Senin, 06 Juni 2011

Mimpi-Realitas

Mimpi-Realitas=Harga diri
Harga diri tinggi adalah yang bernilai 1.
Terserah mau ubah-ubah nilai yang mana, yang penting nilai harga diri 1. haaa haaa...

*Ilmu saya comot dari buku catatan kuliah tetangga kamar kost saya, Amanatia Junda, teori om XXXXX. Lupa.
jadi harga diri paling tinggi sebenarnya adalah NOL! Cuma kalau sudah bernilai NOL, ga asik... Berasa flat- datar-mentog-tidak punya ambisi... Dan jarang ditemukan nilai harga diri NOL

Cara bermain pernyataan ini:
Mimpi dan Realitas, coba dikonversikan ke nilai kualitas mimpi/realitas. nanti ada angka-angkanya. standart nilai kualitas mimpi/realitas yang menentukan adalah diri sendiri.

Dan penjelasannya adalah seperti ini:
Kualitas mimpimu tinggi (nilai 10)-realitas(kualitas kenyataan bahwa realitasmu bernilai 8)=harga diri bernilai 2...

Misal: (saya menggunakan kata ganti XYZ/dia)


XZY adalah seorang anak lulusan arsitektur(karena saya mantan mahasiswi arsitektur, permisalan saya menggunakan profesi arsitektur ya), dia bermimpi bahwa suatu saat 7,5 tahun setelah lulus sudah menjadi seperti seorang Emil yg sudah punya PT sendiri, punya banyak karyawan, sumbang sih ini itu dalam skala makro maupun mikro, jadi bintang iklan, dll. Kualitas nilainya sebagai seorang mahasiswa arsitektur itu bisa dikata dapat nilai 10 lah...


Nah, realitasnya XYZ dalam kurun waktu 7,5 tahun itu mampu memiliki pencapaian itu (punya PT sendiri, banyak karyawan sedikit di bawah Emil, namun masih belum bisa jadi bitang iklan) karena dia adalah seorang pekerja keras, rajin, ulet. Kasih lah nilai realitas itu 8,5 lah...


Kalau dimasukkan dalam rumus di atas. Mimpi(10)-Realitas(8,5)=Harga diri(1,5)... Nah harga diri mendekati nilai 1 kan? Yang artinya bahwa XYZ mencapai tingkat kepuasan pribadi atas harga dirinya sendiri. Mimpinya tinggi, oke... Dan dia dapat mencapainya... Nah, asik kan? seneng kan?


Beda lagi kalau ternyata kenyataan, bahwa XYZ semasa mencapai mimpi itu (yang di atas pengen jadi sekelas Emil), dia kurang berusaha keras, dan ternyata realitasnya bahwa selama 9 tahun dia masih aja jadi pegawainya Emil ato pegawainya arsitek siapa lagi lah... Nilai realitasnya kasih lah 5... Nah, kalau dihitung2 kan Mimpi(10)-Realitas(5)=harga diri(5). Naaah.... kepuasan pribadi kurang, ambisinya tinggi, namun realitasnya kurang memuaskan. Jadi kalau mau harga diri bernilai 1 atau menurut hemat saya kepuasan pribadi tercapai, ya tinggal diubah2 aja angkanya... Mau mimpinya diturunkan kek, atau realitasnya di naikkan (XYZ lebih 300% bekerja keras ulet tekun)

Ini semua adalah penjelasan penting untuk menilai target, ambisi, mimpi, menstabilkan emosi, memberi semangat hidup untuk mencapai nilai realitas tinggi agar mendapat nilai harga diri tinggi, yaitu 1. Saya tidak bilang 0, karena nilai 0 itu datar. Udah berasa hambar hidupnya.


Oke maturnuwun. Semoga membantu agan-agan dalam menstabilkan semuanya. Amin.
Jikalau ada yang salah, itu datangnya dari saya. Jikalau benar, datangnya dari Allah. 

Selasa, 24 Mei 2011

Kelakuan Sang Manusia


Fela sebagai sampel salah satu manusia yang sangat manusiawi.

Sabtu, 30 April 2011

Motivasi Nyantri


 
Topik kali ini saya comot dari cerita pengalaman dan observasi kunjungan beberapa kali ke pondok pesantren di daerah Yogyakarta. Dimulai dari daerah Bantul hingga Sleman. Dari ‘mbah-mbahane’ pesantren di Jogja yaitu Pondok Pesantren(Ponpes) Krapyak Bantul Yogjakarta (konsen ke ngaji kitab) hingga Pondok Pesantren Pandanaran Sleman (konsen kepada ilmu menghafal Alquran). Ponpes-ponpes jaman sekarang sudah lebih luas cakupan santrinya. Mereka tidak hanya menampung santri dari tingkat pendidikan formal Raudhatul Athfal  (RA setingkat TK) , Madrasah Ibtidaiyah (MI setingkat SD), Madrasah Tsanawiyah (MTs setingkat SMP), Madrasah Aliyah (MA setingkat SMA), namun juga untuk santri setingkat Universitas, yaitu mahasiswa/mahasiswi.


Tujuan didirikannya pondok pesantren selain untuk mendidik ilmu agama lebih dalam pada para santrinya, ia juga mencetak jiwa mandiri dan kesederhanaan pada para santrinya. Mereka membiasakan diri untuk hidup dengan lebih sederhana, banyak sharing-sharing dan pangerten antar sesama santrinya karena memang fasilitas adalah untuk bersama. Semisal satu kamar dihuni oleh 18 orang, atau 6 orang, atau hanya cukup 2 orang saja adalah salah satu bentuk sharing di dalanya. Ukuran kamarnya tentu disesuaikan dengan jumlah santri tiap kamarnya. Dapur bersama. Makanan bersama.―Jadi berasa seperti kehidupan rusun dalam kasus Tugas Akhir saya. Mungkin rusun pun terinspirasi oleh pola sharing kehidupan ponpes. Mungkin.―


Nah, sekarang mari kita bahas motivasi mereka untuk nyantri. Sudah diketahui bahwa kehidupan lingkungan ponpes adalah sederhana, jadi biaya hidupnya pun sederhana karena banyaknya fasilitas bersama yang digunakan, layaknya rusun (lho rusun lagi…?). Tapi memang sederhana. Bayangkan saja, ini diluar biaya pendidikan lho…, bahwa biaya bertempat tinggal di ponpes dalam satu bulan termasuk makan 2 kali sehari adalah kurang dari Rp 200.000,00! Murah... Yang saya ketahui salah satunya adalah seharga Rp 155.000,00 di Ponpes Pandanaran putri. Murah meriah coy...


Menggunakan data tersebut, saya berpikir ‘edyaan… murah bianget!’ bila dibandingkan dengan sewa kost kebanyakan anak-anak kuliahan di Jogja antara Rp 200.000,00-RP 400.000,00 dan itu pun tanpa biaya makan sehari-hari. Sesuai dengan kata pepatah, “ono rego ono rupo”. Makan seadanya, dan kamar pun sharing. Tau kan apa seni ilmu sharing itu… Bahwa ia dari berbagai macam kebiasaan pola hidup pemakai (seperti rapi, rajin, bersih, jorok) dijadikan dalam satu ruang sharing bersama. Terbayang seperti apa? Ya seperti itu. Kudu banyak pangerten. Namun, apabila ada yang tidak masalah atau bahkan menikmati seninya sharing, ya memang ga masalah. Semua itu kembali pada kebetahan masing-masing individu kok.
  
Dan kenyataan tersebut membuat saya berfikir hal-hal seperti,
  1. Apakah ada, salah seorang santri setingkat mahasiswa perantau yang motivasi ‘nyantri’ sebenarnya adalah bahwa dia orang yang escape  dari biaya kost anak kuliahan yang terlampau mahal? 
  2. Atau malah dia adalah korban permainan cinta para bujangan/gadis yang dimabuk patah hati? Daripada tidak ada teman seketika patah hati, mending nyantri banyak teman pelipur lara dan mulai mendekatkan diri lagi meminta ampun pada Yang Di Atas dengan cara rajin mengaji dan beribadah. Malah siapa tau di Ponpes baru, bisa dapat kecengan baru? Yang tentunya anak santri. Siapa tau…
  3. Atau mungkin juga dia adalah penikmat kehidupan jomblo kesepian yang tak punya komunitas? Daripada malam minggu suram sendirian di kost sedangkan yang lain pada asik malam mingguan rame-rame, mending dia memilih nyantri. Sekamar saja ada puluhan penghuni. Sudah cukup rame lah… Cukup untuk teman si jomblo kesepian.
  4. Atau mungkin juga, motivasi mencari jodoh dapat anak santri yang lugu dan alim atau bahkan anak kiai atau ustadnya (bagi santri wanita) sekalian, daripada kelelahan cari gara-gara kehabisan stok jomblo dan single di luar sana? Mending cari di pesantren.
  5. Atau mungkin juga, sebagai tempat tinggal sementara yang murah (karena tidak punya begitu banyak uang) sebagai ajang penyamaran jati diri karena suatu kasus. Dia tinggal karena menganggap bahwa dia akan mampu melebur tanpa ketahuan diantara para santri yang berjumlah ratusan dan mereka yang polos dan jarang menonton berita kriminal di tivi/internet/gosip tidak akan mengenali dan menyadari sosoknya yang terlihat normal seperti santri pada umumnya?
  6. Atau mungkin ada motivasi aneh yang lain? Monggo silakan ditambahkan berdasarkan imajinasi saudara-saudari sekalian.

   Ada yang jadi berpikir ingin pindah kost ke ponpes? :D

Minggu, 03 April 2011

LULUS NGARSITEKTUR 4 tahun 7 bulan

Nih, kembang buat kamu, kamu, kamu, dia, dan mereka
Alhamdulillah dan Bismillah. Allah SWT.

Yeaah... Tugas Akhir Arsitektur yang bernama PD (Pengembangan Desain) telah tertelan dalam-dalam dalam kubangan pijakan bekas kaki mammoth jaman pleistosen. Hahahahhaa. Saya lupakan kamu! Bukan hanya saya, tapi dia, dia, dia, dan mereka! Dua bulan dalam karantina Studio TGA Arsitektur? Sudah bukan masa kami. Hahhaha. Pergi sana, jauh-jauh dari kami. Ga mungkin kamu kembali lagi, karena Alhamdulillah kami dinyatakan lulus secara non official. Biarlah. Yang penting sudah ada gosip, kami Lulus.

Kami: Yosi, Russel, Mbak Tia, Mas Yonas, Mas Pepeng, Mbak Mayang, dan tentu saya sendiri, termasuk gelombang yang akan wisuda bulan Mei.

Selamat buat kami! Yeaaii! Siap-siap wisuda.
Tidak lupa berucap,

"Maturnuwun buat tangan-tangan yang sudah banyak membantu untuk menjadi genap 3/3...(Rangga, Russel, Yosi, Mas Yonas, Mbak Tia, Nuri, Diaz, Ndaru, Jenni, Arkhan, Aida, Nadia, Anin, Arum, Roni, Desy, Teguh, Bhima, Rizal, Mas Gusto, Dion, Airlangga CU, Pap (Bapak palsukuku), Boo, Primerz, Pak Ism, Pak Mar, Pak Sayid, dan tentu Bapak Ibu Adik sekeluarga. Loh, malah borongan...) 
dan,
Selamat berjuang buat yang sudah 1/3 dan 2/3... selamat bersenang-senang ke perjalanan berikutnya. Semoga lancar dan betah bertahan. Amin."


Selamat ke perjalanan luar angkasa jalur berikutnya, pastinya lebih menantang, namun yang pasti menghasilkan duid... hahahhahaa. Senang. Senang. Senang. 

Maaf, aku memorotimu... Kami Butuh Modal, Sayang...

Pohon Duid

Belajar desain dan sistem bangunan serta filsafat-filsafat yang sangat bom bastis dan aduhai, telah terpelajari dan terlumat setengah matang, bagiku--karena tak ada ilmu yang pernah matang merasuk dan beradu dalam kecerdasanku--, di jurusan arsitektur kampus biru-ku. 
Dari penilainku sendiri, arsitektur adalah perpaduan antara suatu sistem yang krusial antara lingkungan dengan manusia, ya manusia, dan nilai seni. Mereka bersedia menikah melebur menjadi satu hingga tak mampu bercerai lagi. Takdir. Itu lah arsitektur. 

Aku mencintainya, seolah dia adalah suamiku. Namun, tenagaku tak mampu menjaganya untuk ada tetap selalu disisiku. Aku tak mampu menyokongnya. Kadang, aku menyelingkuhinya dengan berbagai macam watak kehidupan. Aku tertarik dengan lelakon lain, maaf, dan sepertinya mereka lebih bisa menerimaku dengan keterbatasanku. Aku, bukan lah wanita sekaligus istri arsitektur yang superpower. Aku adalah wanita biasa yang mendambakan kehidupan seorang wanita normal. Punya anak lucu-lucu dan bisa merawatnya dengan sepernuh hati dan seluruh waktu, bertualang bersama mereka, bahkan aku rela memasuki dunia mereka. Jikalau aku bertahan bersamanya, aku takut, aku tidak bisa menjadi wanita normal. Demi kebaikannya, aku, dan mereka, sepertinya lebih baik kami bercerai. Semoga Allah meridhoi.

Karena ia pernah menjadi bagian hidupku, adalah caraku untuk tetap mencintai tanpa memilikinya. Sepertinya aku pun tak akan jauh-jauh cari penggantinya, masih sejalur. Tetap berlabuh ke nilai seni yang tinggi. Tetap di dunia seni dan desain. 
Namun, untuk memulai dunia baru lagi, KAMI BUTUH MODAL... hahahhaa. BUTUH MODAL, SAYANG... Maka, sepertinya aku masih membutuhkan suamiku, arsitektur. 

"memorotimu, demi modal pernikahanku selanjutnya, adalah salah satu jalan menuju rumah tangga baruku. Terima kasih sayang, semoga kau memaafkanku. Amin"

-Apa siiih... Ga jelas...- 
*Horeee... udah lulus... Arsitektur... hahahhaa.* teriak kepuasan mahasiswi tingkat akhir yang sudah selesai ujian seminar.