Jumat, 30 Januari 2015

KOJI TADANOBU

| Oleh Failasufa Karima An-Nizhamiya
“... Kendaraan terpantau padat merayap di bilangan Ikeboukou Street ke arah Bang Bang Pink Street. Sementara Di Otonokame Street kendaraan berjalan lancar. Sekian laporan lalu lintas oleh Mister Traffic-man 007 dari Yoruba FM.” Laporan lalu lintas radio berirama staccato dengan ketukan satu per delapan birama dan dilatarbelakangi musik yang seolah-olah mengajaknya berlari cepat-cepat menggema dalam studio kerja Koji Tadanobu. Gabungan antara musik dan laporan lalu lintas berketukan pendek dan terburu-buru identik dengan suasana pengap, menghimpit, dan penuh oleh kepulan asap di tengah kota. Tadanobu benci bersentuhan dengan suasana seperti itu. Padahal Tadanobu sendiri sekarang sedang berada di dalamnya namun secara tak langsung ia tak tersentuh dari dunia luar yang morat-marit. Semua dinding ruang kerjanya dilapisi oleh peredam suara kualitas terbaik―tentu saja demi memperoleh ketenangan dalam dunia rekaannya sendiri. Tadanobu sangat bergantung pada keadaan yang berada sesuai pada tempatnya, sesuai pada koordinatnya masing-masing, dan sesuai pada jalur orbitnya. Beruntung selanjutnya Yoruba FM memutarkan lagu “Till Death Do Us Part”-nya White Lion. Memang judulnya terdengar agak melankolis dan mendayu-dayu, sangat bukan Tadanobu. Namun siapa peduli, yang penting musiknya mengalun perlahan. Semut-semut di dinding pun turut berjalan berbaris lagi membuat garis berlenggak-lenggok bak seorang penari. Sepertinya ketegangan otot-otot Tadanobu pun sudah mulai mereda.
Kertas gambar yang sudah berisi panel-panel gambar dan sketsa-sketsa pensil, ia pandangi lekat-lekat. Semenit empat puluh detik ia terdiam tak bergerak—mungkin sempat tak bernafas beberapa detik— lantas diteguknya secangkir kopi dingin di sudut kanan meja, ia letakkan lagi cangkir kopi yang tinggal ampasnya saja, kemudian mematung lagi tak lebih dari semenit. Segera setelah itu diambilnya penghapus dan digosok-gosokkan ke beberapa panel sketsa pensilnya. Lalu ia menggambar lagi di atas panel-panel yang telah menjadi kosong. Proses yang sama pun berulang kembali hingga delapan kali dalam sehari. Pemandangan tersebut sudah menjadi hal lumrah ketika Tadanobu sedang menggarap projek mingguan untuk koran minggu. Sehingga apabila dikalkulasikan, Tadanobu bisa mengulang proses seperti itu dalam seminggu, kurang lebih lima puluh enam kali, dan dalam sebulan bisa lima ratus dua puluh empat kali, dan seterusnya-dan seterusnya. Barangkali Tadanobu akan mati muda. Sesungguhnya Tadanobu menikmati proses pengulangan-pengulangan semacam itu. Dan ia tak akan begitu peduli seumpama ia mati karena hal tersebut, asalkan segalanya berjalan secara semestinya. Karena yang terpenting baginya adalah ke-te-ra-tu-ran.
“Tadanobu!” teriak pemilik warung oden pinggir jalan, “Kemarilah! Merapat ke sini. Mampir dulu, hujan.” Memang hujan tidak begitu deras. Namun hujan rintik-rintik dengan semangkuk oden adalah persekongkolan yang pantas.
Tadanobu sedikit mengangkat dagunya ke arah pemilik warung oden seraya mengangkat tangan kanannya sebagai pengganti kata, “lain waktu saja saya mampir,” seperti itu. Tadanobu melanjutkan perjalanannya.
Ia melewati puluhan tempat makan, satu kantor Japanese Red Cross Society—lucu sekali ada tempat donor darah di antara banyak tempat makan, agak mencolok dan tidak sesuai, dunia yang dipijak Tadanobu terbuncang—, dan satu toko piringan hitam sebelum sampai di Stasiun Danbashi. Jarak yang ditempuh dari studionya ke Stasiun Danbashi adalah sejauh satu setengah kilometer. Akan tetapi Tadanobu dapat memotong jalan menjadi setengahnya apabila ia masuk toko piringan hitam “Beside You” lantas keluar melalui pintu belakangnya. Dari pintu belakang Toko “Beside You” pintu itu bisa langsung tembus sampai ke jalan utama menuju Stasiun Danbashi. Untuk dapat menembus toko tersebut, Tadanobu perlu usaha ekstra—semacam tiket masuk tak tertulis. Ia rela merogoh koceknya demi mengurangi jumlah ketidakteraturan yang akan ia dapatkan apabila ia berjalan di rute normalnya ke Stasiun Danbashi. Ia menjadi rajin membeli piringan hitam sebulan sekali. Ia juga membeli turntable bekas di toko tersebut. Beruntung pula bagi Tadanobu selain karena toko itu tidak terlalu ramai pembeli juga karena penjaga toko “Beside You” adalah seorang wanita yang ramah dan menyenangkan. Wajahnya tidak cantik juga tidak jelek, tetapi cukup mengesankan dan menarik. Dagunya hampir menyatu dengan lehernya, seperti tidak ada garis batas yang jelas antara dagu dan leher, tetapi bukan tipe leher yang bertumpuk karena lemak. Kepalanya mungil. Bentuk mukanya seperti kacang kenari. Rambut hitam lurus sebahu dengan poni pendek yang jatuh secara alami. Alisnya lurus tetapi cukup tebal untuk seorang wanita. Jarak antara kedua matanya terkesan agak terlalu jauh padahal semisal diukur dengan penggaris sepertinya masih terhitung dalam jarak yang semestinya. Diluar semua ketidaksinkronan bentuk, ukuran, dan proporsi wajahnya, matanya bening dan memiliki sorot ketenangan yang tak tergoyahkan. Ia juga tergolong wanita yang berdedikasi tinggi pada pekerjaannya. Ia masih tetap hangat dan informatif walaupun melayani para pengunjung yang sekedar mampir untuk menggodanya. Ia sering mengajak ngobrol para pelanggannya tak terkecuali Tadanobu. “Selamat datang Tuan Tadanobu, bagaimana hari Anda petang ini?” adalah sapaan khas si wanita kepada Tadanobu. Tadanobu tidak menjawab. Walaupun begitu, sering si wanita mengutarakan gagasannya seketika itu juga kepada Tadanobu, “Potongan rambut Anda agak sedikit berbeda. Menjadi terlihat lebih segar.” Tadanobu diam saja. Akan tetapi jika si wanita penjaga toko beruntung, Tadanobu akan membalas dengan senyum singkat saja. Tadanobu tergolong tipe orang yang bergerak berdasarkan kepentingannya belaka. Ia cuma akan menanyakan tentang piringan-piringan hitam dan aksesoris turntable saja.
Akan tetapi kali ini Tadanobu tak melihat sosok si wanita tersebut manakala menembus Toko “Beside You”. Secara tidak sadar, Tadanobu sekonyong-konyong memiringkan kepalanya ke kiri sedikit. Suasana menjadi sunyi seketika tanpa racauan berbagai macam bunyi yang bercampur aduk. Tak ada suara yang masuk ke gendang telinganya sekitar dua puluh tiga detik. Posisi kepalanya masih tetap miring sampai gendang telinganya dapat menangkap gelombang suara lagi. Aneh. Harusnya saat ini juga si wanita masih dalam jadwal shift menjaga toko. Tidak biasanya. Mungkin sakit, pikirnya. Atau ada keperluan, pikirnya lagi. Tanpa bertanya tentang si wanita murah senyum kepada penjaga toko penggantinya, Tadanobu melanjutkan  menembus Toko “Beside You” sambil mengucapkan terima kasih. Terima kasih karena telah mengijinkannya lewat. Si penjaga pengganti membalas senyuman Tadanobu dengan dengusan pendek.

Pagi berikutnya di studio, Tadanobu masih berkutat dengan gambar-gambar komiknya. Masih seperti hari sebelumnya, masih di tahap sketsa dengan pensil dan penghapus, masih sama seperti kemarin. Dalam seminggu Tadanobu lebih suka mengerjakan dua sampai tiga episode sekaligus―memadatkan jadwal agar Tadanobu dapat mengambil cuti beberapa hari―dengan satu kali kunjungan rutin ke editor tiap Kamis sore untuk menyerahkan naskahnya. Hari ini Senin sore. Selasa dan Rabu untuk tahap inking, rendering, lanjut editing di komputer hingga Kamis siang.
Studio Tadanobu berdiri tiga tahun lalu, sejak saat itu ia tinggal di dalam studionya sendiri agar lebih banyak waktu yang ia hemat. Lebih baik waktunya diefektifkan untuk tidur daripada habis di jalan. Akan tetapi setahun terakhir ini Tadanobu hampir harus selalu pulang ke rumah ibunya di Fujitaro karena sesuatu hal. Tadanobu merasa mual jika mengingat harus bergulat dengan kenyataan.
Seumpama bisa terus melanjutkan hidup tanpa keluar studio, maka Tadanobu dengan senang hati akan melakukannya. Prinsip hidup Tadanobu adalah berdasarkan kesesuaian, keseimbangan, keteraturan, dan rutinitas. Tadanobu akan terus memperjuangkan pola hidupnya yang seperti itu. Sungguh sayang, pada kenyataannya hidup Tadanobu tidak akan pernah semudah  itu. Ia tidak bisa selamanya tidak keluar selangkah pun dari studionya―dunia kecil yang bisa ia atur semaunya agar seusuai dengan prinsip hidupnya. Apabila orang-orang atau rekan membutuhkannya, silakan saja datang ke rumah studionya. Ia tidak akan pernah bisa menerapkan aturan seperti itu. Ia tetap harus keluar dari “rumah”-nya. Yang artinya keluar “rumah” adalah memperbanyak kemungkinan segala bentuk ketidaksinkronan bersentuhan langsung dengan dirinya dan tentu saja hal tersebut akan mampu melimbungkannya sedikit demi sedikit. Ia tetap harus keluar studio untuk bertemu editornya seminggu sekali, belanja bahan makanan seminggu sekali―kemudian menumpuknya di kulkas sebanyak mungkin terutama makanan kalengan dan siap saji―, ditambah dengan fakta bahwa sekarang ia harus melalui lautan manusia sehari dua kali untuk pulang pergi dari studio ke rumah ibunya. Ia membenci keramaian manusia tetapi sekaligus tidak bisa mengacuhkan para manusia yang telah berusaha beramah tamah dengannya―karena prinsip keseimbangannya itu, aksi sama dengan reaksi, harus seperti itu. Tadanobu akan membalas mereka sekenanya. Kadang bertegur sapa sedikit, tersenyum sepantasnya sedikit, dan melambai sedikit. Tadanobu merasa kram pada perutnya.
Rasa Senin sore hari ini masih sama seperti rasa Minggu sore kemarin. Tidak ada yang berubah. Pekerjaan masih sejumlah pekerjaan kemarin, tak ada kemajuan yang signifikan. Sore hari hujan rintik-rintik masih sama dengan hujan rintik-ritik kemarin―mungkin jumlah dan kecepatan tetesannya juga masih sama persis dengan jumlah dan kecepatan tetesan hujan Minggu sore kemarin. Sepertinya dunia masih berputar pada tempatnya. Dunia tampak indah dalam sekejap. Dan tentu saja keramaiannya masih sama seperti Minggu sore kemarin. Mungkin hanya akan bertambah jumlah orang yang membawa payung dibandingkan hari kemarin―dunia Tadanobu oleng walau sedikit. Pemilik warung oden Eita-san juga masih menyapa seperti kemarin, “Tadanobu! Kemarilah! Merapat ke sini. Mampir dulu, hujan.” Tadanobu juga masih mengulang lambaian tangan kepada pemilik warung oden sebagai tanda “lain waktu saja saya mampir”. Ketiadaan si wanita penjaga toko pun masih sama mengagetkannya seperti kemarin. Dunia kembali tampak indah seketika. Sampai-sampai Tadanobu tidak sadar bahwa si wanita yang tak cantik dan tak jelek tetapi menarik sudah berhenti kerja sejak sepuluh hari yang lalu. Dunia memang berjalan seperti yang seharusnya. Tidak ada pergeseran sedikitpun. Seperti inilah dunia yang sempurna―bagi Tadanobu. Bisa jadi Tadanobu akan mulai tersadar tentang ketidakberadaan si wanita, andaikata si pejaga pengganti telah menegur Tadanobu. Dan benar! Si penjaga pengganti menegur Tadanobu setelah enam kali berturut-turut Koji Tadanobu seenaknya keluar masuk pintu belakang Toko “Beside You”. Lantas Tadanobu berangsur-angsur mulai sadar tentang ketiadaan si wanita mantan penjaga Toko “Beside You”.
“Kemana perginya wanita penjaga toko sebelummu?” tanya Tadanobu kepada si penjaga pengganti dengan nada datar. Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya tanpa perlu melalui portal pusat kesadarannya.
“Ia berkata kepadaku bahwa ia telah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dengan penghasilan yang lebih baik pula,” jawab si penjaga pengganti ketus.
“Dimana?” tanya Tadanobu lagi.
“Ia tidak memberitahukan detailnya kepadaku.” Percakapan berhenti sampai di situ.
Keduanya secepat mungkin memalingkan muka. Si penjaga pengganti kembali bertugas sebagai si penjaga toko di balik meja kasir seraya sibuk memainkan pena entah menulis apa. Sedangkan Tadanobu berjalan menjauhi pintu belakang tempat ia biasa memotong jalan.
Selagi Tadanobu akan membuka pintu ke arah luar, ia berbalik menghadap si penjaga pengganti dan bertanya, “Siapa namanya?”
“Siapa yang mana?” Si penjaga pengganti mendongak sedikit dan balik bertanya.
“Si wanita penjaga toko sebelummu.”
“Aku tak tahu,” jawab si penjaga pengganti singkat.
“Sama,” jawab si Tadanobu lebih singkat.
Aku akan membungkus oden untuk ibu, batin Tadanobu. Tadanobu menutup pintu toko dan berbalik mampir ke warung oden. Dunianya mulai oleng.
“Apakah Tadanobu-san tidak tau kalau wanita penjaga toko yang biasanya Tadanobu-san tembus itu sudah tidak bekerja di situ?” tanya pemilik warung oden.
Tadanobu menggeleng.
“Aneh,” kata kata si pemilik warung.
Tadanobu menatap lawan bicaranya dengan pandangan tidak mengerti. Ia pun tak mengerti bagaimana orang-orang ini dapat mengetahui namanya.  Koji Tadanobu. Padahal sedikit pun ia tidak pernah ingat kapan ia memperkenalkan diri kepada mereka sebagai Tadanobu. Namun Tadanobu membiarkan pertanyaan itu terus menggema di kepalanya tanpa perlu jawaban, mungkin jawabannya “yasudah begitu saja, terjadilah saja”, seperti itu saja. Tadanobu hanya mampu mengerti bahwa wajar saja jika ia tidak mengetahui nama mereka satu persatu karena memang begitu adanya, ia tidak pernah berkenalan satu persatu dengan mereka―kendatipun ia bertemu dengan mereka setiap hari. Tetapi ia merasa ada sesuatu yang salah andaikata seseorang mengetahui namanya sedangkan ia sendiri tidak tahu nama orang tersebut. Walaupun Tadanobu orang yang seenaknya, Ia merasa ada ketidakserasian atas hal tersebut. Hukum aksi-reaksi sepertinya tidak berjalan secara semestinya. Dan itu mengganggu kesadarannya. Dunia Oleng, begitu Tadanobu menyebutnya.
Sekadar kebetulan saja, Tadanobu tahu nama si pemilik warung oden dari nama warungnya “Warung Oden Eita-san”, yang artinya si pemilik bernama Eita. Secara kebetulan pula Tadanobu mengetahui nama lelaki pemilik warung sake kecil persis di seberang studionya―yang entah darimana lelaki itu juga tahu nama Koji Tadanobu―, dari papan nama warungnya. Jadi kami impas, begitulah menurut hukum Tadanobu, besar aksi harus sama dengan besar reaksi. Tadanobu tidak pernah terlalu berusaha untuk menemukan nama seseorang yang juga mengetahui nama Tadanobu. Semuanya sekadar berdasarkan kebetulan-kebetulan belaka. Hanya pada satu kasus ini saja, yaitu si wanita yang tak cantik juga tak jelek ini, Tadanobu tak kunjung menemukan kebetulan itu hingga ia membiarkan saja ketimpangan itu berlalu begitu lama. Barangkali Tadanobu merasa aman karena berpikiran bahwa wanita itu tidak akan pernah pergi kemana-mana. Atau mungkin saja karena pembawaan wanita itu memancarkan ketenangan yang mendalam―bahkan ketika ia bersuara pun, terkesan seakan-akan ia adalah automatic machine―sehingga kadang keberadaan wanita itu sendiri malah menjadi tidak kentara. Entah itu keberuntungan atau malah petaka. Dan sekarang wanita itu menghilang entah kemana. Tadanobu harus mencarinya. Tadanobu harus mengetahui namanya, entah dengan cara apa. Dunia Tadanobu seakan-akan bergeser keluar jalur.
“Sepertinya sudah seminggu lebih wanita itu tidak bekerja lagi di Toko Piringan Hitam ‘Beside You’ sedangkan Tadanobu-san setiap hari masuk ke toko itu dan baru sekarang Tadanobu-san sadar kalau wanita penjaga toko itu sudah tak pernah muncul lagi. Agak ganjil rasanya, Tadanobu-san.” Suara Eita si pemilik warung oden sayup-sayup terdengar seperti baru saja datang dari tempat yang jauh.
“Eita-san, apakah Eita-san tau nama wanita itu?” tanya Tadanobu kembali menduduki kesadarannya lagi.
“Sama sekali tidak, Tadanobu-san,” jawab Eita seraya memasukkan oden ke kantong plastik untuk ibu Tadanobu.
Tadanobu mengucapkan terima kasih atas odennya dan pulang dengan agak limbung. Dalam perjalanan ia memikirkan apakah sebaiknya ia bertanya lagi pada si penjaga pengganti itu. Akan tetapi ia juga tahu bahwa ia tak akan semudah itu mendapatkan nama si wanita dari si penjaga pengganti walaupun ia meminta bertemu dengan pemilik tokonya. Maka Tadanobu terus memikirkan cara-cara lain. Ia ingin segera meletakkan segala sesuatu kembali berada di tempatnya masing-masing.
Sepuluh hari berlalu. Petang hari, hujan masih rintik seperti petang-petang sebelumnya. Walaupun ia masih terbebani dengan usaha pencarian nama si  wanita penjaga toko, hari-hari Tadanobu masih berjalan seperti semestinya. Memandang-mandangi kertas gambar, menyeketsa, menghapus sketsa, menyeketsa lagi, setiap petang pulang ke rumah ibunya, paginya pergi lagi ke studio di tengah Kota Danbashi. Dan tetap memotong jalan dengan menembus Toko “Beside You” juga tetap membeli piringan hitam sebulan sekali. Tadanobu tidak pernah mengeluh dan bosan dengan rutinitasnya itu.
Sebulan, dua bulan, tiga bulan, masih juga sama seperti hari-hari, minggu-minggu, dan bulan-bulan sebelumnya. Tak ada perubahan yang terlalu kentara. Hanya saja hujan sudah bosan turun rintik-rintik. Hujan menjadi deras dengan titik-titik hujannya yang bulat besar-besar. Juga belum ada kemajuan yang berarti mengenai pencarian nama wanita itu. Dunia Tadanobu masih oleng, walau sudah tidak terlampau oleng seperti tiga bulan yang lalu.
Tadanobu ingin sejam dua jam tidak memikirkan nama wanita itu. Nama yang bahkan ia tidak tahu bagaimana ia harus menuliskannya, dan sekeras apapun memikirkan cara menemukan nama wanita itu, ia tak kunjung sampai pada ujung pangkalnya. Rasa-rasanya persoalan nama itu mengambang di tengah laut yang tenang. Maka ia pergi menonton bioskop. Film 1990 sedang diputar di bioskop. 1990 dimainkan oleh Robert De Niro dan Gerard Depardieu. Film yang cukup panjang. Dalam 317 menit Tadanobu telah berhasil tidak berpikir apa-apa kecuali film yang mengambil setting di banyak negara Eropa. Lumayan, berjalan-jalan virtual dan memanjakan mata tanpa terganggu oleh hiruk-pikuk sekitar karena semua orang duduk manis di tempat duduk masing-masing, pikir Tadanobu.
Tadanobu keluar ruang studio bioskop paling akhir. Membaca sampai habis nama-nama pemain dan orang-orang di balik layar. Iklan pun ia baca hingga tak tersisa. Selepas berdiri dari kursinya, ia mendongak ke kursi depannya yang telah kosong. Dompet wanita berbahan kulit berwarna hitam tertinggal di kursi depannya. Ia membuka dan melihat apa isi dompet tersebut, tentu saja ada sejumlah uang di dalamnya. Lantas ia membuka bagian kartu identitas pemilik dompet tersebut. Ia menemukan bahwa foto di kartu identitasnya adalah foto wanita yang sudah lama dicarinya. Tulisan “Mayumi Shouta” tertera di sebelah fotonya. Ia merasakan sensasi mati rasa sejenak di tubuhnya. Ia mengulang lagi membaca nama di kartu identitas tersebut seraya melafalkan nama itu pelan. Mayumi Shouta.
Bagaikan dihembus angin laut, rongga perut Tadanobu berdersir malu-malu. Tangannya mati rasa dan tubuhnya membatu perlahan. Seketika itu juga, sosok wanita itu lambat-lambat muncul di hadapannya mulai dari ujung kaki, pinggang, perut, dada, tangan, leher, hingga kepala. Menyembul dari tanah menyeruak ke atas bak bangunan tinggi yang dibangun dari kaki pondasi hingga bagian atap gedung yang dipercantik dengan parabola di atasnya. Bangunan yang dibangun secara runut, cermat, juga cepat oleh makhluk ajaib kemudian dalam sekejap bangunan itu menjadi utuh, tinggi, kokoh, dan anggun serta sedap dipandang. Mayumi Shouta muncul mengenakan sepatu pantofel hitam mengkilat, rok selutut berlayer-layer dari bahan sifon ungu, kemeja katun putih dengan setelan jas warna abu-abu kebiruan,  dan topi mungil yang warnanya senada dengan warna rok sifonnya turut mempermanis penampilannya. Warna rambutnya diubah menjadi burgundi. Namun tatanan rambutnya masih sama, lurus sebahu dengan poni yang jatuh alami di atas alis. Matanya juga masih bening mempesona. Bening yang sangat bening hingga tak akan ada yang tega mengoyak-ngoyaknya. Tanpa sempat ditakjubi berlama-lama, lantas si wanita bersuara.
“Kenichi-kun?” tanya wanita dengan suara yang masih sama seperti yang ia kenal dulu, suara yang membawa angin ketenangan mendalam dan tak tergoyahkan seakan-akan ia adalah automatic machine.
Berbalik arah. Kini giliran Tadanobu yang menghilang perlahan. Menipis kemudian lenyap seketika bak debu yang membuar meledak. Tadanobu masuk ke dalam dunia ketiadaan.


SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar