| Failasufa Karima An-Nizhamiya
Ia
berdiri di depan cermin kamarnya, sedang sibuk bersiul seraya menata rambut
belah tengahnya dengan jari-jari tangan kanannya. Ke kanan, kiri, lalu belakang
dan selesai. Sepertinya hampir semua lelaki selalu berbakat merapikan rambut
tanpa sisir. Cuaca siang hari ini cerah sekaligus terik menyengat sampai-sampai
nyaris tak ada orang yang keluar tanpa topi ataupun payung. Ia masih menatap
lekat dirinya dalam cermin. Kemeja biru lengan pendeknya cepat-cepat ia tanggalkan
hingga tersisa kaos putih bergambar ayam dan bertuliskan “TOTTENHAM HOTSPUR” di
badannya. Sekonyong-konyong ia berteriak, “bravo!” sambil meninjukan kepalan
tangan kanannya ke atas, menggantung di udara. Aroma parfum perpaduan kayu
guaiac dan daun mint bercampur keringat terhambur memenuhi ruangan. Ia berteriak
lagi, “bravo!” dan lagi, “bravo!” dua kali lebih keras. Sudah sejak tiga hari
lalu Herman merencanakan agendanya hari ini. Minggu terakhir di bulan April, Ia
akan mengunjungi Museum Mesum untuk pertama kalinya. Peluh mengaliri lekuk punggungnya
yang liat.
Tiga
hari lalu, yang masih sama panasnya dengan hari ini, Herman khusyuk memandangi
sekeliling kamarnya. Kamarnya selalu rapi―memang harus selalu rapi untuk
menghindari kerepotan atas kemarahan Bibi Jessie. Dua sisi dindingnya penuh
lukisan-lukisan impressionis. Satu sisinya adalah hasil reproduksi lukisan Van
Gogh dengan The Starry Night lah yang
menjadi primadona dekorasi kamarnya. Sedangkan satu sisi lainnya adalah hasil
reproduksi lukisan Monet. Pemuda bermata sayu tetapi memacarkan kebengalan tak
tertandingi itu senang mereproduksi lukisan karya Van Gogh dan Monet dengan
cara cacat dan prematur. Menurutnya, melukis ulang karya seniman besar dengan
hasil tak terlalu perfek akan jauh telihat lebih manusiawi―sejujurnya, ia hanya
mudah bosan dan tak telaten dengan hal lama yang tak kunjung selesai. Pada saat
itulah imajinasinya sekarat. Ia tak bisa bermasturbasi lancar dengan cara-cara
lama dan kuno. Potret wajah Marilyn Monroe dan beberapa poster setengah telanjang
Sora Aoi juga Asia Carrera di balik bingkai lukisan juga sudah tak mampu memberinya
fantasi. Video pun tampak seperti gambar bergerak belaka. Kebosanan kronis telah
berdiam lama di dalam bola matanya. Padahal
ia baru saja tinggal di rumah Bibie Jessie selama lima bulan. Lelaki muda yang
sudah bertahun-tahun mampu bertahan dengan rambut belah tengah yang sudah
nampak kuno itu tahu bahwa semuanya harus diperbaharui dengan cara yang akan
segera ia temukan di Museum Mesum. Cara yang sama sekali baru dan pasti
perlente! Ia juga tahu, pada akhirnya semua akan kembali sempurna. Sungguh harapan
indah yang menjanjikan. Mungkin ia akan membeli sesuatu di sana.
Kembali
lagi ke hari setelah tiga hari lalu, “Herman, Herman, bibi berhasil! Baru saja
ada seekor tikus masuk perangkapku. Akhirnya!” Terdengar teriakan Bibi Jesssie
yang seperti suara orang tercekik dari
arah luar pintu kamar. Kemudian hening sejenak, “Apakah Heru sedang bersamamu?”
lanjut Bibi Jessie dengan suaranya yang kembali elegan dan terkontrol. Herman
membalas pendek, iyaaa, tak kalah keras dengan suara lengking bibinya. “Bawa saja
ia ke bawah. Ada santapan lezat untuknya. Aku akan senang melihatnya
mengejar-ngejar tikus lalu memakannya,” ujar Bibi Jessie.
“Aku
tak yakin Tuna masih doyan dengan tikus, Bibi Jessie-ku sayang...” Herman
merasa aneh jika harus memanggil kucing bibinya dengan nama Heru, terasa
seperti mereka berdua adalah kakak dan adik dengan nama yang sama-sama kuno. Maka
ia mengganti nama Heru menjadi Tuna, “tapi tak apalah, akan kubawa ia ke bawah.”
Lantas Herman mengangkat paksa Heru yang sedari tadi asyik bermain lepas
tangkap dengan cicak di lantai. Dibopongnya Heru di ketiak kirinya, dibaliknya
semua lukisan pada tempatnya hingga semua poster-poster itu kembali aman tersembunyi,
lalu dikuncinya pintu kamar. Dengan kaus putih bertuliskan TOTTENHAM HOTSPUR,
ia telah siap bepergian mengunjungi Museum Mesum. Aku pasti akan membeli banyak mainan di sana, Herman membatin berapi-api.
Sesampainya
di Pasar Minggu, Herman langsung disambut oleh keriyuhan antara pedagang dan
pembeli yang sedang tawar menawar, bunyi berisik klakson angkutan dan kendaraan
pribadi yang bersaut-sautan, ditambah dengan meriahnya musik dangdut oplosan
yang sedang marak-maraknya musim ini,
Mulut kumat kemot
Matanya melotot
Lihat body semok
Pikiranmu jorok
Alunan
lagu dangdut remix keong racun dalam
berbagai versi menggema dimana-mana yang berasal dari penjual kaset bajakan
beberapa pedagang asongan pinggir trotoar. Pasar Buah dan Sayur yang dulunya
hanya beraktivitas pada hari Minggu saja berlokasi enam ratus meter sebelum gerbang
pintu depan Museum Mesum. Bermula dari titik tersebut Herman sudah mulai kegerahan
lagi. Perjalanan dari rumah bibinya ke Museum Mesum terasa lebih lama daripada
waktu sebenarnya. PANAS! Alih-alih pergi
menepi mencari tempat berlindung dari terik matahari, lelaki muda penggemar
club Tottenham Hotspur itu malah melepas kaosnya di bawah panas matahari langsung.
Setelah ia mengelap keringat menggunakan kaosnya lantas menatap ke depan, tiba-tiba
Herman terdiam dan menghentikan langkahnya. Seorang wanita berumur sekitar dua
puluh tujuh tahunan juga sedang melepas kaosnya! Lima meter saja di depan
Herman! Kaos merah yang tadinya melekat pada tubuh liat wanita itu dilepasnya
sendiri lalu wanita itu menggeliat-geliat seperti cacing yang bisa berdiri
tegak di tanah! Edan! Pemandangan apa
ini! Herman berdiri tegak tak bergerak, rona merah menyembul di wajahnya, kedua
telapak tangannya pun basah, matanya bagai selongsong peluru yang siap menembak
namun ternyata kokang pistolnya malah macet. Herman melongo saja hampir satu
menit lamanya―mungkin satu menit terlama sepanjang hidupnya. Wanita gila!
“Hei,
bodoh! Ingin mati kau, ya?” Sekonyong-konyong gambaran wanita berkaos merah di
depan mata Herman lenyap seketika dan Herman sudah ambruk di tepian trotoar. Sepeda
motor tukang ojek, yang membawa orang di jok belakangnya, yang baru saja
melesat kencang pasti sudah menyerempetnya kalau saja tukang buah itu tak menarik
Herman ke tepi―dengan sedikit mengumpat-ngumpat dan mengomel. Herman kembali ke
titik kesadaran normalnya dan mengucapkan terima kasih kepada tukang buah yang
sekarang telah kembali pada keranjang-keranjang buahnya. Disekanya keringat
yang bercucuran di dahinya yang rasanya sudah sangat matang terpanggang lantas
ia terduduk lemas di pinggir trotoar. Rambutnya basah dan berantakan. Dari jarak
sepuluh meter jauhnya dipandanginya seorang wanita muda tinggi jenjang berkaos
hijau longgar bawahan rok selutut warna merah sedang berjalan menjauh menggandeng
gadis kecil di samping kanannya. Warung sup ceker di seberang trotoar tempat
Herman terduduk lemas nampak sangat menggiurkan siang ini. Ia akan memesan satu
mangkuk sup ceker―tanpa nasi―yang akan dibiarkannya mendingin dahulu juga dua
gelas es teh. Dipakainya kaos Tottenham Hotspurnya lantas ia berdiri, menepuk-nepuk
pantat, menebas pasir yang menempel di celananya, lalu menyeberang jalan dan masuk
ke Warung Sup Ceker Pak Darmaji Pasar Minggu.
“Lidahku
dari dulu memang pandai mengulum, kau saja yang baru tau...” kata si wanita
ketika lelaki di sampingnya mengamati cara makannya yang seperti babi kelaparan
yang kemudian memuntahkan tulang-tulang sisanya, tanpa ada daging sedikitpun yang
menempel. Wanita lain di depan si wanita tertawa cekikikan.
“Kau
itu, jangan bicara seperti itu di sini, mas
di sampingmu itu pasti sudah berpikir yang tidak-tidak,” ujar wanita satunya yang
masih tertawa cekikikan sembari menyembunyikan senyum kecilnya dibalik kedua ujung
jari-jari tangannya yang lentik. Sedang si lelaki tersenyum kecil dan
mengangguk-angguk tanda mengiyakan.
Herman
yang duduk selisih satu meja dengan meja mereka hanya mampu terdiam dan menelan
ludah sekali-dua-kali sembari menunggu sup ceker dan dua gelas es tehnya
datang.
Begitu
selesai makan, perjalanan pun berlanjut. Tinggal lima puluh meter menuju Museum
Mesum. Depan pintu masuk Museum Mesum penuh dengan orang-orang yang mengantri. Penyebab
utama antrian panjang tersebut adalah salah satu aturan yang ditetapkan oleh
Museum Mesum yaitu jumlah maksimal pengunjung yang diperbolehkan masuk dalam satu
kali putaran adalah 10 orang dan tanpa pemandu―peraturan yang cukup jarang
diberlakukan di dalam museum. Mengapa peraturan aneh itu diberlakukan di Museum
Mesum padahal antrian panjang mengular di luar? Entahlah, mungkin itu hanya
untuk memberi kesan eksklusif belaka atau malah teori konspirasi agar warung
makanan dan minuman di luar―yang masih termasuk dalam area Museum Mesum―laris
dikunjungi pengunjung selagi mereka mengantri. Apapun itu, panjangnya antrian
di depan pintu masuk Museum Mesum tak kunjung memendek-mendek juga. Sepuluh antrian
depan masuk, tengah maju, ujung belakang maju, belakangnya lagi diisi dengan
pengantri baru. Dan Herman pun menjadi pengantri baru di belakang muda-mudi―sepertinya
yang perempuan anak SMP sedang si laki-laki anak SMA―yang sedang mencari
tempat pacaran baru. Mereka pengantri yang antusias, menghabiskan waktu
mengantri dengan hikmat. Diam-diam tangan si anak SMA sigap menjelajah pinggang
si gadis SMP. Si gadis SMP sesekali menggelinjang-gelinjang geli. Herman menatap
penuh harap kepada mereka, peluh mengaliri lekuk di antara dua tulang
belikatnya. Pertahanan Herman sudah seperti balon air yang sedang
tertusuk-tusuk duri pohon kaktus. Nyaris bocor.
Sesosok
tubuh tinggi besar dengan sorot mata tajam dan bengis sedang mengamati Herman
dari balik pagar Museum Mesum. Mengerikan. Hiii... Akan tetapi sekarang bukanlah saat yang tepat dan bukan di tempat yang tepat bagi si mata bengis untuk mengeksekusi.
Ruangan
dalam museum memang sengaja ditata linear mulai dari awal setelah pintu masuk
hingga akhir sebelum pintu keluar. Hal tersebut diberlakukan agar tiap sepuluh
pengunjung yang masuk dapat berjalan terarah dan tetap dalam barisan.
Sesungguhnya masuk ke Museum Mesum mirip halnya dengan masuk ke satu wahana
permainan di dunia fantasi, antri panjang dan masuknya pun hanya sebentar
lantas rampung. Sepuluh pengunjung yang masuk ke Museum Mesum juga tidak
diperbolehkan membawa kamera. Semua perangkat yang berkamera telah dilucuti
oleh penjaga Museum di depan tadi. Dan peraturan yang sering dilupakan para
pengunjung—karena tak adanya pemandu dan sedikitnya jumlah pengunjung yang
diperbolehkan masuk dalam waktu bersamaan—adalah dilarang berbuat mesum di
tempat sepi.
Kini
giliran Herman beserta rombongannya—termasuk sepasang kekasih tadi, juga
sepasang dua pasang kekasih yang lain—yang masuk ke Museum Mesum. Akhirnya... pikir Herman lega. Namun
sekonyong-konyong semua harapan lelaki muda yang sedang dirundung kerinduan
akan berahi itu rontok seketika. Apa yang ada di depan matanya sekarang sungguh
berbeda dengan apa yang ada di benaknya sejak Sabtu, Jumat, hingga Kamis tiga
hari lalu. Tak ada mainan-mainan lucu pemuas antusiasme eksotisnya, tak ada
gambar-gambar foto-foto lukisan-lukisan atau pun manekin-manekin dari karet
yang lentur dan luwes, tak ada apapun di sana yang patut disebut sebagai
pembangkit hasratnya! TAK PANTAS TEMPAT INI
DINAMAI MUSEUM MESUM! Yang baru saja dialaminya di dalam sana benar-benar
telah menghancurkan hatinya. Dalam ruangan persegi seluas dua puluh meter kali dua
puluh meter yang diterangi dengan cahaya putih dari lampu-lampu flourescent
yang menggantung malang melintang di langit-langit ruangan, Herman tengah melongo
menghayati kedukaannya. Keringat di dahinya pun turut membeku. Sebuah sofa
suede panjang warna merah menyala dengan jahitan-jahitan yang ditarik masuk sehingga
nampak seperti lekukan bokong-bokong bayi empuk dan kenyal, memandanginya
dingin. Diletakkan furniture khas klasik kontemporer itu menjadi point of interest di tengah ruangan—tanpa
ada pagar penghalang dan papan larangan bertuliskan “dilarang menduduki dan
menyentuh”. Iya. Dan memang hanya ada sebuah sofa suede. Juga secangkir gelas
porselen putih dengan bekas lipstik merah merona di bibir cangkir—yang menurut
keterangan di bawahnya adalah bekas bibir Linda Lovelace.
Sama
seperti Herman, orang-orang dalam rombongan termasuk sejoli tadi pun tersentak
kaget dengan apa yang dilihatnya di dalam. HANYA
ADA SEBUAH SOFA SUEDE MERAH—dan secangkir gelas porselen dengan bekas lipstik
yang sebentar lagi akan mereka lihat di ujung sana. Memang apa yang
sebenarnya diharapkan dapat dilihat oleh mereka? Pertanyaan yang retoris
sekali. Namun tak semuanya terlalu berduka seperti Herman, perlahan-lahan pasangan-pasangan
lain pun kembali bisa menikmati kunjungan ke Museum Mesum, kecuali Herman dan
pengunjung yang datang bergerombol dengan kawan-kawannya. Mereka yang datang
dengan tujuan berkencan, malah makin membabi buta melaksanakan misinya. Jari
mereka mulai menari-nari, kesegala arah, kemana-mana, kesemuanya, ke tangan si
gadis, ke pinggul si gadis, turun ke mana-mana, juga naik kemana-mana,
meremas-remas. Herman kepayahan. Barisan para sejoli mulai menghambur meminta
tempat lebih luas. Sofa suede merah menjadi rebutan para sejoli yang sedang dibanjiri
hasrat erotisme. Tiba-tiba di dinding putih dekat pintu keluar muncul tulisan berukuran
besar dari lampu sorot warna merah yang hilang-timbul-tenggelam-timbul lagi seakan
meneror mereka. DILARANG BERBUAT MESUM
DI TEMPAT UMUM! diiukuti bunyi sirene polisi. Selang semenit tulisan itu
muncul di mana-mana, di dinding kanan-kiri-depan-belakang bahkan lantai yang
kosong dan langit-langit dalam ruangan.
DILARANG BERBUAT MESUM DI TEMPAT
UMUM! DILARANG BERBUAT MESUM DI TEMPAT UMUM! DILARANG BERBUAT MESUM DI TEMPAT
UMUM! DILARANG BERBUAT MESUM DI TEMPAT UMUM! DILARANG BERBUAT MESUM DI TEMPAT
UMUM!
Hening
sejenak. Lantas muncul gambar sepasang mata besar yang menyeramkan dan sorot
mata yang tajam bersamaan dengan tulisan, “AKU MENGAWASIMU DENGAN KETAT!” di
bawahnya. Kawanan sejoli menggelinjang bagai kuda kehilangan arah. Amburadul.
Kacau. Morat-marit. Dan berulang lagi munculnya tulisan DILARANG BERBUAT MESUM DI TEMPAT UMUM! besar warna merah berkerlap-kerlip diikuti bunyi sirene.
Mereka lari tunggang langgang ke arah pintu keluar. Herman malah diam saja
menikmati tontonan di depan matanya.
Herman
jadi teringat Tuna, kucing bibinya. Sebaliknya, Tuna pernah bercinta dengan
betina-betina di pinggir jalan kampung di antara keramaian deretan rumah-rumah,
di antara beberapa tatap mata orang lewat yang menyempatkan diri melirik
mereka, dan di antara anak-anak yang malah membelalak senang menontonnya, tak
ada larangan. Mereka menikmati. Semua menikmati. Setelah kelap-kelip tulisan
sorot warna merah di dinding berhenti lagi, Herman berjanji bahwa suatu saat ia akan
mencarikan betina yang cantik dan montok untuk Tuna.
Di
garasi rumah bibinya, Tuna sedang mendengkur kencang setelah kekenyangan
memakan buronan Bibi Jessie. Kucing-kucing lain sepertinya iri dengan hidup
Tuna.
Ngomong-ngomong,
tak adakah yang tahu alasan mengapa Museum Mesum masih saja ramai pengunjung?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar