Selasa, 23 September 2014

Failasufa Berbudi Baik Sekali

Calon Oil Painting sayah! Judulnya: The Collector
| Failasufa Karima A.N.
Pada suatu masa sepasang sejoli sedang dipadu bermesra di pinggir sawah sore hari. Terkadang angin sepoi-sepoi mengganggu mereka sedikit.
Herman dan Kancutnya
Tatkala seekor burung prenjak membuang tai di atas bahu si Lelaki, percakapan kedua sejoli tersebut telah pecah!
“Kamu itu ruwet! Mbok sekali-sekali simpel kayak cawat! Nyaman dan mudah dipakai. Andaikan kotor tinggal cuci!” sentak si Lelaki sebal seraya memagut-magutkan kepalanya ke telapak tangannya seperti burung dara mencocok biji jagung. Maka sang wanita jengkel pula lantas menjawab, “Iya. Seumpama bolong juga bisa diganti! Saya tidak mau sampean ada kesempatan untuk mengganti saya. Oleh karena itu, saya tidak mau disejajarkan dengan kancut sampean!”
“Halah. Terlalu serius kamu itu menanggapi omongan saya. Saya ini seorang gentleman, ambil satu tidak akan ganti dengan yang lain.” Si Lekaki mengelak.
“Bohong. Wong kancut sampean bukan GT Man!” Sang wanita menangkis elakan.
“Iya. Memang bukan. Cawat saya Rider.” Akhirnya si Lelaki pun mengaku.
“Rider itu apanya Kamen Rider?” Dan pertandingan ping-pong adu mulut kian tak karuan.
“Ga eruh dek! Sudah, kamu ganti nama sajalah! Biar saya mudah melafalkan namamu. Kalau mudah melafalkan namamu, pasti saya lekas mengawinimu.” Si lelaki melambungkan umpan.
“Mbahmu mas!” Lantas Si lelaki mendapatkan smash tajam dari Sang Wanita.
Lantas si lelaki megap-megap, “Sebentar toh... belum apa-apa sudah ngamuk. Saya belum selesai mengutarakan perihal sangat serius mengenai penggantian namamu,” jelas si Lelaki perlahan dan menjaga intonasi tetap kalem. “Penggantian ini akan mencuatkan keuntungan-keuntungan yang mungkin tidak kamu sadari. Satu, sudah saya katakan sebelumnya bahwa saya akan mudah melafalkan namamu andaikata namamu lebih simpel lantas kita cepat kawin. Kamu tahu toh aturan ijab qabul yang mengatakan bahwa sang mempelai pria, yaitu saya sendiri, yang dibebani hafalan nama kalian, sang mempelai wanita dan bapak mempelai wanita, menjadikan ijab qabul merupakan tugas berat!” Ditegapkannya badan kekarnya dan ia tatap wanita yang matanya sudah nampak seperti bola bekel siap memantul-mantul. Lanjutnya, “Dua, agar kamu menjadi lebih simpel seketika itu juga dengan namamu telah diubah menjadi lebih simpel dan tidak seruwet sekarang ini. Tiga... belum terpikirakan keuntungan ketiga dan ke empat dan selanjutnya.”
“Salah! Tiga... kamu itu bisu! Jadi tidak akan bisa mengucapkan nama lengkap saya semudah apapun bentuk nama itu. Empat... saya belum ingin kawin, serius! Dan sampean, mas Herman Tercinta, sudah tau itu dari dulu!” Sang wanita kembali menyemash tajam!
“Lah, Tiga... kalau saya bisu, selama ini  saya ngomong sama kamu, pakai apa hayoh? Empat... ya siapa tau kamu sudah berubah pikiran.” Smash masih dapat ditangkap namun ternyata umpan tersangkut ke jaring.
“Lah, Tiga... pakai tubuh toh? Bersetubuh! Pakai ngencuk! Lubangku dan anumu! Empat... saya belum mengubah pikiran saya.” Sang Wanita ternyata masih kuat melakukan serangan balik. Tukikan tajam!
“Lambemu dek... dek... Mengapa engkau mengatai bahwa saya bisu?” Serangan masih bisa dihadang dengan keringat bercucuran dan kaki pegal-pegal.
“Karena sampean ndak bisa-bisa mengucapkan nama saya dengan benar! Hanya nama depan saja, Failasufa, tidak pernah benar sekalipun.” Lantas si Lelaki pun kuyu tak berdaya.
“Filosof kan artinya? Iya. Yang penting artinya sudah nyangkut di kepala saya, tak cukupkah buat engkau, dek? Sungguh-sungguh orang sepertimu, filosof, tukang mikir yang ribet! Ngomong-ngomong ijab qabulnya orang bisu itu seperti apa ya?” ujar Si Lelaki berusaha membelokkan pembicaraan.
“Entahlah mas. Coba saja cari di google. Mungin sampean akan nemu.”
Ternyata usaha si Lelaki berhasil. Sang Wanita redam sejenak.

Failasufa, Anak, dan Tuhan
Pada pertemuan kesekian selagi sarapan di warung dekat sawah—kali ini tak akan ada burung prenjak yang membuang tai di atasnya, Sang Wanita membuka pembicaraan, “Sampean tahu tidak, kalau saya antara pengen dan tidak pengen punya anak. Saya pusing memutuskannya.”
“Mengapa harus pusing memikirkan? Biarkan saja seterjadi-terjadinya. Terlalu banyak berpikir pasti akan memusingkan kepala,” ujar si Lelaki seperti biasanya, berusaha menenangkan.
“Justru itu! Saya membenci sesuatu yang bergerak tanpa direncakan. Segala sesuatu harus dipikirkan aksi-reaksi, sebab-akibatnya. Agar bumi ini tidak rusak! Oleh karena itu saya belum ingin menikah dengan sampean,” geram Sang Wanita sembari menggebrakkan tangan ke meja.
“Ya, kan kita bisa pikirkan setelahnya, punya anak bisa ditunda.” Si Lelaki menjawab sambil menjumput mendoan di piring Sang Wanita.
“Mengapa sampean ambil mendoan saya lagi? Ambil sendiri sana!” sentak Sang Wanita.
“Di piringmu kan ada tiga, saya ambil satu masih dua.” Sembari mengunyah Si lelaki menatap wajah Sang Wanita, lantas ia menarik lengkung bibirnya ke atas, matanya nampak bening berkaca-kaca, dan ia melanjutkan mengunyah mendoan asyik sekali.
“Saya kepingin juga mempunyai anak, bahkan banyak anak! Anak-anak yang banyak!” Ternyata Sang Wanita berhasil diredamkan lagi oleh Si Lelaki. “Fasilitas yang dikasih Tuhan ini sayang untuk tidak digunakan. Sel telur di ovarium dalam tubuh saya, akan terbuang percuma. Juga sperma sampean mas! Akan mubazir juga! Akan tetapi, bumi ini sudah penuh dengan manusia lantaran kita manusia selalu beranak pinak. Lagipula ya mas, jikalau menunda anak setelah menikah, pasti nanti keluarga besar kita akan siap menodong dengan pertanyaan, ‘kapan punya anak?’ Ya Tuhanku... Malas sekali saya menjawabnya.”
“Yasudah, besok saya saja yang jawab.” Si Lelaki benar-benar berbakat menjadi pendengar yang baik.
“Memangnya sampean mau jawab apa?”
“Masih belum tahu.” Si Lelaki masih menampakkan wajah tersenyumnya yang mirip dengan senyum platipus. Ada kemungkinan Sang Wanita hampir selalu terenyuh tiap melihat senyum platipus kekasihnya.
Tertulis di akta kelahiran Si Wanita, Failasufa, Failasufa Filsufi Failusufi Filsufa Failusufu Failasufi. Entah atas wangsit apa bapak Failasufa menamai anak pertamanya dengan nama yang sebegitu susah, panjang, dan aneh. Tidak ada yang tau. Dengan cara apa pula kami akan menanyai mereka, wong Failasufa sudah piatu sejak lahir, dan lengkap menjadi yatim piatu semenjak berumur 8 bulan lebih 18 hari. Seketika itu juga,si bapak menitipkan bayi piatu itu ke adik perempuan si bapak, tepat sebelum beliau wafat. Si Bapak hanya sempat melafalkan nama Failasufa, anak semata wayangnya, berulang-ulang ke telinga adiknya. Mungkin adik si bapak itu salah dengar, bisa juga. Namun adik si bapak yakin sekali bahwa arti nama keponakannya adalah Filosof. Mungkin juga tukang tulis akta kelahiran saat itu sedang melamun ketika menuliskan nama bayi Failasufa Filsufi Failusufi Filsufa Failusufu Failasufi. Itu bisa saja terjadi loh! Akan tetapi entahlah, tidak ada yang tahu tepatnya bagaimana.
Failasufa memiliki mimpi yang sangat mulia, ia tak ingin memenuh-menuhi bumi dengan bayi-bayi yang nantinya pasti akan tumbuh besarapabia Tuhan mengizinkannya. Satu bayi akan berkembang biak berkali-kali lipat sedangkan luas permukaan tanah sudah mulai habis, bumi rusak, dan kriminalitas telah bersimaharajalela. Failasufa tak tega mellihat keadaan sekarang ini. Ia hampir tak mengizinkan calon keturunannya untuk meninggali dunia yang kian fana. Namun di lain pihak, ia mengingingkan banyak anak, untuk meneruskan pewarisan dari gen dan produk pemikirannya yang siap ditanamkan pada anak-anaknya nanti. Manusia memang sudah diciptakan sepaket dengan egoismenya yang tinggi. Herman apalagi. Dia pemuja Failasufa dan ingin memperbaiki keturunan. Ia sadar bahwa ia adalah lelaki yang kurang pandai di luar bidang pekerjaannya dan penurut sehingga ia membutuhkan sosok Failasufa yang tangkas dan cergas sebagai betinanya dan induk bagi anak-anaknya kelak. Ia tak mampu membangun keluarga apabila betinanya adalah seorang wanita yang penurut pula.
 “Sampean kerjanya masih nanti toh? Kita duduk dulu di depan ya,” tanya Sang Wanita. Si Lelaki menjawab iya dengan nada yang sangat nurut. Diskusi mereka lanjutkan di lincak depan warung. Kebetulan saat itu warung sedang sepi, sehingga mereka masih leluas berbicara. Mereka sudah biasa dengan adanya simbok di balik warung tersebut manakala mereka asyik memperbincangkan hal-hak tidak umum ngalor-ngidul. Kemungkinan besar simbok turut mencuri dengar tetapi tak apalah, wong simbok ini berbicara jika perlu saja, bukan tipe penggosip.
“Sampean tahu tidak,” hampir selalu Sang Wanita yang memulai pembicaraan, “andaikata saya punya banyak anak, pasti nanti saya akan terlalu cinta kepada anak-anak saya. Saya takut, cinta saya pada Tuhan bergeser karena kehadiran cinta pada anak di hati saya. Nanti Tuhan cemburu. Sampean tahu tidak, saya pernah membaca bahwa anak adalah titipan Tuhan dan merupakan godaan cinta hambaNya untuk Tuhan. Sehingga anak, istri atau suami adalah godaan.”
“Kamu itu ngomong opo toh dek.. Wong kamu saja sudah berbuat zina sama saya, masih berani ngomong cintamu ke Tuhan? Ngayal kamu!” Si Lelaki sudah mulai menimpali pakai otaknya yang jarang sekali digunakan, yang terkadang ucapannya ada benarnya juga tapi jarang sekali benar.
“Loh, justru itu. Saya ini hina dan mengakui kehinaan saya ini sehingga saya sadar dan kepingin tobat. Dan saya mengizinkan sampean berlaku binatang kepada saya, menunjuk-nunjuk tubuh saya sekeinginan hati sampean adalah agar sampean makin cinta sama saya. Lah lantas kalau cinta sama saya, mengapa?" Sang Wanita membenarkan poninya yang jatuh hingga depan mata mengganggu pandangannya. Sedangkan Si Lelaki mulai menggoyang-goyangkan kedua kakinya yang menyilang, ke depan dan ke belakang. Sang Wanita berkata lagi, "Ya berlanjut perlahan bisa mempelajari cinta kepada Sang Pencipta saya. Saya yang menurut sampean ini indah, Pencipta saya pasti lebih indah dan patut sampean cintai. Mengenal cinta kepada Tuhan itu paling mudah dari mencintai ciptaanNya yang paling ia cintai. Bagaimana enaknya saya, bagaimana enaknya ngencuk. Cinta sama saya toh? Enak kan ngencuk sama saya? Ngencuk dan saya adalah sama-sama ciptaan Tuhan. Jadi pasti Tuhan Sang Pencipta saya dan ngencuk itu sendiri pasti lebih indah dari hal-hal tersebut. Ngerti maksud saya?”
“Tapi kan sebaiknya kita halalkan dulu...” rajuk Si Lelaki.
“Kan sudah saya bilang tadi, andaikata kita nikah pasti nanti datang berondongan pertanyaan ‘kapan punya anak’. Wong saya saja belum beres memikirkan cinta saya sama Tuhan, kok sudah mau sampean isi dengan cinta saya ke anak. Saya ini sudah cinta anak saya bahkan sebelum mereka lahir! Saya tidak bisa menghindari andai anak saya benar-benar lahir ke dunia ini, saya pasti akan cinta mati pada mereka.” Kali ini diremasnya lengan Si Lelaki.
“Cintamu ke anak sesungguhnya bisa direm sedikit-sedikit, agar tidak keterlaluan cintanya. Janganlah kaku begitu... Cepat patah nanti kamu, jadilah seperti karet, fleksibel,” kata si Lelaki sembari berusaha melepaskan tangan kekasihnya yang makin mengencang di lengannya.
“Kalau saya ngerem-ngerem cinta ke anak, nanti saya dibilang ibu yang tidak becus, tidak totalitas, tidak ikhlas ngurus anak! Saya ndak mau seperti itu!” ujar Sang Wanita sudah kembali meletakkan tangannya di atas kedua pahanya namun masih dengan mimik muka serius.
“Sebentar dek... saya kepingin tanya sesuatu, kok sepertinya ada yang mengganjal sedikit. Kamu cinta sama saya toh? Kok kamu tidak takut dengan cintamu ke saya?” tanya Si Lelaki.
“Mana pernah saya bilang bahwa saya cinta sampean? Tidak pernah toh?”
“Lah, terus kamu mau menerima perlakuan kebinatangan saya dan engkau sambut dengan kebinatanganmu pula, siang malam semau saya, kok kamu mau? Apa itu bukan termasuk pertanda bahwa kamu cinta saya?” Si Lelaki mulai gelisah. Ternyata dengan menggunakan otak, Si Lelaki bisa dibuat gelisah.
“Siapa bilang? Persetubuhan adalah salah satu bagian dari pengejawantahan cinta pada Tuhan. Lagipula saya tidak selalu mau melayani sampean, kadang saya juga menolak. Sesungguhnya saya perlu dengan sampean,” Sang Wanita berhenti sejenak mengatur nafas, lantas berlanjut, “Sampean itu punya gen bagus. Hidung mancung, rahang tegas, perangai kuat di luar namun lemah terhadap saya, badan tinggi gagah. Pantas sudah untuk anak saya besok. Sampean tak perlu pintar-pintar amat. Kecerdasan adalah gen bawaan dari pihak ibu, yaitu saya. Dan yang pasti sampean itu bisa diajak ngomong ngalor ngidul, dan yang terpentingnya adalah isi kepala sampean.” Si Lelaki hanya manggut-manggut seolah mengerti. “Isi kepala sampean itu kalau dianalogikan mirip seperti lahan subur bagi saya sehingga saya mudah menanami isi kepala sampean yang agak tolol itu―nanti juga sampean jadi pintar kalau saya rajin menanami isi kepala sampean lantas memanennya. Yang kurang itu pagar di kepala sampean.” Si Lelaki tengah menyilangkan tangan di dada. “Isi kepala juga perlu dipagari agar tidak kebablasan. Nah, besok pasti sampean bisa menjadi bapak pintar bagi anak-anak yang siap dipintarkan juga. Saya mau anak-anak saya besok pintar-pintar dan ganteng-ganteng dan lahan di kepalanya juga subur-subur mirip sampean sehingga mudah pula ditanami dan dipagari. Itu semua diperlukan agar mereka penerus gen-gen baik kita, dan tidak pasrah begitu saja sehingga menjadi makhluk yang sekelewat belaka.”
“Lah, gimana toh? Katanya ndak kepingin punya anak...” Si Lelaki sedikit memajukan badan dengan tetap menyilangkan kedua tangannya di dada.
“Tapi juga kepingin punya anak! Ingat itu. Guna meneruskan bibit-bibit yang bagus, bisa jadi orang bener. Sudah terlalu banyak orang tidak bener di dunia ini.”
“Alah dek... dek... Memang kamu sudah berbuat baik apa sama Tuhan?” Si Lelaki berusaha mematahkan argumentasi Sang Wanita.
“Lah, saya kan sudah membantu sampean mengenal Tuhan toh? Besok-besok niatiah dan rasakan kemasyukan akan Tuhan ketika sedang ngencuk sama saya.”
“Baru juga kamu kenalkan Tuhanmu sebentar kepadaku dek...” Sekarang Si Lelaki merebahkan punggung ke dinding warung belakang lincak seraya menatap kosong ke depan. Seekor belalang terbang berlalu di depannya. “Yasudahlah dek... Semoga perang dunia ke empat segera pecah. Dan banyak orang mati bergelimpangan di permukaan bumi lantas bumi dengan sendirinya memakan mereka―biar kita tidak perlu repot. Manusia memang membutuhkan regenerasi. Dan saya mendoakan agar mereka yang mati pada perang besok adalah manusia-manusia sampah masyarakat. Populasi manusia di dunia berkurang, lantas kita dapat beranak pinak sepuasnya. Namun, andaikata kita termasuk korban perang yang mati, yasudahlah tidak apa-apa. Artinya Tuhan tidak suka kita berlama-lama hidup di dunia, alias kita kurang berguna atau telah menjelma menjadi sampah masyarakat. Yang kuat yang bertahan, yang lemah kalah, musnah! Seperti zaman t-rex!” Sebelum Sang Wanita sempat membuka mulut siap-siap akan menebas kalimatnya, Si lelaki melongokkan kepalanya ke belakang dan berteriak, “Simbok... Kopi hitam satu lagi ya mbok... Terima kasih.”
“Tumben sampean pinter mas.” Sang Wanita menoleh ke Si Lelaki. “Akan tetapi mas, kalau semua kuat jadi tidak seimbang dong dunia ini. Tak ada sosok lemah. Tak ada yang kalah. Tak ada yang di bawah dan jadi bawahan. Semua maunya jadi yang di atas dan jadi pemimpin.”
“Sesungguhnya dek, kamu sungguh-sungguh harus berganti nama menjadi yang lebih simpel. Mungkin Susi Berbudi Baik Sekali cocok untukmu,” usul si lelaki.
“Nanti saya pikirkan mas. Saya sudah punya rencana nama untuk anak-anak kita nanti. Empat anak. Masing-masing menyandang nama Barat, Timur, Utara, Selatan.”
“Baiklah dek. Kamu kepingin punya anak empat, saya kabulkan dan semoga Tuhan juga kabulkan. Jadi, kapan kita akan buat anak lagi?”
“Sampean sudah pernah saya buat orgasme berapa kali?” tanya Sang Wanita masih dengan nada kalem.
“Berapa ya, mungkin berkali-kali. Saya lupa,” jawab Si Lelaki jujur.
“Nah, enak kan? Rasanya juga sama saja. Masih ingat rasanya? Begitulah rasa cinta. Pengejawantahan akan cinta kepada Tuhan bisa sampean rasakan apabila sampea mau merasakan. Nikmatnya itu, jauh di atas klimaks. Super klimaks. Klimaks pangkat tak terhingga tiada tara. Ngerti maksud saya? Saya sudah mendapatkan orgasme berkali-kali dari sampean. Jadi, kita impas!” Segelas kopi bersama simbok datang ke lincak. Simbok menaruh gelas. Si Lelaki mengucapkan terima kasih, lantas simbok masuk lagi ke warung.
“Lantas?” tanya si Lelaki melanjutkan obrolannya.
“Yasudah begitu saja. Saya kan mau tobat, mosok sampean mau tarik saya ke perzinaan lagi? Ndak boleh itu,” ujar Sang Wanita keras.
“Kalau begitu, kita nikah saja.” Si Lelaki kembali merajuk.
“Sampean belajar dulu mengeja dan menghafal nama saya kata perkata dengan benar. Kan ijab qabulnya orang bisu, bisa ditulis. Sampean latihan nulis nama saya sajalah. Nanti lama-lama juga bisa melafalkannya. Sampean hanya perlu sedikir rajin dan sedikit menanggalkan sebentar ketololan sampean.” Sang Wanita sudah mulai ketus.
“Saya tidak bisu, dek!” Si Lelaki membantah. “Kamu ganti nama dulu sajalah yang lebih simpel, biar kamu sekalian jadi orang yang tidak ruwet begini. Nanti saya hafalkan nama lengkap barumu. Sungguh!”
“Yasudah, saya akan ganti nama yang lebih mudah,” jawab Sang Wanita.
“Kapan?”
“Nanti.”
“Iya. Kapan tepatnya?”
“Kalau saya sudah mendapakan hidayah berikutnya.”
“Kapan itu?”
“Saya juga tidak begitu tau, wahai kangmas Herman Tercinta.”
“Lantas kapan saya juga bisa ngencuk sama kamu dek? Biar saya bisa cinta sama Tuhanmu dek!”
“Sudah saya bilang, kalau saya sudah mendapatkan hidayah berikutnya! Sampean itu, yang dipikir ngencuk melulu. Pikir sana, hafalkan nama lengkap saya!”
“Iya. Nanti.”
“Kapan?” Sang Wanita balik bertanya.
“Kalau saya sudah mendapatkan hidayah.”
Failasufa membalikkan badan dan melenggang pergi. Herman meneriakinya, “Kamu habis baca buku apa kok tiba-tiba jadi begini?”
“Bona dan Rong-Rong!” jawab Failasufa sekenanya tanpa menoleh seraya meneruskan langkah kakinya. Lantas ia tersandung batu dan jatuh. Duh terdengar pelan keluar dari mulutnya. Belalang yang tadi terbang di depan Herman, kini berganti terbang di depan Failasufa. Andai si Belalang dapat bicara, ia akan berkata, “Hihi” dan mengumbar senyum mengejek.

SELESAI

NB: Ini cuma cerita fiksi loh. Saya memakai nama saya sendiri sebagai tokoh karena kepepet. Butuh banget nama Failasufa karena artinya Filosof, dan rada ribet diucapkan. Sebenarnya cerita ini muncul karena kawan saya sering tidak bisa melafalkan nama saya Failasufa, dia salah melulu dan dia bilang, nama susah saya itu susah juga waktu untuk ijab qabul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar