Oleh Failasufa Karima An-Nizhamiya
Dua siluet berjalan ke arah senja yang
sedang berkubang tak terlalu apik. Setengah kuning telor—telor asin matang—bersandar di depan selapis langit senja
warna wortel pucat. Penggambaran yang tak begitu cantik―langit senja wortel pucat, terlalu pejal, dan ditaburi sedikit
panorama. Perahu-perahu lawas para nelayan. Wanita cantik bergaun pantai yang sedang
mengais-ngais pasir pantai dengan hebatnya. Sejoli anjing golden yang sedang berjalan-jalan
di pantai―yang sepertinya berencana akan mengejar kerumunan gadis-gadis
yang sedang berlomba saling meninggikan suara. Dan beberapa mobil nekat parkir dekat
bibir pantai. Kabarnya, dahulu kala pantai bersenja wortel pucat yang dahulu wortel
segar ini selalu ramai didatangi pelancong. Pelancong luar kota dari belahan bumi
lain khusus datang untuk mengunjungi pantai ini, Pantai Inyung. Dan dua siluet itu
tetap memandang lurus ke depan. Seolah-olah lukisan alam dengan penggambaran gagal
yang tak begitu cantik menyedot utuh semua perhatiannya, menjadi point of interest―mungkin karena Pantai Inyung masih meninggalkan sisa-sisa masa
kejayaanya. Siluet itu bagaikan dua onggok mayat hidup yang berjalan lurus tanpa
sekalipun menampakkan sebelah sisi wajah satu sama lain. Tak menampakkan lekuk hidung
mancung atau pesek, lekuk bibir penuh berisi atau tipis, lekuk dagu lancip ke depan
atau tumpul ke dalam. Angin berhembus. Kelengangan pun pecah. Siluet yang lebih
pendek tiga belas centimeter, menoleh. Lantas bersuara.
“Bibi, kau akan membawa kita kemana?”
kata Herman.
“Ke sana.” Bibi menunjuk ke arah bangunan
era post-modern beratap stainless steel
dengan karat disana-sini namun masih nampak kokoh merajai area pantai di bawah batu
karang paling besar. Warung Pegadaian Rasa dilihatnya dari tempat mereka berdiri.
Bangunan tua itu masih tampak sekecil kepalan tangan.
-o-
“Selamat pagi teman,” sapa penjaga sekaligus
pemilik Warung Pegadaian Rasa ramah, dengan sedikit membungkukkan badan. Ia langsung
menembakkan mata pada sosok Herman lantas melirik tipis ke arah Bibi Jessie lalu
menfokuskan diri lagi pada Herman seraya menyunggingkan senyum kecilnya, “Kau punya
rasa apa nak, yang bisa kau gadaikan untukku?”
“Kata bibiku, kau bisa menerima semua
rasa di pegadaian ini. Dengan demikian aku akan memperoleh uang dari rasa yang telah
kugadaikan nantinya. Kau tau, aku tak punya uang sama sekali, maka taksirlah rasaku
dengan harga semaksimal mungkin.”
“Mari kuperiksa rasa terbesar apa yang
kau miliki, yang tentu saja bisa kau gadaikan di sini. Kemarilah, masuklah ke dalam,
kau akan kufoto terlebih dahulu.”
“Untuk apa kau foto aku?” tanya Herman
menyelidik tajam dan sinis.
“Hanya untuk dokumentasi. Siapa saja calon
pelanggan setiaku.” Si Penjaga membalas ramah dan tersenyum.
“Bah! Dokumentasi,” Herman mencibir pelan
lalu berjalan masuk mengikuti Si Penjaga. Bibi Jessie menunggu di luar. Menikmati
hembusan angin senja.
“Pegadaian Rasa ini hanya bisa menerima
rasa terbanyak dari tubuhmu. Kami akan mengambil rasa-rasa itu dan memasukkannya
ke dalam botol ini,” ujar Si Penjaga seraya menunjuk botol bening kosong yang berada
di atas rak, dalam ruang pas fotonya. “Mengapa bibimu tidak ikut masuk ke dalam
saja? Sekalian menggadaikan rasa. Lumayan, buat tambah-tambah uang. Bukankah kalian
orang yang sekarang sama-sama sekarat?”
“Sudahlah. Kau diam saja. Terserah bibiku
mau masuk atau tidak, tak ada urusannya denganmu,” Herman menimpali. “Lalu apa yang
akan terjadi denganku setelah kau mengambil rasa terbanyak dalam tubuhku? Aku tak
akan mati, kan? Setidaknya aku tak akan sakit atau sekarat. Apabila kejadiannya
akan seperti itu, sama dengan bohong belaka. Lebih baik aku hidup melarat daripada
hidup sekarat.” Lantas Herman memutar bola matanya mengelilingi ruang pas foto,
“Kau macam seorang penipu. Lihat saja bangunan ini reyot dari luar dan di dalamnya
kulihat penuh perabot model baru disana-sini. Bahkan kau memiliki kursi goyang terbang.
Sialan. Kau dapat darimana?”
“Beberapa pelangganku adalah orang terhormat
yang gemar memberi hadiah. Mereka amat bahagia dengan memberi hadiah. Bukankah cara
orang untuk memperoleh rasa bahagia itu bermacam-macam? Termasuk kau. Mungkin kau
akan sedikit bahagia jika sedikit beruang untuk saat ini?”
“Oke-oke. Sudah. Sudah. Sudahkan saja
ceramahmu. Aku sudah hafal ceramah seperti itu.” Matanya sekonyong-konyong tampak
beringas. Beringas beberapa detik, kemudian redam seketika. Matanya kembali memandang
lekat pada jajaran botol-botol kecil yang terbuat dari kaca bening dalam rak kaca.
“Ngomong-ngomong apakah botol-botol aneh ini juga termasuk hadiah dari salah satu
pelangganmu? Ruangan ini jadi mirip dengan kamar seorang pembuat parfum. Banyak
botol warna-warni dengan bau wangi tipis, dan...,” Herman buru-buru menutup hidung,
“Bau! Busuk! Uh. Untuk apa botol-botol konyol ini kau simpan di sini?”
“Kusewakan.”
“Pertanyaannya adalah, ada yang mau menyewa
botol yang sungguh-sungguh konyol ini?” Herman menunjuk botol yang berbau menyengat.
“Baunya seperti telur busuk.”
“Oh... Untuk botol berbau telur busuk
yang kau maksud itu, ada beberapa orang terlalu kaya yang tak tahu cara menghabiskan
uangnya. Iya. Orang macam merekalah para penyewa barang daganganku ini,” Si Penjaga
membuka buku kecil dari dalam sakunya, kemudian menuliskan sedikit tulisan saja,
“Kau hanya perlu meminjamkan rasa yang akan kau gadaikan ini dan kau memperoleh
uang. Prinsipnya hampir sama seperti pegadaian pada umumnya. Kau menaruh barang
dipegadaian―untuk kusewakan tentu, karena pekerjaanku adalah memutar uang
dan jasa—kau memperoleh uang pinjaman dan kau tak akan bertemu rasamu itu
dalam waktu kelipatan sebulan sesuai waktu kesepakatan nanti. Dan kau juga tak perlu
mengembalikan pinjamanmu 100%, cukup 50% saja. Tetapi jika kau melebihi waktu kesepakatan,
kau hanya butuh membayar administrasinya saja. Semudah itu.”
“Berapa biaya administrasinya perbulan?”
“Cukup tujuh ratus ribu saja.”
“Dan?”
“Apa?”
“Oh Tuhan! Aku benci harus mengulang
kembali pertanyaanku. Kau belum menjelaskan apa yang akan terjadi padaku jika aku
menggadaikan rasa itu?”
“Oh... Tak akan terjadi apa-apa. Kau tak
akan mati dan tak akan sakit jiwa. Kau akan baik-baik saja. Kau akan sehat-sehat
saja. Kau hanya akan merasakan rasa yang telah kaugadaikan itu sudah berkurang.
Ingat, hanya berkurang selama masa perjanjiannya. Sama konsepnya seperti pegadaian
pada umumnya. Kau hanya meminjamkan saja dan akan memperolehnya kembali sesuai masanya.
Dan kau masih tetap akan bisa memproduksi rasa apa pun yang kauinginkan dalam dirimu.
Mudah. Benar-benar mudah.”
“Oke. Aku mengerti. Seperti cara menggadaikan
emas, bukan? Aku hanya tak akan memiliki emas itu dalam beberapa waktu, sebagai
gantinya aku akan memperoleh uang pinjaman. Dan selama masa itu, aku bebas membeli
emas lagi. Dan emas yang kugadaikan bisa kuperoleh kembali setelah kukembalikan
uang pinjamannya. Dan emas yang kumilki jadi bertambah setelah semuanya kembali
ke tanganku. Emas yang pernah kugadaikan ditambah emas yang baru saja kudapat lagi
selama masa penggadaian emasku sebelumnya. Jadi ada X+Y emas. Emas lama dan emas
baru. Benar begitu?”
“Anak pintar.”
“Satu pertanyaan lagi, apakah rasa yang
kugadaikan jika telah kembali lagi padaku, ia bisa menguap? Menghilang?”
“Seperti emas juga. Emas bisa kau simpan
juga bisa kau hilangkan. Berlaku juga untuk rasa. Rasa bisa terus kau simpan kemudian
kembali kau gadaikan lagi kepadaku atau bisa langsung kau hilangkan saja. Terserah.”
“Oh. Oke. Sekarang aku makin mengerti.”
-o-
“Selesai.”
“Sudah? Begitu saja?”
“Iya. Sederhana.”
“Cepat sekali. Kau apakan tadi botol ini?
Tiba-tiba saja berisi sesuatu berwarna gelap pekat. Dan untungnya tidak terlalu
bau.”
“Rahasia.” Si Penjaga tersenyum hikmad
penuh rasa bangga. “Hanya bisa dilakukan olehku. Oleh satu-satunya mantra yang hanya
kuketahui belaka.”
“Oke. Lalu, apa hasilnya untukku?”
“Dua juta dua ratur ribu rupiah.”
“Hah, sedikit sekali!”
“Rasa benci. Rasa terbesarmu adalah rasa
benci.”
“Oh ya?”
“Rasa benci memang sedikit nilainya. Semakin
lama semakin berceceran stok rasa benci sehingga nilainya pun rendah. Lagipula,
mana ada orang bodoh yang mau menyewa rasa benci? Ada. Tentu. Ada. Yaitu, orang
yang benar-benar bodoh, dungu! Mereka. Haha. Iya. Mereka. Mau-maunya. Hahahaha.
Bodoh benar. Mau menyewa rasa benci,” Si Penjaga tertawa tergelak-gelak kemudian
kembali mengontrol diri―sadar bahwa dirinya telah lepas kendali,
“Kuberitau kau cara agar bisa memperoleh nilai jual tinggi.”
“Bagaimana?”
“Tau demand and supply theory?”
“Tau. Kenapa?”
“Dalam Pegadaian Rasa ini pun berlaku
demand and supply theory. Kau harus menggadaikan
rasa yang paling sedikit dihasilkan. Rasa yang paling susah didapat. Sekaligus rasa
yang paling diperebutkan. Itulah rasa dengan nilai tertinggi.”
“Rasa apa itu?”
“Rasa bahagia.”
Herman sedikit tersentak. Lumayan tersentak.
Dan kemudian sungguh-sungguh tersentak! TAK!
“Kau harus menggadaikan rasa bahagia.”
Si Penjaga melirik ke arah botol-botol
dalam rak kaca hingga menembus ke balik dinding dimana banyak terpampang pajangan
figura yang berisi foto-foto pelanggan dan mantan pelanggan warungnya, “Bibimu juga
pernah menjadi salah satu pelangganku.”
Si Penjaga kembali menyunggingkan sejumput
senyum kecilnya. Si Penjaga Warung Pegadaian Rasa yang sering mengumbar sejumput
senyum kecilnya, kembali menyunggingkan sejumput senyum kecilnya. Khas sekali.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar