Dikarenakan
konsep dan tema film Pendekaran Tongkat Emas oleh Mira Lesmana film adalah film
genre baru, kolosal persilatan, yang digarap dengan apik, saya memutuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia
dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)―mengikuti gaya penuturan percakapan di film tersebut.
Saya memikirkan bahwa menarik juga menulis dengan gaya yang sangat EYD jaman
persilatan namun tetap menarik untuk dibaca. Saya menjadi teringat akan film Misteri Gunung Merapi sebelum menonton film ini, karena saya dulu penggemar film seri Misteri Gunung Merapi (sebelum film tersebut menjadi terlalu dipanjang-panjangkan episodenya). Tentu saja eksekusi film Pendekar Tongkat Emas dikemas lebih apik dan halus pengemasannya berhubung akan ditayangkan di layar lebar.
Review
Film Pendekar Tongkat Emas
Foto dari mbah google |
Apa
yang akan terjadi jika empat murid (Biru, Gerhana, Dara, dan Angin) yang
dibesarkan bersama-sama oleh Guru Cempaka (Christine Hakim) harus saling
bertarung memperebutkan Tongkat Emas milik Sang Guru? Biru (Reza Rahadian)
berkomplot dengan Gerhana (Tara Basro) kemudian menghasut perguruan Sayap Merah
untuk turut mengejar Dara (Eva Celia) dan Angin (Aria Kusumah) yang membawa lari
Tongkat Emas. Dara dan Angin ditemukan oleh Elang (Nicholas
Saputra) yang menolong mereka saat keadaan mereka telah sekarat. Lantas
bagaimana nasib Dara dan Angin saat mereka sedang menjadi buronan namun harus
mencari Naga Putih untuk mempelajari jurus Tongkat Emas Melingkar Bumi?
Bagaimana kelanjutannya? Bagaimana kelanjutannya? Lekas kalian semua menonton
saja kelanjutannya di bioskop-bioskop kesayangan kalian.
Sebagai
seorang penonton dan penikmat film, saya berkesimpulan bahwa, pertama:
Opening film Pendekar Tongkat Emas ini
sungguh sempurna dari segi suara dan visual. Suara Christine Hakim yang begitu matang
dan berkarakter telah muncul di awal film beserta suguhan visual yang apik. Pemicu
konflik besarnya telah dijabarkan dengan samar-samar pada openingnya. Memelihara empat anak macan. Sungguh sebenarnya memelihara
anak macan adalah bukan tindakan bijak, tetapi tetap saja Cempaka memeliharanya.
Opening yang menggelitik dan menimbulkan
rasa penasaran karena Cempaka tetap mempertahankan untuk memelihara anak macan
tersebut hingga mereka tumbuh besar dan siap untuk meneruskan ilmu silat
Cempaka.
Dari
segi lokasi dan teknik pengambilan gambar, padang rumput Sumba yang menjadi
lokasi utamanya benar-benar terekspos sisi eksotisnya. Bahkan ketika saya
melihat padang rumput yang bergunung-gunung, sempat sekelebat film the Hobbit
muncul di benak saya. Pengambilan lokasi syuting film The Hobbit kebanyakan di
studio, untuk kebutuhan gambar gunung, menara, lembah, dan gua tentu saja
menggunakan permainan komputer. Sedangkan dalam pembuatan film Pendekar Tongkat
Emas, mereka benar-benar turun ke lokasi dataran padang rumput Sumba. Dan
sedikit terpikir oleh saya untuk tidak percaya, apakah ini benar-benar
Sumba-Indonesia? Apakah gundukan tanah di padang rumput tersebut adalah efek
komputer saja (saya menyebutnya copy paste gundukan tanah). Indah sekali!
Untuk
film sekelas layar lebar di tanah air, hati saya sedikit retak ketika Tara
Basro muncul di scene-scene selanjutnya. Senyum dan ekspresi mata Tara Basro
seperti kurang alami. Yang terbayang oleh saya saat itu adalah akan lebih baik
apabila senyum dan sorot mata Tara Basro sebagai Gerhana seperti peran yang
dibawakan oleh Keira Knigtley di film Never
Let Me Go. Sorot mata licik dan senyum yang seksi menggoda. Atau bisa juga
sorot mata Nicole Kidman saat memerankan tokoh antagonis di Film Golden Compass atau Paddington. Sangat luwes dan alami. Untuk aktris Indonesia, yang muncul di
kepala saya untuk memainkan tokoh Gerhana adalah Meriam Bellina. Namun sayang,
Meriam Bellina sekarang lebih pas bersanding dengan Slamet Rahardjo daripada menjadi Gerhana.
Kembali lagi ke Tara Basro, gesture tubuh Tara Basro telah cukup apik sebagai tokoh
Gerhana yang berkuasa tetapi licik. Namun chemisty antara Tara Basro dan Reza Rahadian masih kurang kuat. Untuk
adegan silatnya, semua pemainnya jempolan, usaha semua pemainnya patut diapresiasi. Apalagi tokoh Angin (Aria Kusumah) dan anak kecil di penutup filmnya. Saat saya
menonton si anak kecil di penghujung film, rasanya sudah seperti menonton adegan kunfu di film-film tiongkok. Mungkin harapan mereka
adalah ingin seperti film-film kungfu sekelas IP Man atau Fearless. Oh, tentu saja
saya sangat tersuguhi adegan silat klimaks di akhir film antara Biru, Gerhana,
Elang, dan Dara. Namun akan lebih baik jika adegan silat-silat di scene sebelum-sebelumnya pun
sehebat adu silat saat klimaks keempat tokoh tersebut bertarung secara berpasangan.
Saya
sendiri sangat suka akting Whani Darmawan saat memerankan tokoh Guru Perguruan Sayap
Merah, sungguh alami sekali dan mengalir begitu saja. Saya harap akting tokoh utama pun
sematang Whani Darmawan dan Chirstine Hakim.
Bahkan
saya juga sangat terpukau dengan akting ibu-ibu yang berbaju merah marun, ibu-ibu yang menyanyi dan menari saat prosesi
pemakaman yang di pimpin oleh Guru Perguruan Sayap Merah. Walaupun kemunculannya hanya sekilas, adegan tersebut sempat membuat saya berpikir, “Apakah ibu-ibu ini
penduduk asli Sumba? Waw. Aktingnya luwes sekali saat menari-nari
sambil membagikan makanan.”
Bahkan
Prisia Nasution sebagai Cempaka Muda dan Darius Sinathrya sebagai Naga Putih
kalah jauh aktingnya dengan Whani Darmawan dan ibu-ibu yang saya maksud di atas.
Saya berharap untuk film-film selanjutnya yang akan digarap, karakter-karakter
dan akting para pemainnya lebih kuat dan matang seperti para seniornya. Termasuk juga di bagian
detail, yaitu akting anak-anaknya dan penduduk sekitar, rasanya pandangan
mata dan cara bercakapnya masih kurang mengena. Mungkin cara ucap bahasa Indonesia masa jaman persilatan memang
agak susah, terkesan kaku sehingga saya maklumi. Akan tetapi hal
tersebut juga harus merupakan tantangan untuk dapat memerankan keaneragaman
aksen dan macam dialog yang ada di Indonesia. Film ini banyak miss di bagian detail. Saya berharap
untuk film yang akan digarap selanjutnya dapat dikerjakan dengan sedetail
mungkin sampai bagian terkecilnya, hingga maksimal dan sesempurna mungkin.
Ketiga:
Saat Naga Putih mulai muncul dalam scene, yang sungguh-sungguh saya perhatikan
adalah rambut si Naga Putih. Rambutnya nampak seperti rambut di iklan-iklan sampo. Saya
berpikir mungkin rambut Naga Putih terlalu bersih untuk rambut ukuran pendekar
yang hidup di alam terbuka. Masih nampak seperti rambut palsu (wig). Padahal
rambut Elang (memang rambut asli Nicholas Saputra) dan Biru nampak alami sekali.
Keempat:
Ada dua atau tiga scene pemandangan yang tak perlu, sekitar dua atau tiga detik masih ditayangkan di film ini
sehingga film terasa kurang padat. Seharusnya film masih bisa lebih dipadatkan
lagi. Misalnya saat adegan dua burung beterbangan di perairan Sumba dengan
backsound suara—sebenarnya backsound tersebut telah pas untuk menunjang adegan sebelum dan
setelahnya, namun gambarnya saya rasa kurang tepat, terasa kosong dan tidak bercerita hingga saya langsung terbayang
acara National Geograpic Wild.
Untuk
cerita, saya rasa masih terlalu biasa, belum terlalu banyak konflik yaitu hanya
mengenai perebutan kekuasaan dan konflik batin Elang sendiri. Sedangkan bagian konflik
batin Elang untuk memegang teguh janjinya masih kurang terekspos kuat. Chemistry Eva Celia dan Nicholas Saputra, saya rasa juga masih kurang. Untuk aktingnya, Eva Celia pada setengah jam pertama masih terlihat agak kaku, untuk selanjutnya sudah lumayan luwes. Dan nilai moral paling kuat yang dapat saya tangkap dari film tersebut adalah, bahwa janji memang harus ditepati, Elang memutuskan untuk mengorbankan egonya daripada harus merelakan kepentingan masyarakat kampung yang dijajah oleh kekuasaan dunia persilatan yang telah salah arah.
Kelima:
Sejujur-jujurnya
saya sangat mengapresiasi film Pendekar Tongkat Emas dari segi sinematografi
dan audionya. Film ini sangat kuat di settingnya. Tak disangka dengan latar
tanah Sumba, film ini mampu memanjakan mata penontonnya dan mengagumi tanah
Indonesia. Dan backsound suara jangkriknya, sungguh menancap hebat di hati
saya, langsung berkelebat suasana di ranah pedesaan tempat saya tumbuh.
Skenarionya: TOP! Saya suka bahasa Indonesia dengan EYD yang digarap dengan apik.
Skenarionya: TOP! Saya suka bahasa Indonesia dengan EYD yang digarap dengan apik.
Semoga dengan review saya sebagai penikmat film, film Indonesia genre silat kolosal ini bisa lebih baik lagi, hingga sekelas IP Man atau Crouching Tiger Hidden Dragon.
Good luck for next project then!
#NontonPTE untuk meningkatkan dan mendukung kualitas perfilman Indonesia agar semakin baik, film Indonesia tidak kalah dengan film luar. Lokasi yang diambil di PTE ini sungguh mumpuni memanjakan mata penonton. Indonesia punya! Sumba!
Tiket Pendekar Tongkat Emas. Semoga saya beruntung, untung-untungan berjalan-jalan ke Lokasi syuting film Pendekar Tongkat Emas, Halo Sumba! |
Soliloquy
Premier
perdana Pendekar Tongkan Emas diputar di bioskop pada hari Kamis, 18 Desember
2014. Sesungguhnya saya akan langsung menonton premiernya. Kenyataan yang
terjadi sebelum saya pergi bertandang ke XXI Cipinang Mall, kawan saya Rino
mengirim pesan saat siang hari, “Saya mempunyai sisa satu tiket The Hobbit pada
tengah malam ini, apakah kamu sudi mengganti tiket tersebut?” Saya tidak perlu
berlama-lama memikirkan jawabannya, Rino yang malang, daripada mencari-cari orang
lagi kemudian saya menyetujui tawarannya. Sekaligus saya sudah mempunyai janji dengan
Dodi. Dodi menawarkan menonton Pendekar Tongkat Emas pada hari Jumat daripada
Kamis. Kamis berganti Jumat, Jumat datang beserta hujan sehingga kami
membatalkan acara menonton Pendekar Tongkat Emas pada hari kedua setelah
premier film. Datang pesan baru lagi pada malam Jumat dari seorang kawan lama, “Kamu
sekarang sedang berada di mana? Apakah kamu bisa menonton Exodus besok bersama
saya?” Kemudian dengan cepat saya menawarkan kepadanya, “Pendekar Tongkat Emas juga
sudah ada di bioskop XXI Cipinang Mall. Bagaimana dengan tawaran saya, apakah
kamu menyetujuinya?” Kawan saya segera menjawab, “Tidak!” Kawan saya Bima hanya
menginginkan Exodus pada hari itu, karena Senin depan Bima sudah tidak akan bisa
menonton bioskop dalam waktu lama. Ia akan dikirim ke pelosok Sulawesi oleh
atasannya. Sabtu saya menonton Exodus bersama Bima. Selanjutnya saya berkata
kuat kepada diri saya sendiri dalam hati, “Senin besok saya pasti akan menonton Pendekar Tongkat Emas. Hyat!”
Lebih
baik saya menonton Pendekar Tongkat Emas sendiri saja daripada harus merepotkan
orang meminta ditemani #nontonPTE, kawan-kawan yang lain masih sedang lembur di
kantor. Lagipula saya sedang ingin membaca buku baru sambil meminum kopi di
warung baru sekaligus menunggu bioskop dimulai, rencananya seperti itu. Semua
itu akan lebih leluasa apabila hal tersebut dilakukan seorang diri saja. Mencoba warung kopi
baru sambil membaca buku pun pada akhirnya saya lakukan setelah menonton Pendekar Tongkat
Emas. Ngomong-ngomong, saya merasa kecewa pada warung kopi baru ini—yang biasanya sering salah menuliskan
nama—kali ini nama
saya ditulis dengan hampir benar, hanya salah 1 huruf saja, padahal saya
berharap mereka menuliskan nama saya dengan banyak kesalahan, semisal Sheraa dari nama Fela. Kan lucu.
Ternyata
menulis dengan bahasa Indonesia EYD seperti di film Pendekar Tongkat Emas susah
juga, saya kurang ilmu dan kurang konsisten dengan penggunaan bahasa tersebut.
Sehingga saya mengacungkan jempol untuk penulis skenarionya dan para aktor yang sudah
berusaha keras melafalkannya dengan luwes dan apik.
Dikarenakan saya menonton sendiri, saya menyempatkan diri untuk berfoto dengan mbak-mbak penjaga
studio... Biasanya saya jarang selfie ataupun meminta foto sealay ini... :|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar