menonton bioskop dalam waktu lama. Ia akan dikirim ke pelosok Sulawesi oleh atasannya. Sabtu saya menonton Exodus bersama Bima. Selanjutnya saya berkata kuat kepada diri saya sendiri dalam hati, “Senin besok saya pasti akan menonton  Pendekar Tongkat Emas. Hyat!”

Lebih baik saya menonton Pendekar Tongkat Emas sendiri saja daripada harus merepotkan orang meminta ditemani #nontonPTE, kawan-kawan yang lain masih sedang lembur di kantor. Lagipula saya sedang ingin membaca buku baru sambil meminum kopi di warung baru sekaligus menunggu bioskop dimulai, rencananya seperti itu. Semua itu akan lebih leluasa apabila hal tersebut dilakukan seorang diri saja. Mencoba warung kopi baru sambil membaca buku pun pada akhirnya saya lakukan setelah menonton Pendekar Tongkat Emas. Ngomong-ngomong, saya merasa kecewa pada warung kopi baru iniyang biasanya sering salah menuliskan namakali ini nama saya ditulis dengan hampir benar, hanya salah 1 huruf saja, padahal saya berharap mereka menuliskan nama saya dengan banyak kesalahan, semisal Sheraa dari nama Fela. Kan lucu.

Ternyata menulis dengan bahasa Indonesia EYD seperti di film Pendekar Tongkat Emas susah juga, saya kurang ilmu dan kurang konsisten dengan penggunaan bahasa tersebut. Sehingga saya mengacungkan jempol untuk penulis skenarionya dan para aktor yang sudah berusaha keras melafalkannya dengan luwes dan apik.


Dikarenakan saya menonton sendiri, saya menyempatkan diri untuk berfoto dengan mbak-mbak penjaga studio... Biasanya saya jarang selfie ataupun meminta foto sealay ini... :|


Tidak ada komentar:

Posting Komentar