Kamis, 24 Januari 2013

Pegadaian Rasa


Oleh Failasufa Karima An-Nizhamiya


Dua siluet berjalan ke arah senja yang sedang berkubang tak terlalu apik. Setengah kuning telortelor asin matangbersandar di depan selapis langit senja warna wortel pucat. Penggambaran yang tak begitu cantiklangit senja wortel pucat, terlalu pejal, dan ditaburi sedikit panorama. Perahu-perahu lawas para nelayan. Wanita cantik bergaun pantai yang sedang mengais-ngais pasir pantai dengan hebatnya. Sejoli anjing golden yang sedang berjalan-jalan di pantai―yang sepertinya berencana akan mengejar kerumunan gadis-gadis yang sedang berlomba saling meninggikan suara. Dan beberapa mobil nekat parkir dekat bibir pantai. Kabarnya, dahulu kala pantai bersenja wortel pucat yang dahulu wortel segar ini selalu ramai didatangi pelancong. Pelancong luar kota dari belahan bumi lain khusus datang untuk mengunjungi pantai ini, Pantai Inyung. Dan dua siluet itu tetap memandang lurus ke depan. Seolah-olah lukisan alam dengan penggambaran gagal yang tak begitu cantik menyedot utuh semua perhatiannya, menjadi point of interestmungkin karena Pantai Inyung masih meninggalkan sisa-sisa masa kejayaanya. Siluet itu bagaikan dua onggok mayat hidup yang berjalan lurus tanpa sekalipun menampakkan sebelah sisi wajah satu sama lain. Tak menampakkan lekuk hidung mancung atau pesek, lekuk bibir penuh berisi atau tipis, lekuk dagu lancip ke depan atau tumpul ke dalam. Angin berhembus. Kelengangan pun pecah. Siluet yang lebih pendek tiga belas centimeter, menoleh. Lantas bersuara.
“Bibi, kau akan membawa kita kemana?” kata Herman.
“Ke sana.” Bibi menunjuk ke arah bangunan era post-modern beratap stainless steel dengan karat disana-sini namun masih nampak kokoh merajai area pantai di bawah batu karang paling besar. Warung Pegadaian Rasa dilihatnya dari tempat mereka berdiri. Bangunan tua itu masih tampak sekecil kepalan tangan.


-o-


“Selamat pagi teman,” sapa penjaga sekaligus pemilik Warung Pegadaian Rasa ramah, dengan sedikit membungkukkan badan. Ia langsung menembakkan mata pada sosok Herman lantas melirik tipis ke arah Bibi Jessie lalu menfokuskan diri lagi pada Herman seraya menyunggingkan senyum kecilnya, “Kau punya rasa apa nak, yang bisa kau gadaikan untukku?”
“Kata bibiku, kau bisa menerima semua rasa di pegadaian ini. Dengan demikian aku akan memperoleh uang dari rasa yang telah kugadaikan nantinya. Kau tau, aku tak punya uang sama sekali, maka taksirlah rasaku dengan harga semaksimal mungkin.”
“Mari kuperiksa rasa terbesar apa yang kau miliki, yang tentu saja bisa kau gadaikan di sini. Kemarilah, masuklah ke dalam, kau akan kufoto terlebih dahulu.”
“Untuk apa kau foto aku?” tanya Herman menyelidik tajam dan sinis.
“Hanya untuk dokumentasi. Siapa saja calon pelanggan setiaku.” Si Penjaga membalas ramah dan tersenyum.
“Bah! Dokumentasi,” Herman mencibir pelan lalu berjalan masuk mengikuti Si Penjaga. Bibi Jessie menunggu di luar. Menikmati hembusan angin senja.
“Pegadaian Rasa ini hanya bisa menerima rasa terbanyak dari tubuhmu. Kami akan mengambil rasa-rasa itu dan memasukkannya ke dalam botol ini,” ujar Si Penjaga seraya menunjuk botol bening kosong yang berada di atas rak, dalam ruang pas fotonya. “Mengapa bibimu tidak ikut masuk ke dalam saja? Sekalian menggadaikan rasa. Lumayan, buat tambah-tambah uang. Bukankah kalian orang yang sekarang sama-sama sekarat?”
“Sudahlah. Kau diam saja. Terserah bibiku mau masuk atau tidak, tak ada urusannya denganmu,” Herman menimpali. “Lalu apa yang akan terjadi denganku setelah kau mengambil rasa terbanyak dalam tubuhku? Aku tak akan mati, kan? Setidaknya aku tak akan sakit atau sekarat. Apabila kejadiannya akan seperti itu, sama dengan bohong belaka. Lebih baik aku hidup melarat daripada hidup sekarat.” Lantas Herman memutar bola matanya mengelilingi ruang pas foto, “Kau macam seorang penipu. Lihat saja bangunan ini reyot dari luar dan di dalamnya kulihat penuh perabot model baru disana-sini. Bahkan kau memiliki kursi goyang terbang. Sialan. Kau dapat darimana?”
“Beberapa pelangganku adalah orang terhormat yang gemar memberi hadiah. Mereka amat bahagia dengan memberi hadiah. Bukankah cara orang untuk memperoleh rasa bahagia itu bermacam-macam? Termasuk kau. Mungkin kau akan sedikit bahagia jika sedikit beruang untuk saat ini?”
“Oke-oke. Sudah. Sudah. Sudahkan saja ceramahmu. Aku sudah hafal ceramah seperti itu.” Matanya sekonyong-konyong tampak beringas. Beringas beberapa detik, kemudian redam seketika. Matanya kembali memandang lekat pada jajaran botol-botol kecil yang terbuat dari kaca bening dalam rak kaca. “Ngomong-ngomong apakah botol-botol aneh ini juga termasuk hadiah dari salah satu pelangganmu? Ruangan ini jadi mirip dengan kamar seorang pembuat parfum. Banyak botol warna-warni dengan bau wangi tipis, dan...,” Herman buru-buru menutup hidung, “Bau! Busuk! Uh. Untuk apa botol-botol konyol ini kau simpan di sini?”
“Kusewakan.”
“Pertanyaannya adalah, ada yang mau menyewa botol yang sungguh-sungguh konyol ini?” Herman menunjuk botol yang berbau menyengat. “Baunya seperti telur busuk.”
“Oh... Untuk botol berbau telur busuk yang kau maksud itu, ada beberapa orang terlalu kaya yang tak tahu cara menghabiskan uangnya. Iya. Orang macam merekalah para penyewa barang daganganku ini,” Si Penjaga membuka buku kecil dari dalam sakunya, kemudian menuliskan sedikit tulisan saja, “Kau hanya perlu meminjamkan rasa yang akan kau gadaikan ini dan kau memperoleh uang. Prinsipnya hampir sama seperti pegadaian pada umumnya. Kau menaruh barang dipegadaianuntuk kusewakan tentu, karena pekerjaanku adalah memutar uang dan jasakau memperoleh uang pinjaman dan kau tak akan bertemu rasamu itu dalam waktu kelipatan sebulan sesuai waktu kesepakatan nanti. Dan kau juga tak perlu mengembalikan pinjamanmu 100%, cukup 50% saja. Tetapi jika kau melebihi waktu kesepakatan, kau hanya butuh membayar administrasinya saja. Semudah itu.”
“Berapa biaya administrasinya perbulan?”
“Cukup tujuh ratus ribu saja.”
“Dan?”
“Apa?”
“Oh Tuhan! Aku benci harus mengulang kembali pertanyaanku. Kau belum menjelaskan apa yang akan terjadi padaku jika aku menggadaikan rasa itu?”
“Oh... Tak akan terjadi apa-apa. Kau tak akan mati dan tak akan sakit jiwa. Kau akan baik-baik saja. Kau akan sehat-sehat saja. Kau hanya akan merasakan rasa yang telah kaugadaikan itu sudah berkurang. Ingat, hanya berkurang selama masa perjanjiannya. Sama konsepnya seperti pegadaian pada umumnya. Kau hanya meminjamkan saja dan akan memperolehnya kembali sesuai masanya. Dan kau masih tetap akan bisa memproduksi rasa apa pun yang kauinginkan dalam dirimu. Mudah. Benar-benar mudah.”
“Oke. Aku mengerti. Seperti cara menggadaikan emas, bukan? Aku hanya tak akan memiliki emas itu dalam beberapa waktu, sebagai gantinya aku akan memperoleh uang pinjaman. Dan selama masa itu, aku bebas membeli emas lagi. Dan emas yang kugadaikan bisa kuperoleh kembali setelah kukembalikan uang pinjamannya. Dan emas yang kumilki jadi bertambah setelah semuanya kembali ke tanganku. Emas yang pernah kugadaikan ditambah emas yang baru saja kudapat lagi selama masa penggadaian emasku sebelumnya. Jadi ada X+Y emas. Emas lama dan emas baru. Benar begitu?”
“Anak pintar.”
“Satu pertanyaan lagi, apakah rasa yang kugadaikan jika telah kembali lagi padaku, ia bisa menguap? Menghilang?”
“Seperti emas juga. Emas bisa kau simpan juga bisa kau hilangkan. Berlaku juga untuk rasa. Rasa bisa terus kau simpan kemudian kembali kau gadaikan lagi kepadaku atau bisa langsung kau hilangkan saja. Terserah.”
“Oh. Oke. Sekarang aku makin mengerti.”

Kamis, 10 Januari 2013

Muntah Kemudian

Bosan.



"Bosan belajar. Tulisan melulu yang diadepin."
"Bosan nih kerja di kantor, gini-gini aja."
"Bosan makan, ngunyah melulu, capek. Ntar juga laper lagi."
"Bosan bersihin kamar, ntar juga kotor lagi."
"Bosan. Pedekate sama elu. Gitu-gitu melulu. Ga ada improvisasi sejak setahun lalu."
"Bosan deh... Pacaran ama Lu... Lu melulu... Luuuu meluuuluuuu... Lulu. Nama lu, Lulu kan? Nama yang membosankan. Diulang-ulang banget sih? Lu-Lu. Membosankan."
"Bosan. Mamah bosan sama Papah."


Ciyeeeehhh... Bosan bo'... Bosan. Siapa sih yang ga pernah bosan? Ada, ada, ADA?



Well, setelah berbincang, berdiskusi dengan kawan lama saya―tentu setelah saya curhat sana sini ingin pindah kerja, karena kerjaannya ya gitu-gitu saja. Bosan. Karena terlalu nyaman.― Kemudian Nadia, kawan lama saya yang bijak mengatakan,

"Aku punya cerita. Dosen saya kemaren bilang, pernah ada penelitian, 10 orang dikarantina di dalam ruangan yang ga ada tivi, ga ada internet, ga ada jam, ga ada buku, ga ada alat macem-macemnya, pokoknya cuma dikasih makan aja. Artinya kebutuhan fisiknya tetep terpenuhi dong. Hidupnya pasif. Empat hari kemudian, mereka yang dikarantina mulai berhalusinasi, muntah-muntah di hari selanjutnya."

That's amazing! Kebutuhan fisik tercukupi, namun tetap saja fisiknya rusak. Fisik sehat, juga harus didukung mental yang sehat. Di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang kuat.
Jadi, bagaimana dengan hidupmu yang membosankan? Sudah membelok-belokkannya, zig-zag, agar tidak lurus-lurus statis saja? Belok dong, belok... "Kiri bang! Kiri! 2000 kan bang?" Gitu. Sekali-kali butuh berhenti. Butuh tantangan. Kadang juga butuh "break the law". Apa kek... Kreatip dong, kreatip! Saya ngerti kalau pembaca yang budiman adalah insan yang kreatip-kreatip. Maka, ayolah... "break the law"! Oke? Asal tidak keterlaluan aja "breaking"-nya. Kayak puasa tuh. Setahun sekali, Tuhan menitahkan aturan untuk istirahat makan (tanpa keterlaluan untuk tidak makan sama sekali 24 jam penuh) selama satu bulan penuh, bulan ramadhan namanya. Nah, kan... HIDUP ITU BUTUH TANTANGAN, MAMENNN... Kalo tidak, nanti kau akan dihinggapi halusinasi muntah kemudian! Mati kemudian! *Muntah terus menyebabkan dehidrasi.


"Saya bosan, bosan jadi miskin. Bosaaaaannn... Saya ga mau mati miskin. Setidak-tidaknya kalau saya mati. Saya ingin mati kaya. Oke. Karena saya bosan jadi miskin, saya butuh tantangan. Biar saya tidak mati miskin. Saya butuh tantangan untuk jadi kaya. Oke. Saya terima tantangan itu." ~Ratapan hati anonim. Coba kalau orang-orang yang merasa miskin, atau malah miskin beneran, mikirnya kayak gitu. Pasti presentase kemiskinan di Indonesia ini setidak-tidaknya akan berkulang. Dan jumlah keluhan, bukan lenguhan, di twitter juga akan berkurang. Indahnya hidup... Aaaahh~


Saya juga pernah seperti itu. Dikarantina. Iya. Dikarantina. Salah. Terkarantina tepatnya. Ketika di dalam bus malam perjalanan panjang, saya mulai berhalusinasi, kemudian, tak lama setelah itu, saya muntah! Saya benar-benar bosan. Bosan yang mengerikan.



Jadi, pindah apa engga nih?