Lagi-lagi tulisan mengenai menikah? Ada apa denganmu, Fela? Halo… | Fela: Ga ada apa-apa tuh. Biasa aja, cuma dari dulu penasaran saja dengan pertanyaan judul tulisan ini, “Mengapa menikah itu, IBADAH?” “Mengapa Allah menyukai ibadah berupa pengumbaran nafsu hewaninya?” Untuk menghindari zina gitu? Udah gitu doang alesannya? Dangkal! Itu sih alesan nikah orang karena pingin kawin aja. Makannya ada nikah kontrak. Bisa nih, saya sampe umur 23—23 udah tua ya? Udah makan garam ya? Berasa udah hebat daripada 53 ya? Hidih, dangkal juga kowe Fel!—ini, ga ngapa-ngapain. Itu sih tergantung tingkat ketahanan penahanan nafsunya. Tapi nahannya, nahan banget bo’… Oke kembali ke topik awal. Nilai ibadah dari menikah. Ini yang pertama bikin saya kaget dan sedikit seneng sih ;)), bahkan menyentuh pasangan juga ibadah. Wow enak sekali ya ibadahnya… Saya nyentuh terus dong kalau gitu. Kan ibadah ;p.
Awalnya saya ga bisa terima bahwa Allah Yang Mahasuci menghalalkan dan memberi nilai plus bagi para manusia—yang sudah melalui proses Ijab-Kobul tentu—untuk berlaku seperti binatang, dengan lawan jenis pastinya. MENGAPA? Saya yang masih muda kala itu, saya ga ngerti alesannya. Ya, karena saya memang bego sih, sekarang diri sendiri sudah agak melakukan kegiatan penyerapan ilmu jadilah mengerti sedikit-kit-kit. Tulisan ini juga berusaha mencoba menghubung-hubungkan. Berdasarkan benang-benang ruwet yang ada di kepala saya, akan segera saya uraikan pada paragraf selanjutnya. Jadi ngertinya saya gini nih, menurut pemahaman saya>>>>
***
(1) Anak. Tentu dengan menikah itu akan memunculkan anak juga kan? Yang artinya menambah para manusia yang akan memuja dan memujiNya. —amin untuk mendidik anak yang bener dan jadi anak soleh solihah—. Dengan adanya anak, maka akan me-replace kita sebagai kholifah di bumi ini. Hingga bumi lelah menopang para manusia—ya karena ulah manusia sendiri bumi kecapekan dan Yang Memiliki bumi bisa marah—. Catatan memunculkan anak: Jumlah anak disesuaikan dengan kemampuan juga ya mbro… Kemampuan Lahiriyah dan Rohaniyah.
(2) Menambah kualitas dan kejelasan tajalli Cinta padaNya. Manusia akan bisa mencintaiNya apabila ia telah mengerti, memahami, merasakan, dan menikmati sisi erotisnya cinta itu sendiri. Gampangnya, kenalilah cinta pada sesama manusia itu sendiri. Cinta pada pasangan. Sepertinya sangat nikmat—saya masih muda, jadi belum gitu ngerti senikmat apa itu cinta. Yang saya tau hanya sebatas perut berasa ada kupu-kupunya, berbunga-bunga, dan merindu, atau kalo pas lagi sialnya adalah perut mules dan badan berkeringat dingin karena harus merasakan patah hati (lagi). Oleh karena itu para muda mudi berkepala dua, seperti saya, dianjurkan untuk menikah, karena nikah itu ibadah untuk menuju padaNya. Kok bisa? Ya bisa dong. Nanti saya jelaskan.—
Kata The Guru,
Maulin Ni’am, “cintanya para sufi yang mabuk akan CintaNya, nikmatnya itu seperti orgasme.” Kalau menurut saya sih, bahkan melebihi si orgasme itu. Ya, karena gosipnya para sufi kelak hanya akan
mlengosi surga saja, baginya surga itu kurang menarik. Kurang eksotis. Hanya makanan dan perkawinan saja. Mereka menantikan kenikmatan yang lebih untuk “melihat”-Nya. Kan? Lebih nikmat dari kenikmatan paling nikmat di dunia dan di surga—bahkan Allah pun memberikan
sekotak lahan untuk kegiatan perkawinan di Surga. Amazing! -> Ini beneran saya baru tau dari Maulin Ni’am beberapa minggu lalu dan tambahan dari buku. Benar! Hadiah di surga adalah makanan yang ga akan habis dan perkawinan-perkawinan. Ternyata tujuan bidadari dan bidadara surga itu bukan hanya untuk menyejukkan mata, tetapi juga untuk pemuasan bawah perut.
Oke berhenti membahas tentang cinta para sufi. Terlalu jauh. Tapi cukup jelas kan, dari uraian di atas yang membincangkan perihal nikmatnya bercinta hingga mencinta? Lanjut… Cinta konvensional. Cinta kebanyakan manusia awam. Mengenal cinta untuk mencintaiNya. Mengenal bisa menumbuhkan efek makin cinta untuk mencintaiNya. Jadi, kenikmatan cinta itu ada tingkatannya.
Pertama, kecantikan dan ketampanan wajah sang kekasih. Semakin cantik atau tampan wajah kekasih itu, pasti semakin sempurna kenikmatan memandangnya. (Rindu Tanpa Akhir: Imam Al Ghazali, Serambi)
Kedua, kuatnya rasa cinta dan nafsu asmaranya, Kenikmatan yang dirasakan oleh orang yang mendalam rasa cintanya tidak akan sama dengan kenikmatan yang dirasakan oleh orang yang dangkal cintanya. (Rindu Tanpa Akhir: Imam Al Ghazali, Serambi)
Ketiga? STOP. Karena selanjutnya adalah cinta tingkatan sufi, tidak usah dibahas ya, berat.
Intinya, bahwa peningkatan level cinta itu mempengaruhi peningkatan kenikmatan cinta itu sendiri. Jelas pula, bahwa dengan menikah (halal untuk kawin) akan menumbuhkan peningkatan kualitas cinta pada manusia yang kemudian mengajarkan kita akan nikmatnya bercinta untuk mencinta. 1. Rasa merindu. 2. Rasa cinta yang ‘waauww’ 'brrrrr' atau rasa berbunga-bunga 'cling-cling-cling' (seperti adegan Lintang yang terjatuhi bunga-bunga ketika membeli kapur #film Laskar Pelangi) Melalui itu, Allah mengajarkan manusia untuk mengenal kenikmatan cinta. Yang berakhir pada ajaran untuk mencintaiNya, Sang Pencipta, dari apapun yang indah-indah dan menyebabkan dicintai. Wajar kan mencintai Sang Penciptanya?
Dong maksudku? Nangkep maksudku? Kasarannya gini deh >>> jadi dari kegiatan bercinta itu adalah kegiatan menuju pada Allah. Isi surga saja, makanan dan perkawinan. Sekian.
Capek juga mbahas tentang cinta, bercinta, mencinta. Cinteh! Kesel je. Mikir. Mbulet.
Ada tambahan point nomer 3 setelah nomer 2. Cinta, mungkin? Atau bahkan koreksian?
Hai Tuhan :)