Percakapan ini berawal dari pertanyaan
seorang teman yang sekonyong-konyong menjadi brilian! “Meninggalkan
atau ditinggalkan?”
Sontak saya langsung memilih meninggalkan
dong, karena saya orang yang dengan gampangnya meninggalkan. Lagian
ditinggalkan sangat tidak enak sekali—Konteksnya manusia ya, ingat, manusia, bukan
barang. Bahkan, saya bercita-cita untuk mati duluan sebelum ibu saya meninggal.
Ada yang bilang, “meninggalkan itu berat juga...”
Ada yang bilang, “takut kecewa kalo meninggalkan...”
Ada yang bilang, “kalau lagi kepepet keadaan, milih
meninggalkan...” >>> Ya iya sih ya!
Kemudian saya pun bertanya lagi pada salah
seorang teman saya pada jam tengah malam—biasanya jam tengah malam atau dini hari adalah jam orang-orang dapat berpikir dengan benar,
dimana ia akan sungguh-sungguh sentimentil!
“Meninggalkan atau ditinggalkan?”
“Ditinggalkan itu ga enak banget. Tapi kalau
harus meninggalkan kok rasanya jahat amat...” —Wow, berarti saya orang yang jahat amat
ya? Haha.—
“Pada meninggalkan, kita adalah subjek.
Pada ditinggalkan, kita adalah objek. Subjek aktif. Objek biasanya pasif. Tapi ada
temenku yang milih ditinggalkan. Awesome banget ga siiih... Mau-maunya jadi
objek, pasif. Tapi keren.”
“Kok keren?”
“Nih! Dari situ, dia adalah orang yang kuat. Orang yang mau jadi objek adalah orang yang kuat. Dia seorang hamba 100% yang menghamba!”
“Oh, I see...”
“Konsep hidupnya Habluminannas.
Siapapun boleh datang kepadanya, asal dia berguna. Siapapun boleh
meninggalkannya, kalau dia sudah tak ada guna lagi. Ini butuh “nrimo” “ikhlas”
banget ga sih? Iya kan?”
“Berarti dia menaruh orang lain di atas dirinya
sendiri ya?”
“Iya, itu juga. Kalau sampai orang yang
pernah meninggalkannya itu kembali lagi, berarti dia sudah meng-upgrade kualitas
dirinya sehingga orang yang pernah meninggalkannya, mau kembali lagi padanya.
Orang yang mau meninggalkan, 'kan juga orang yang bener-bener niat meninggalkan,
dan meninggalkan juga hal berat.”
“Orang yang bisa menerima ditinggalkan
adalah orang yang kuat? Kuat menangani diri sendiri, ikhlas menerima, juga
memperbaiki diri untuk ditinggalkan, gitu?”
“Begitulah. Orang yang meninggalkan, level
terendahnya bisa disebut orang yang suka lari. Orang yang suka melarikan diri.”
“Kalo kamu milih apa, Fel?”
“Aku? Aku lebih sering MENINGGALKAN DONG!
HAHAHHAHAH. Suka lari. Ogah ribet. Tapi mau belajar ditinggalkan juga. Biar enteng.”
'Kan? Perbincangan dini hari
sungguh-sungguh sangat... masuk akal, 'kan? Sentimentil, 'kan? Ya kan? Iyain aja deh... Sungguh-sungguh benar, tulus,
lurus, dan serius! Wow.
Jadi, kalau kalian pilih mana?
Meninggalkan atau ditinggalkan?
|
BYE! BYE! BYE! Beibeeehhhh... |