Ini pagi.
Kuhirup udara, kubuka mata.
Perlahan.
Aku suka―Reda. Dan sedikit padam.
Nafasku, tak lagi menghambur jauh.
Kini menjilat tiap jengkal tenggorokan,
hingga lahap si udara berlenggang ke paru,
hingga lahap si udara berlenggang ke paru,
tanpa terengah-engah berat dalam pekat.
Bongkahanmu, mulai melambung dan memburai
hanya sisa secuil.
Hanya!
Dan hanya sisa secuil.
Dua huruf vokal dan tiga konsonan. Cukup.
‘Hujan’, aku sebut nama samaranmu itu.
Jujur, seperempat rasa masih suka,
namun, bersilang sisi, tiga perempat batinku berkata,
bahwa,
Aku ingin misuh hebat.
bahwa,
Aku ingin misuh hebat.
‘Wasyu kamu beib…’
Adalah untaian makian, kupersembahkan untukmu.
Yang mungkin masih terlalu apik.
―Maaf sayang, mungkin begini caraku melupakanmu―
Dulu,
siluetmu yang sedikit bengkok sambil tersenyum lucu,
hingga ujung rambut bertumbuk uban,
aku hafal.
Dan rasamu yang seperti enau, enau itu candu!
Manis namun buat penyakit,
aku hafal.
Enau, kamu! Kamu memang enau!
‘Hujan’
Deras melukai, mehancuri hingga fragile
Mati rasa. Merana. Membekas luka.
Itu, dua minggu lalu dirundung duka.
:::teruntuk mantan kekasihku, mantan suamiku, yang menceraikanku dengan wasyu:::
setelah hujan terbitlah pelangi
BalasHapusho oh. udah ga hujan. tapi berpelangi lagi...
BalasHapussip! habis jelek terbitlah ganteng... hahahhaa
luka membuat kuat.
BalasHapusjelek membuat kesal
ganteng membuat senang...
wakakak...ngomong opo to iki....