Minggu, 22 April 2012

Badai Online [1]



Curhat: Rasanya, di kepalaku sedang terjadi hujan badai kata-kata yang pada akhirnya diperlukan peledakkan secara dahsyat! Mungkin sudah ada kilat-kilat ‘ctar-ctar’ di kepalaku yang saat ini pun perlu dibuka gerbang pintu keluarnya—tentu untuk mengeluarkan mereka—, si badai kata-kata. Dan, jadilah ini! Sampah otak yang apabila disimpan akan meracuniku, sedikit-sedikit akan menggerogoti kesadaranku sampai mampus. Dan 1, 2, 3! Haaaaaaaaakkkk! Jrooooottt! *Saya rindu tahu gejrot* 
 
Jadi begini, sudah semingguan saya lari maraton dengan sedikit istirahat. Maraton membaca seri-seri Supernova-nya mbak Dee. Mulai dari (1)Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, (2)Akar, dan (3)Petir. *Uhuk, saya belom membeli partikel lho… Mungkin weekend ini akan beli Partikel—kalau masih dapet bukunya juga. Terus terang, ini adalah pengalaman pertama saya membaca Supernova. Bisa ditebak, saya jatuh cinta pada, Supernova. Membaca Supernova itu, seperti menelan sesuatu yang manis, asam, asin, kecut, pahit, *halah, nano-nano kecemplung sayur pare*, lalu ingin mengeluarkannya ke dalam bentuk lain—tulisan, versiku. Terdorong keluar karena, Supernova. Bermula dari loncatan-loncatan pikiran ingin keluar karena mengenal Elektra—Elektra’ atau Etra—, si Manusia Millenium, asosial, penggila internet, adalah tokoh dalam Supernova-Petir. Bagi yang belum baca, cari aja di google*perpustakaan online, eh?

Oke, mari kita mulai pembahasan ini. Mengenai fenomena badai online. Apa itu badai online? Dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, ba·dai (kata benda) angin kencang yang menyertai cuaca buruk (yang datang dengan tiba-tiba) berkecepatan sekitar 64—72 knot;  online adalah terkoneksi dengan jaringan internet. Yah jika digabungkan akan menjadi suatu kalimat yang sangat buruk pengartiannya, yaitu angin kencang yang melanda jaringan internet. 


Teknologi vs Anti-Sosial

Dulu-sekarang, manusia-manusia pintar, jenius, cerdas selalu menciptakan temuan-temuan baru lalu berlanjut dengan teknologi maju. Yang mana teknologi—tidak usah ditanya— memudahkan pola pergerakan manusia, dari manusia yang memang ingin butuh dan perlu uptodate—karena ada beberapa minoritas kaum pedalaman yang benar-benar tidak mau menerima teknologi baru—sampai manusia-manusia latah teknologi. Misal gini, ibu-ibu yang bahkan beraknya duit, latah pakai smartphone, padahal ga mudeng cara pakainya. Yang pada akhirnya suka mejeng sana sini minta tolong dijepretin orang-orang sekitarnya, “Mbak, minta tolong dong ini kalau mau moto gimana ya? Sekalian jepretin ya. Makasih.”
  

Kemampuan manusia dan tekonologi senantiasa berubah, berjalan lurus bergandengan. Atau lebih tepatnya saling beradaptasi. Atau, mungkin manusia yang beradaptasi dengan teknologi? Sebelum adanya warnet, manusia Indonesia jarang ada yang kenal dengan sahabat kita sekarang, internet. Seiring dengan pergerakan waktu dan pengenalan internet kemana-mana, lalu munculah bisnis warnet, laptop berfasilitas koneksi wifi, bergerak lagi bisnis café atau resto berwifi, modem, makin lama makin mengecil dan makin intim ruang lingkupnya, yaitu modem yang dipadu dengan handphone yaitu smartphone. Tadaaa! Lengkap sudah. Oh ya, lupa tablet, netbook versi mini. Makin kecil kan? Makin mudah dibawa kemana-mana. Lama-lama otak juga akan diikut sertakan sebagai alat berinternet ria. Otak langsung terkoneksi dengan internet!


Lama-lama pula, saya dan para perantau lain tak perlu pulang kampung untuk dapat bertemu dengan emak dan babe. Cukup pencet tombol klik, HOLOGRAM mister! Hologram yang mungkin juga bisa dilengkapi dengan efek 4 dimensi? Yang sampe mengocok-ngocok tangan dan keplak-keplak pundak bisa saling kerasa. Atau mungkin kenikmatan intim pun, bisa dijamah oleh mister atau nyonya hologram. *uhuk* Misal gini ya, Suami Istri LDR, satu di Kanada-satu di Papua, nah kan mereka pasangan setia yang sedang dirindu asmara, dan butuh acara gegulingan di kasur, tinggal klik on pada hologram dan efek 4 dimensinya. Jadi kan—tapi kurang nikmat. And somehow, kapan punya anaknya, mas mbak??? Dan akhirnya, masa hologram pun menjadi basi, berganti avatar. Oh dunia.


Oke, banyangan masa depan di atas, terlalu jauh dan tinggi. Mari sekarang menoleh ke kanan-kiri-belakang-atas-dan tatap ke depan. Apa yang terjadi dengan duniamu sekarang? Yang dipenuhi oleh virus-virus online? Orang di sebelahmu—ketika naik KRL—lebih memilih terkekeh-kekeh dengan smartphonenya daripada membantu seorang nenek yang tergopoh-gopoh menggendong cucunya, untuk mencari posisi pewe di KRL. “Nek, duduk dong, di sini.” Atau betapa pilunya, jikalau anak yang kamu—anggap saja kamu itu ibu-ibu—ajak bicara dengan serius, hanya memperhatikanmu sepertiga, karena si anak sibuk dengan online-nya? Oh God! Dan bejibun kasus lain yang tidak bisa dituliskan di sini satu-satu. Capek. 


Bahkan, iklan-iklan provider sekarang makin terbuka untuk menggembar-gemborkan bahwa galau bisa selesai dengan pemfasilitasan sms-sms tak terbatas, chatting sampai jari-jari pritil, fb, twitter, dan jejaring sosial lainnya yang mendekatkan kita pada tuhan online. Yah, itu sasarannya ABG. Berbeda dengan yang seumuran saya ini, 24 tahun—aduh, saya senang sekali ya menuliskan umur saya 24 tahun padahal aslinya adalah hasil pembulatan dari 23,5 tahun, biar terkesan wanita dewasa. Ahak—, pendekatan online itu didapat karena keadaan. Wanita metropolitan*hakcuih*, kantoran, Jakarta, yang berurusan hampir-hampir semuanya menggunakan laptop—tak dipungkiri pula, bahwa saya pun mencintai internet :’) * Aduh, pengakuan pahit tak terelakkan. Namun tak segila Etra.


Teman nyata (Yogyakarta), karena keadaan, menjadi teman cyber (Yogyakarta-Jakarta). Yeah, salah satunya Nadia—tentunya dia penggemar online pula, sekarang menjadi teman cyber setiaku secara tak tertulis. Dan teman nyata (Jakarta) sekarang ini, nyaris tak ada yang sesampah dan semenampung sampah bak Nadia, Pap Ni’am, Ara, uhuk dan Amanatia Jundeh, lalu teman yang rajin terbit-tenggelam seperti matahari di online maupun offline (Yogyakarta). Benar saja, dunia-ku terbalik. Otak dan pikiranku di online—pingin punya online shop, pingin nulis buku yang kudu rajin mantengin update-an berita, cerita, dan kata-kata—, sedangkan ragaku, kulit diriku, ada di sini, Jakarta—tapi bukan berarti saya kehilangan hati dimana raga berlabuh lho. Teknologi itu, mematikan ya? Keberadaan nyata dan tak nyata menjadi terbalik. Kok saya agak tidak menyukai keadaan otak dan raga terpisah-pisah ya? Oh semoga otak dan raga cepat kembali bertemu pada satu badan utuh. Adakah yang mengalami syndrome seperti ini, selain saya? Mungkin ada baiknya, memberi kesempatan otak, pikiran, dan raga bertemu dalam satu waktu. Mematikan apa-apa yang berhubungan dengan online dalam waktu yang ditentukan dan disepakati. 


Badai online. Badai online yang kadang bisa menimbulkan kasus ‘genjreng-genjreng kelopak bunga warna pink berjatuhan, kupu-kupu berdesiran di perut seperti lagu tentang Aling’, yeah cyber love. Ada lho… Dan saya, sedang mengamati. Bagaimana cinteh onlineh bisa menjadi nyata atau hanya ilusi? :) Berikutnya, saya akan membahas mengenai Badai Online [2] Cyber Love. “Cinta itu hanya sejauh klik tapi ia mengendarai komidi putar”-Kissing Frog di Cyber Space.

Meg Ryan di You've Got Mail. Cantik ya?

3 komentar:

  1. Dari panjangnya tulisanmu...

    Yang tak inget cuma bagian hologram antara papua dan kanada, imaji di otak lansung terbang melesat ndak karu-karuan :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. hubungan dengan posting dan otak sekeping?

      apakah seperti sekeping mata uang, yang sisi satunya tak dapat melihat sisi yang lain?

      Hapus