Jumat, 18 Juli 2014

MUSEUM MESUM


 | Failasufa Karima An-Nizhamiya


Ia berdiri di depan cermin kamarnya, sedang sibuk bersiul seraya menata rambut belah tengahnya dengan jari-jari tangan kanannya. Ke kanan, kiri, lalu belakang dan selesai. Sepertinya hampir semua lelaki selalu berbakat merapikan rambut tanpa sisir. Cuaca siang hari ini cerah sekaligus terik menyengat sampai-sampai nyaris tak ada orang yang keluar tanpa topi ataupun payung. Ia masih menatap lekat dirinya dalam cermin. Kemeja biru lengan pendeknya cepat-cepat ia tanggalkan hingga tersisa kaos putih bergambar ayam dan bertuliskan “TOTTENHAM HOTSPUR” di badannya. Sekonyong-konyong ia berteriak, “bravo!” sambil meninjukan kepalan tangan kanannya ke atas, menggantung di udara. Aroma parfum perpaduan kayu guaiac dan daun mint bercampur keringat terhambur memenuhi ruangan. Ia berteriak lagi, “bravo!” dan lagi, “bravo!” dua kali lebih keras. Sudah sejak tiga hari lalu Herman merencanakan agendanya hari ini. Minggu terakhir di bulan April, Ia akan mengunjungi Museum Mesum untuk pertama kalinya. Peluh mengaliri lekuk punggungnya yang liat.
Tiga hari lalu, yang masih sama panasnya dengan hari ini, Herman khusyuk memandangi sekeliling kamarnya. Kamarnya selalu rapi―memang harus selalu rapi untuk menghindari kerepotan atas kemarahan Bibi Jessie. Dua sisi dindingnya penuh lukisan-lukisan impressionis. Satu sisinya adalah hasil reproduksi lukisan Van Gogh dengan The Starry Night lah yang menjadi primadona dekorasi kamarnya. Sedangkan satu sisi lainnya adalah hasil reproduksi lukisan Monet. Pemuda bermata sayu tetapi memacarkan kebengalan tak tertandingi itu senang mereproduksi lukisan karya Van Gogh dan Monet dengan cara cacat dan prematur. Menurutnya, melukis ulang karya seniman besar dengan hasil tak terlalu perfek akan jauh telihat lebih manusiawi―sejujurnya, ia hanya mudah bosan dan tak telaten dengan hal lama yang tak kunjung selesai. Pada saat itulah imajinasinya sekarat. Ia tak bisa bermasturbasi lancar dengan cara-cara lama dan kuno. Potret wajah Marilyn Monroe dan beberapa poster setengah telanjang Sora Aoi juga Asia Carrera di balik bingkai lukisan juga sudah tak mampu memberinya fantasi. Video pun tampak seperti gambar bergerak belaka. Kebosanan kronis telah berdiam lama di dalam bola matanya. Padahal ia baru saja tinggal di rumah Bibie Jessie selama lima bulan. Lelaki muda yang sudah bertahun-tahun mampu bertahan dengan rambut belah tengah yang sudah nampak kuno itu tahu bahwa semuanya harus diperbaharui dengan cara yang akan segera ia temukan di Museum Mesum. Cara yang sama sekali baru dan pasti perlente! Ia juga tahu, pada akhirnya semua akan kembali sempurna. Sungguh harapan indah yang menjanjikan. Mungkin ia akan membeli sesuatu di sana.
Kembali lagi ke hari setelah tiga hari lalu, “Herman, Herman, bibi berhasil! Baru saja ada seekor tikus masuk perangkapku. Akhirnya!” Terdengar teriakan Bibi Jesssie yang seperti suara orang  tercekik dari arah luar pintu kamar. Kemudian hening sejenak, “Apakah Heru sedang bersamamu?” lanjut Bibi Jessie dengan suaranya yang kembali elegan dan terkontrol. Herman membalas pendek, iyaaa, tak kalah keras dengan suara lengking bibinya. “Bawa saja ia ke bawah. Ada santapan lezat untuknya. Aku akan senang melihatnya mengejar-ngejar tikus lalu memakannya,” ujar Bibi Jessie.
“Aku tak yakin Tuna masih doyan dengan tikus, Bibi Jessie-ku sayang...” Herman merasa aneh jika harus memanggil kucing bibinya dengan nama Heru, terasa seperti mereka berdua adalah kakak dan adik dengan nama yang sama-sama kuno. Maka ia mengganti nama Heru menjadi Tuna, “tapi tak apalah, akan kubawa ia ke bawah.” Lantas Herman mengangkat paksa Heru yang sedari tadi asyik bermain lepas tangkap dengan cicak di lantai. Dibopongnya Heru di ketiak kirinya, dibaliknya semua lukisan pada tempatnya hingga semua poster-poster itu kembali aman tersembunyi, lalu dikuncinya pintu kamar. Dengan kaus putih bertuliskan TOTTENHAM HOTSPUR, ia telah siap bepergian mengunjungi Museum Mesum. Aku pasti akan membeli banyak mainan di sana, Herman membatin berapi-api.
Sesampainya di Pasar Minggu, Herman langsung disambut oleh keriyuhan antara pedagang dan pembeli yang sedang tawar menawar, bunyi berisik klakson angkutan dan kendaraan pribadi yang bersaut-sautan, ditambah dengan meriahnya musik dangdut oplosan yang sedang marak-maraknya musim ini,
Mulut kumat kemot
Matanya melotot
Lihat body semok
Pikiranmu jorok
Alunan lagu dangdut remix keong racun dalam berbagai versi menggema dimana-mana yang berasal dari penjual kaset bajakan beberapa pedagang asongan pinggir trotoar. Pasar Buah dan Sayur yang dulunya hanya beraktivitas pada hari Minggu saja berlokasi enam ratus meter sebelum gerbang pintu depan Museum Mesum. Bermula dari titik tersebut Herman sudah mulai kegerahan lagi. Perjalanan dari rumah bibinya ke Museum Mesum terasa lebih lama daripada waktu sebenarnya. PANAS! Alih-alih pergi menepi mencari tempat berlindung dari terik matahari, lelaki muda penggemar club Tottenham Hotspur itu malah melepas kaosnya di bawah panas matahari langsung. Setelah ia mengelap keringat menggunakan  kaosnya lantas menatap ke depan, tiba-tiba Herman terdiam dan menghentikan langkahnya. Seorang wanita berumur sekitar dua puluh tujuh tahunan juga sedang melepas kaosnya! Lima meter saja di depan Herman! Kaos merah yang tadinya melekat pada tubuh liat wanita itu dilepasnya sendiri lalu wanita itu menggeliat-geliat seperti cacing yang bisa berdiri tegak di tanah! Edan! Pemandangan apa ini! Herman berdiri tegak tak bergerak, rona merah menyembul di wajahnya, kedua telapak tangannya pun basah, matanya bagai selongsong peluru yang siap menembak namun ternyata kokang pistolnya malah macet. Herman melongo saja hampir satu menit lamanya―mungkin satu menit terlama sepanjang hidupnya. Wanita gila!

“Hei, bodoh! Ingin mati kau, ya?” Sekonyong-konyong gambaran wanita berkaos merah di depan mata Herman lenyap seketika dan Herman sudah ambruk di tepian trotoar. Sepeda motor tukang ojek, yang membawa orang di jok belakangnya, yang baru saja melesat kencang pasti sudah menyerempetnya kalau saja tukang buah itu tak menarik Herman ke tepi―dengan sedikit mengumpat-ngumpat dan mengomel. Herman kembali ke titik kesadaran normalnya dan mengucapkan terima kasih kepada tukang buah yang sekarang telah kembali pada keranjang-keranjang buahnya. Disekanya keringat yang bercucuran di dahinya yang rasanya sudah sangat matang terpanggang lantas ia terduduk lemas di pinggir trotoar. Rambutnya basah dan berantakan. Dari jarak sepuluh meter jauhnya dipandanginya seorang wanita muda tinggi jenjang berkaos hijau longgar bawahan rok selutut warna merah sedang berjalan menjauh menggandeng gadis kecil di samping kanannya. Warung sup ceker di seberang trotoar tempat Herman terduduk lemas nampak sangat menggiurkan siang ini. Ia akan memesan satu mangkuk sup ceker―tanpa nasi―yang akan dibiarkannya mendingin dahulu juga dua gelas es teh. Dipakainya kaos Tottenham Hotspurnya lantas ia berdiri, menepuk-nepuk pantat, menebas pasir yang menempel di celananya, lalu menyeberang jalan dan masuk ke Warung Sup Ceker Pak Darmaji Pasar Minggu.
“Lidahku dari dulu memang pandai mengulum, kau saja yang baru tau...” kata si wanita ketika lelaki di sampingnya mengamati cara makannya yang seperti babi kelaparan yang kemudian memuntahkan tulang-tulang sisanya, tanpa ada daging sedikitpun yang menempel. Wanita lain di depan si wanita tertawa cekikikan.
“Kau itu, jangan bicara seperti itu di sini, mas di sampingmu itu pasti sudah berpikir yang tidak-tidak,” ujar wanita satunya yang masih tertawa cekikikan sembari menyembunyikan senyum kecilnya dibalik kedua ujung jari-jari tangannya yang lentik. Sedang si lelaki tersenyum kecil dan mengangguk-angguk tanda mengiyakan.
Herman yang duduk selisih satu meja dengan meja mereka hanya mampu terdiam dan menelan ludah sekali-dua-kali sembari menunggu sup ceker dan dua gelas es tehnya datang.
Begitu selesai makan, perjalanan pun berlanjut. Tinggal lima puluh meter menuju Museum Mesum. Depan pintu masuk Museum Mesum penuh dengan orang-orang yang mengantri. Penyebab utama antrian panjang tersebut adalah salah satu aturan yang ditetapkan oleh Museum Mesum yaitu jumlah maksimal pengunjung yang diperbolehkan masuk dalam satu kali putaran adalah 10 orang dan tanpa pemandu―peraturan yang cukup jarang diberlakukan di dalam museum. Mengapa peraturan aneh itu diberlakukan di Museum Mesum padahal antrian panjang mengular di luar? Entahlah, mungkin itu hanya untuk memberi kesan eksklusif belaka atau malah teori konspirasi agar warung makanan dan minuman di luar―yang masih termasuk dalam area Museum Mesum―laris dikunjungi pengunjung selagi mereka mengantri. Apapun itu, panjangnya antrian di depan pintu masuk Museum Mesum tak kunjung memendek-mendek juga. Sepuluh antrian depan masuk, tengah maju, ujung belakang maju, belakangnya lagi diisi dengan pengantri baru. Dan Herman pun menjadi pengantri baru di belakang muda-mudi―sepertinya yang perempuan anak SMP sedang si laki-laki anak SMA―yang sedang mencari tempat pacaran baru. Mereka pengantri yang antusias, menghabiskan waktu mengantri dengan hikmat. Diam-diam tangan si anak SMA sigap menjelajah pinggang si gadis SMP. Si gadis SMP sesekali menggelinjang-gelinjang geli. Herman menatap penuh harap kepada mereka, peluh mengaliri lekuk di antara dua tulang belikatnya. Pertahanan Herman sudah seperti balon air yang sedang tertusuk-tusuk duri pohon kaktus. Nyaris bocor.
Sesosok tubuh tinggi besar dengan sorot mata tajam dan bengis sedang mengamati Herman dari balik pagar Museum Mesum. Mengerikan. Hiii... Akan tetapi sekarang bukanlah saat yang tepat dan bukan di tempat yang tepat bagi si mata bengis untuk mengeksekusi.
Ruangan dalam museum memang sengaja ditata linear mulai dari awal setelah pintu masuk hingga akhir sebelum pintu keluar. Hal tersebut diberlakukan agar tiap sepuluh pengunjung yang masuk dapat berjalan terarah dan tetap dalam barisan. Sesungguhnya masuk ke Museum Mesum mirip halnya dengan masuk ke satu wahana permainan di dunia fantasi, antri panjang dan masuknya pun hanya sebentar lantas rampung. Sepuluh pengunjung yang masuk ke Museum Mesum juga tidak diperbolehkan membawa kamera. Semua perangkat yang berkamera telah dilucuti oleh penjaga Museum di depan tadi. Dan peraturan yang sering dilupakan para pengunjung—karena tak adanya pemandu dan sedikitnya jumlah pengunjung yang diperbolehkan masuk dalam waktu bersamaan—adalah dilarang berbuat mesum di tempat sepi.
Kini giliran Herman beserta rombongannya—termasuk sepasang kekasih tadi, juga sepasang dua pasang kekasih yang lain—yang masuk ke Museum Mesum. Akhirnya... pikir Herman lega. Namun sekonyong-konyong semua harapan lelaki muda yang sedang dirundung kerinduan akan berahi itu rontok seketika. Apa yang ada di depan matanya sekarang sungguh berbeda dengan apa yang ada di benaknya sejak Sabtu, Jumat, hingga Kamis tiga hari lalu. Tak ada mainan-mainan lucu pemuas antusiasme eksotisnya, tak ada gambar-gambar foto-foto lukisan-lukisan atau pun manekin-manekin dari karet yang lentur dan luwes, tak ada apapun di sana yang patut disebut sebagai pembangkit hasratnya! TAK PANTAS TEMPAT INI DINAMAI MUSEUM MESUM! Yang baru saja dialaminya di dalam sana benar-benar telah menghancurkan hatinya. Dalam ruangan persegi seluas dua puluh meter kali dua puluh meter yang diterangi dengan cahaya putih dari lampu-lampu flourescent yang menggantung malang melintang di langit-langit ruangan, Herman tengah melongo menghayati kedukaannya. Keringat di dahinya pun turut membeku. Sebuah sofa suede panjang warna merah menyala dengan jahitan-jahitan yang ditarik masuk sehingga nampak seperti lekukan bokong-bokong bayi empuk dan kenyal, memandanginya dingin. Diletakkan furniture khas klasik kontemporer itu menjadi point of interest di tengah ruangan—tanpa ada pagar penghalang dan papan larangan bertuliskan “dilarang menduduki dan menyentuh”. Iya. Dan memang hanya ada sebuah sofa suede. Juga secangkir gelas porselen putih dengan bekas lipstik merah merona di bibir cangkir—yang menurut keterangan di bawahnya adalah bekas bibir Linda Lovelace.
Sama seperti Herman, orang-orang dalam rombongan termasuk sejoli tadi pun tersentak kaget dengan apa yang dilihatnya di dalam. HANYA ADA SEBUAH SOFA SUEDE MERAH—dan secangkir gelas porselen dengan bekas lipstik yang sebentar lagi akan mereka lihat di ujung sana. Memang apa yang sebenarnya diharapkan dapat dilihat oleh mereka? Pertanyaan yang retoris sekali. Namun tak semuanya terlalu berduka seperti Herman, perlahan-lahan pasangan-pasangan lain pun kembali bisa menikmati kunjungan ke Museum Mesum, kecuali Herman dan pengunjung yang datang bergerombol dengan kawan-kawannya. Mereka yang datang dengan tujuan berkencan, malah makin membabi buta melaksanakan misinya. Jari mereka mulai menari-nari, kesegala arah, kemana-mana, kesemuanya, ke tangan si gadis, ke pinggul si gadis, turun ke mana-mana, juga naik kemana-mana, meremas-remas. Herman kepayahan. Barisan para sejoli mulai menghambur meminta tempat lebih luas. Sofa suede merah menjadi rebutan para sejoli yang sedang dibanjiri hasrat erotisme. Tiba-tiba di dinding putih dekat pintu keluar muncul tulisan berukuran besar dari lampu sorot warna merah yang hilang-timbul-tenggelam-timbul lagi seakan meneror mereka. DILARANG BERBUAT MESUM DI TEMPAT UMUM! diiukuti bunyi sirene polisi. Selang semenit tulisan itu muncul di mana-mana, di dinding kanan-kiri-depan-belakang bahkan lantai yang kosong dan langit-langit dalam ruangan.
DILARANG BERBUAT MESUM DI TEMPAT UMUM! DILARANG BERBUAT MESUM DI TEMPAT UMUM! DILARANG BERBUAT MESUM DI TEMPAT UMUM! DILARANG BERBUAT MESUM DI TEMPAT UMUM! DILARANG BERBUAT MESUM DI TEMPAT UMUM!

Hening sejenak. Lantas muncul gambar sepasang mata besar yang menyeramkan dan sorot mata yang tajam bersamaan dengan tulisan, “AKU MENGAWASIMU DENGAN KETAT!” di bawahnya. Kawanan sejoli menggelinjang bagai kuda kehilangan arah. Amburadul. Kacau. Morat-marit. Dan berulang lagi munculnya tulisan DILARANG BERBUAT MESUM DI TEMPAT UMUM! besar warna merah berkerlap-kerlip diikuti bunyi sirene. Mereka lari tunggang langgang ke arah pintu keluar. Herman malah diam saja menikmati tontonan di depan matanya.
Herman jadi teringat Tuna, kucing bibinya. Sebaliknya, Tuna pernah bercinta dengan betina-betina di pinggir jalan kampung di antara keramaian deretan rumah-rumah, di antara beberapa tatap mata orang lewat yang menyempatkan diri melirik mereka, dan di antara anak-anak yang malah membelalak senang menontonnya, tak ada larangan. Mereka menikmati. Semua menikmati. Setelah kelap-kelip tulisan sorot warna merah di dinding berhenti lagi, Herman berjanji bahwa suatu saat ia akan mencarikan betina yang cantik dan montok untuk Tuna.
Di garasi rumah bibinya, Tuna sedang mendengkur kencang setelah kekenyangan memakan buronan Bibi Jessie. Kucing-kucing lain sepertinya iri dengan hidup Tuna.
Ngomong-ngomong, tak adakah yang tahu alasan mengapa Museum Mesum masih saja ramai pengunjung?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar