Topik kali ini saya comot dari cerita pengalaman dan observasi kunjungan beberapa kali ke pondok pesantren di daerah Yogyakarta. Dimulai dari daerah Bantul hingga Sleman. Dari ‘mbah-mbahane’ pesantren di Jogja yaitu Pondok Pesantren(Ponpes) Krapyak Bantul Yogjakarta (konsen ke ngaji kitab) hingga Pondok Pesantren Pandanaran Sleman (konsen kepada ilmu menghafal Alquran). Ponpes-ponpes jaman sekarang sudah lebih luas cakupan santrinya. Mereka tidak hanya menampung santri dari tingkat pendidikan formal Raudhatul Athfal (RA setingkat TK) , Madrasah Ibtidaiyah (MI setingkat SD), Madrasah Tsanawiyah (MTs setingkat SMP), Madrasah Aliyah (MA setingkat SMA), namun juga untuk santri setingkat Universitas, yaitu mahasiswa/mahasiswi.
Tujuan didirikannya pondok pesantren selain untuk mendidik ilmu agama lebih dalam pada para santrinya, ia juga mencetak jiwa mandiri dan kesederhanaan pada para santrinya. Mereka membiasakan diri untuk hidup dengan lebih sederhana, banyak sharing-sharing dan pangerten antar sesama santrinya karena memang fasilitas adalah untuk bersama. Semisal satu kamar dihuni oleh 18 orang, atau 6 orang, atau hanya cukup 2 orang saja adalah salah satu bentuk sharing di dalanya. Ukuran kamarnya tentu disesuaikan dengan jumlah santri tiap kamarnya. Dapur bersama. Makanan bersama.―Jadi berasa seperti kehidupan rusun dalam kasus Tugas Akhir saya. Mungkin rusun pun terinspirasi oleh pola sharing kehidupan ponpes. Mungkin.―
Nah, sekarang mari kita bahas motivasi mereka untuk nyantri. Sudah diketahui bahwa kehidupan lingkungan ponpes adalah sederhana, jadi biaya hidupnya pun sederhana karena banyaknya fasilitas bersama yang digunakan, layaknya rusun (lho rusun lagi…?). Tapi memang sederhana. Bayangkan saja, ini diluar biaya pendidikan lho…, bahwa biaya bertempat tinggal di ponpes dalam satu bulan termasuk makan 2 kali sehari adalah kurang dari Rp 200.000,00! Murah... Yang saya ketahui salah satunya adalah seharga Rp 155.000,00 di Ponpes Pandanaran putri. Murah meriah coy...
Menggunakan data tersebut, saya berpikir ‘edyaan… murah bianget!’ bila dibandingkan dengan sewa kost kebanyakan anak-anak kuliahan di Jogja antara Rp 200.000,00-RP 400.000,00 dan itu pun tanpa biaya makan sehari-hari. Sesuai dengan kata pepatah, “ono rego ono rupo”. Makan seadanya, dan kamar pun sharing. Tau kan apa seni ilmu sharing itu… Bahwa ia dari berbagai macam kebiasaan pola hidup pemakai (seperti rapi, rajin, bersih, jorok) dijadikan dalam satu ruang sharing bersama. Terbayang seperti apa? Ya seperti itu. Kudu banyak pangerten. Namun, apabila ada yang tidak masalah atau bahkan menikmati seninya sharing, ya memang ga masalah. Semua itu kembali pada kebetahan masing-masing individu kok.
Dan kenyataan tersebut membuat saya berfikir hal-hal seperti,
- Apakah ada, salah seorang santri setingkat mahasiswa perantau yang motivasi ‘nyantri’ sebenarnya adalah bahwa dia orang yang escape dari biaya kost anak kuliahan yang terlampau mahal?
- Atau malah dia adalah korban permainan cinta para bujangan/gadis yang dimabuk patah hati? Daripada tidak ada teman seketika patah hati, mending nyantri banyak teman
pelipur laradan mulai mendekatkan diri lagi meminta ampun pada Yang Di Atas dengan cara rajin mengaji dan beribadah. Malah siapa tau di Ponpes baru, bisa dapat kecengan baru? Yang tentunya anak santri. Siapa tau… - Atau mungkin juga dia adalah penikmat kehidupan jomblo kesepian yang tak punya komunitas? Daripada malam minggu suram sendirian di kost sedangkan yang lain pada asik malam mingguan rame-rame, mending dia memilih nyantri. Sekamar saja ada puluhan penghuni. Sudah cukup rame lah… Cukup untuk teman si jomblo kesepian.
- Atau mungkin juga, motivasi mencari jodoh dapat anak santri yang lugu dan alim atau bahkan anak kiai atau ustadnya (bagi santri wanita) sekalian, daripada kelelahan cari gara-gara kehabisan stok jomblo dan single di luar sana? Mending cari di pesantren.
- Atau mungkin juga, sebagai tempat tinggal sementara yang murah (karena tidak punya begitu banyak uang) sebagai ajang penyamaran jati diri karena suatu kasus. Dia tinggal karena menganggap bahwa dia akan mampu melebur tanpa ketahuan diantara para santri yang berjumlah ratusan dan mereka yang polos dan jarang menonton berita kriminal di tivi/internet/gosip tidak akan mengenali dan menyadari sosoknya yang terlihat normal seperti santri pada umumnya?
- Atau mungkin ada motivasi aneh yang lain? Monggo silakan ditambahkan berdasarkan imajinasi saudara-saudari sekalian.
Ada yang jadi berpikir ingin pindah kost ke ponpes? :D