| Oleh
Failasufa Karima An-Nizhamiya
“...
Kendaraan terpantau padat merayap di bilangan Ikeboukou Street ke arah Bang
Bang Pink Street. Sementara Di Otonokame Street kendaraan berjalan lancar.
Sekian laporan lalu lintas oleh Mister Traffic-man 007 dari Yoruba FM.” Laporan
lalu lintas radio berirama staccato dengan ketukan satu per delapan birama dan
dilatarbelakangi musik yang seolah-olah mengajaknya berlari cepat-cepat
menggema dalam studio kerja Koji Tadanobu. Gabungan antara musik dan laporan
lalu lintas berketukan pendek dan terburu-buru identik dengan suasana pengap,
menghimpit, dan penuh oleh kepulan asap di tengah kota. Tadanobu benci
bersentuhan dengan suasana seperti itu. Padahal Tadanobu sendiri sekarang
sedang berada di dalamnya namun secara tak langsung ia tak tersentuh dari dunia
luar yang morat-marit. Semua dinding ruang kerjanya dilapisi oleh peredam suara
kualitas terbaik―tentu saja demi memperoleh ketenangan dalam dunia rekaannya
sendiri. Tadanobu sangat bergantung pada keadaan yang berada sesuai pada
tempatnya, sesuai pada koordinatnya masing-masing, dan sesuai pada jalur orbitnya.
Beruntung selanjutnya Yoruba FM memutarkan lagu “Till Death Do Us Part”-nya
White Lion. Memang judulnya terdengar agak melankolis dan mendayu-dayu, sangat
bukan Tadanobu. Namun siapa peduli, yang penting musiknya mengalun perlahan. Semut-semut
di dinding pun turut berjalan berbaris lagi membuat garis berlenggak-lenggok
bak seorang penari. Sepertinya ketegangan otot-otot Tadanobu pun sudah mulai
mereda.
Kertas
gambar yang sudah berisi panel-panel gambar dan sketsa-sketsa pensil, ia
pandangi lekat-lekat. Semenit empat puluh detik ia terdiam tak bergerak—mungkin
sempat tak bernafas beberapa detik— lantas diteguknya secangkir kopi dingin di
sudut kanan meja, ia letakkan lagi cangkir kopi yang tinggal ampasnya saja,
kemudian mematung lagi tak lebih dari semenit. Segera setelah itu diambilnya
penghapus dan digosok-gosokkan ke beberapa panel sketsa pensilnya. Lalu ia
menggambar lagi di atas panel-panel yang telah menjadi kosong. Proses yang sama
pun berulang kembali hingga delapan kali dalam sehari. Pemandangan tersebut
sudah menjadi hal lumrah ketika Tadanobu sedang menggarap projek mingguan untuk
koran minggu. Sehingga apabila dikalkulasikan, Tadanobu bisa mengulang proses
seperti itu dalam seminggu, kurang lebih lima puluh enam kali, dan dalam
sebulan bisa lima ratus dua puluh empat kali, dan seterusnya-dan seterusnya.
Barangkali Tadanobu akan mati muda. Sesungguhnya Tadanobu menikmati proses
pengulangan-pengulangan semacam itu. Dan ia tak akan begitu peduli seumpama ia
mati karena hal tersebut, asalkan segalanya berjalan secara semestinya. Karena
yang terpenting baginya adalah ke-te-ra-tu-ran.
“Tadanobu!”
teriak pemilik warung oden pinggir jalan, “Kemarilah! Merapat ke sini. Mampir
dulu, hujan.” Memang hujan tidak begitu deras. Namun hujan rintik-rintik dengan
semangkuk oden adalah persekongkolan yang pantas.
Tadanobu
sedikit mengangkat dagunya ke arah pemilik warung oden seraya mengangkat tangan
kanannya sebagai pengganti kata, “lain waktu saja saya mampir,” seperti itu.
Tadanobu melanjutkan perjalanannya.
Ia
melewati puluhan tempat makan, satu kantor Japanese Red Cross Society—lucu
sekali ada tempat donor darah di antara banyak tempat makan, agak mencolok dan
tidak sesuai, dunia yang dipijak Tadanobu terbuncang—, dan satu toko piringan
hitam sebelum sampai di Stasiun Danbashi. Jarak yang ditempuh dari studionya ke
Stasiun Danbashi adalah sejauh satu setengah kilometer. Akan tetapi Tadanobu
dapat memotong jalan menjadi setengahnya apabila ia masuk toko piringan hitam
“Beside You” lantas keluar melalui pintu belakangnya. Dari pintu belakang Toko
“Beside You” pintu itu bisa langsung tembus sampai ke jalan utama menuju
Stasiun Danbashi. Untuk dapat menembus toko tersebut, Tadanobu perlu usaha
ekstra—semacam tiket masuk tak tertulis. Ia rela merogoh koceknya demi
mengurangi jumlah ketidakteraturan yang akan ia dapatkan apabila ia berjalan di
rute normalnya ke Stasiun Danbashi. Ia menjadi rajin membeli piringan hitam
sebulan sekali. Ia juga membeli turntable
bekas di toko tersebut. Beruntung pula bagi Tadanobu selain karena toko itu
tidak terlalu ramai pembeli juga karena penjaga toko “Beside You” adalah
seorang wanita yang ramah dan menyenangkan. Wajahnya tidak cantik juga tidak
jelek, tetapi cukup mengesankan dan menarik. Dagunya hampir menyatu dengan
lehernya, seperti tidak ada garis batas yang jelas antara dagu dan leher,
tetapi bukan tipe leher yang bertumpuk karena lemak. Kepalanya mungil. Bentuk
mukanya seperti kacang kenari. Rambut hitam lurus sebahu dengan poni pendek
yang jatuh secara alami. Alisnya lurus tetapi cukup tebal untuk seorang wanita.
Jarak antara kedua matanya terkesan agak terlalu jauh padahal semisal diukur
dengan penggaris sepertinya masih terhitung dalam jarak yang semestinya. Diluar
semua ketidaksinkronan bentuk, ukuran, dan proporsi wajahnya, matanya bening
dan memiliki sorot ketenangan yang tak tergoyahkan. Ia juga tergolong wanita
yang berdedikasi tinggi pada pekerjaannya. Ia masih tetap hangat dan informatif
walaupun melayani para pengunjung yang sekedar mampir untuk menggodanya. Ia sering
mengajak ngobrol para pelanggannya tak terkecuali Tadanobu. “Selamat datang
Tuan Tadanobu, bagaimana hari Anda petang ini?” adalah sapaan khas si wanita
kepada Tadanobu. Tadanobu tidak menjawab. Walaupun begitu, sering si wanita
mengutarakan gagasannya seketika itu juga kepada Tadanobu, “Potongan rambut Anda
agak sedikit berbeda. Menjadi terlihat lebih segar.” Tadanobu diam saja. Akan
tetapi jika si wanita penjaga toko beruntung, Tadanobu akan membalas dengan
senyum singkat saja. Tadanobu tergolong tipe orang yang bergerak berdasarkan
kepentingannya belaka. Ia cuma akan menanyakan tentang piringan-piringan hitam
dan aksesoris turntable saja.
Akan
tetapi kali ini Tadanobu tak melihat sosok si wanita tersebut manakala menembus
Toko “Beside You”. Secara tidak sadar, Tadanobu sekonyong-konyong memiringkan
kepalanya ke kiri sedikit. Suasana menjadi sunyi seketika tanpa racauan
berbagai macam bunyi yang bercampur aduk. Tak ada suara yang masuk ke gendang telinganya
sekitar dua puluh tiga detik. Posisi kepalanya masih tetap miring sampai
gendang telinganya dapat menangkap gelombang suara lagi. Aneh. Harusnya saat
ini juga si wanita masih dalam jadwal shift menjaga toko. Tidak biasanya.
Mungkin sakit, pikirnya. Atau ada keperluan, pikirnya lagi. Tanpa bertanya
tentang si wanita murah senyum kepada penjaga toko penggantinya, Tadanobu
melanjutkan menembus Toko “Beside You”
sambil mengucapkan terima kasih. Terima kasih karena telah mengijinkannya
lewat. Si penjaga pengganti membalas senyuman Tadanobu dengan dengusan pendek.
Pagi
berikutnya di studio, Tadanobu masih berkutat dengan gambar-gambar komiknya.
Masih seperti hari sebelumnya, masih di tahap sketsa dengan pensil dan
penghapus, masih sama seperti kemarin. Dalam seminggu Tadanobu lebih suka
mengerjakan dua sampai tiga episode sekaligus―memadatkan jadwal agar Tadanobu
dapat mengambil cuti beberapa hari―dengan satu kali kunjungan rutin ke editor
tiap Kamis sore untuk menyerahkan naskahnya. Hari ini Senin sore. Selasa dan
Rabu untuk tahap inking, rendering, lanjut editing di komputer hingga Kamis siang.
Studio
Tadanobu berdiri tiga tahun lalu, sejak saat itu ia tinggal di dalam studionya
sendiri agar lebih banyak waktu yang ia hemat. Lebih baik waktunya diefektifkan
untuk tidur daripada habis di jalan. Akan tetapi setahun terakhir ini Tadanobu
hampir harus selalu pulang ke rumah ibunya di Fujitaro karena sesuatu hal.
Tadanobu merasa mual jika mengingat harus bergulat dengan kenyataan.
Seumpama
bisa terus melanjutkan hidup tanpa keluar studio, maka Tadanobu dengan senang
hati akan melakukannya. Prinsip hidup Tadanobu adalah berdasarkan kesesuaian,
keseimbangan, keteraturan, dan rutinitas. Tadanobu akan terus memperjuangkan
pola hidupnya yang seperti itu. Sungguh sayang, pada kenyataannya hidup
Tadanobu tidak akan pernah semudah itu.
Ia tidak bisa selamanya tidak keluar selangkah pun dari studionya―dunia kecil
yang bisa ia atur semaunya agar seusuai dengan prinsip hidupnya. Apabila
orang-orang atau rekan membutuhkannya, silakan saja datang ke rumah studionya.
Ia tidak akan pernah bisa menerapkan aturan seperti itu. Ia tetap harus keluar
dari “rumah”-nya. Yang artinya keluar “rumah” adalah memperbanyak kemungkinan
segala bentuk ketidaksinkronan bersentuhan langsung dengan dirinya dan tentu
saja hal tersebut akan mampu melimbungkannya sedikit demi sedikit. Ia tetap
harus keluar studio untuk bertemu editornya seminggu sekali, belanja bahan
makanan seminggu sekali―kemudian menumpuknya di kulkas sebanyak mungkin
terutama makanan kalengan dan siap saji―, ditambah dengan fakta bahwa sekarang
ia harus melalui lautan manusia sehari dua kali untuk pulang pergi dari studio
ke rumah ibunya. Ia membenci keramaian manusia tetapi sekaligus tidak bisa
mengacuhkan para manusia yang telah berusaha beramah tamah dengannya―karena
prinsip keseimbangannya itu, aksi sama dengan reaksi, harus seperti itu.
Tadanobu akan membalas mereka sekenanya. Kadang bertegur sapa sedikit, tersenyum
sepantasnya sedikit, dan melambai sedikit. Tadanobu merasa kram pada perutnya.
Rasa
Senin sore hari ini masih sama seperti rasa Minggu sore kemarin. Tidak ada yang
berubah. Pekerjaan masih sejumlah pekerjaan kemarin, tak ada kemajuan yang
signifikan. Sore hari hujan rintik-rintik masih sama dengan hujan rintik-ritik
kemarin―mungkin jumlah dan kecepatan tetesannya juga masih sama persis dengan
jumlah dan kecepatan tetesan hujan Minggu sore kemarin. Sepertinya dunia masih
berputar pada tempatnya. Dunia tampak indah dalam sekejap. Dan tentu saja
keramaiannya masih sama seperti Minggu sore kemarin. Mungkin hanya akan
bertambah jumlah orang yang membawa payung dibandingkan hari kemarin―dunia
Tadanobu oleng walau sedikit. Pemilik warung oden Eita-san juga masih menyapa
seperti kemarin, “Tadanobu! Kemarilah! Merapat ke sini. Mampir dulu, hujan.”
Tadanobu juga masih mengulang lambaian tangan kepada pemilik warung oden
sebagai tanda “lain waktu saja saya mampir”. Ketiadaan si wanita penjaga toko
pun masih sama mengagetkannya seperti kemarin. Dunia kembali tampak indah
seketika. Sampai-sampai Tadanobu tidak sadar bahwa si wanita yang tak cantik
dan tak jelek tetapi menarik sudah berhenti kerja sejak sepuluh hari yang lalu.
Dunia memang berjalan seperti yang seharusnya. Tidak ada pergeseran sedikitpun.
Seperti inilah dunia yang sempurna―bagi Tadanobu. Bisa jadi Tadanobu akan mulai
tersadar tentang ketidakberadaan si wanita, andaikata si pejaga pengganti telah
menegur Tadanobu. Dan benar! Si penjaga pengganti menegur Tadanobu setelah enam
kali berturut-turut Koji Tadanobu seenaknya keluar masuk pintu belakang Toko “Beside
You”. Lantas Tadanobu berangsur-angsur mulai sadar tentang ketiadaan si wanita
mantan penjaga Toko “Beside You”.
“Kemana
perginya wanita penjaga toko sebelummu?” tanya Tadanobu kepada si penjaga
pengganti dengan nada datar. Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya
tanpa perlu melalui portal pusat kesadarannya.
“Ia
berkata kepadaku bahwa ia telah mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dengan
penghasilan yang lebih baik pula,” jawab si penjaga pengganti ketus.
“Dimana?”
tanya Tadanobu lagi.
“Ia
tidak memberitahukan detailnya kepadaku.” Percakapan berhenti sampai di situ.
Keduanya
secepat mungkin memalingkan muka. Si penjaga pengganti kembali bertugas sebagai
si penjaga toko di balik meja kasir seraya sibuk memainkan pena entah menulis
apa. Sedangkan Tadanobu berjalan menjauhi pintu belakang tempat ia biasa
memotong jalan.
Selagi
Tadanobu akan membuka pintu ke arah luar, ia berbalik menghadap si penjaga
pengganti dan bertanya, “Siapa namanya?”
“Siapa
yang mana?” Si penjaga pengganti mendongak sedikit dan balik bertanya.
“Si
wanita penjaga toko sebelummu.”
“Aku
tak tahu,” jawab si penjaga pengganti singkat.
“Sama,”
jawab si Tadanobu lebih singkat.
Aku
akan membungkus oden untuk ibu, batin Tadanobu. Tadanobu menutup pintu toko dan
berbalik mampir ke warung oden. Dunianya mulai oleng.
“Apakah
Tadanobu-san tidak tau kalau wanita penjaga toko yang biasanya Tadanobu-san
tembus itu sudah tidak bekerja di situ?” tanya pemilik warung oden.
Tadanobu
menggeleng.
“Aneh,”
kata kata si pemilik warung.
Tadanobu
menatap lawan bicaranya dengan pandangan tidak mengerti. Ia pun tak mengerti
bagaimana orang-orang ini dapat mengetahui namanya. Koji Tadanobu. Padahal sedikit pun ia tidak
pernah ingat kapan ia memperkenalkan diri kepada mereka sebagai Tadanobu. Namun
Tadanobu membiarkan pertanyaan itu terus menggema di kepalanya tanpa perlu
jawaban, mungkin jawabannya “yasudah begitu saja, terjadilah saja”, seperti itu
saja. Tadanobu hanya mampu mengerti bahwa wajar saja jika ia tidak mengetahui
nama mereka satu persatu karena memang begitu adanya, ia tidak pernah
berkenalan satu persatu dengan mereka―kendatipun ia bertemu dengan mereka setiap
hari. Tetapi ia merasa ada sesuatu yang salah andaikata seseorang mengetahui
namanya sedangkan ia sendiri tidak tahu nama orang tersebut. Walaupun Tadanobu
orang yang seenaknya, Ia merasa ada ketidakserasian atas hal tersebut. Hukum
aksi-reaksi sepertinya tidak berjalan secara semestinya. Dan itu mengganggu
kesadarannya. Dunia Oleng, begitu Tadanobu menyebutnya.
Sekadar
kebetulan saja, Tadanobu tahu nama si pemilik warung oden dari nama warungnya
“Warung Oden Eita-san”, yang artinya si pemilik bernama Eita. Secara kebetulan
pula Tadanobu mengetahui nama lelaki pemilik warung sake kecil persis di
seberang studionya―yang entah darimana lelaki itu juga tahu nama Koji
Tadanobu―, dari papan nama warungnya. Jadi
kami impas, begitulah menurut hukum Tadanobu, besar aksi harus sama dengan besar
reaksi. Tadanobu tidak pernah terlalu berusaha untuk menemukan nama seseorang
yang juga mengetahui nama Tadanobu. Semuanya sekadar berdasarkan
kebetulan-kebetulan belaka. Hanya pada satu kasus ini saja, yaitu si wanita
yang tak cantik juga tak jelek ini, Tadanobu tak kunjung menemukan kebetulan
itu hingga ia membiarkan saja ketimpangan itu berlalu begitu lama. Barangkali
Tadanobu merasa aman karena berpikiran bahwa wanita itu tidak akan pernah pergi
kemana-mana. Atau mungkin saja karena pembawaan wanita itu memancarkan
ketenangan yang mendalam―bahkan ketika ia bersuara pun, terkesan seakan-akan ia
adalah automatic machine―sehingga
kadang keberadaan wanita itu sendiri malah menjadi tidak kentara. Entah itu
keberuntungan atau malah petaka. Dan sekarang wanita itu menghilang entah
kemana. Tadanobu harus mencarinya. Tadanobu harus mengetahui namanya, entah
dengan cara apa. Dunia Tadanobu seakan-akan bergeser keluar jalur.
“Sepertinya
sudah seminggu lebih wanita itu tidak bekerja lagi di Toko Piringan Hitam
‘Beside You’ sedangkan Tadanobu-san setiap hari masuk ke toko itu dan baru
sekarang Tadanobu-san sadar kalau wanita penjaga toko itu sudah tak pernah
muncul lagi. Agak ganjil rasanya, Tadanobu-san.” Suara Eita si pemilik warung
oden sayup-sayup terdengar seperti baru saja datang dari tempat yang jauh.
“Eita-san,
apakah Eita-san tau nama wanita itu?” tanya Tadanobu kembali menduduki
kesadarannya lagi.
“Sama
sekali tidak, Tadanobu-san,” jawab Eita seraya memasukkan oden ke kantong
plastik untuk ibu Tadanobu.
Tadanobu
mengucapkan terima kasih atas odennya dan pulang dengan agak limbung. Dalam
perjalanan ia memikirkan apakah sebaiknya ia bertanya lagi pada si penjaga
pengganti itu. Akan tetapi ia juga tahu bahwa ia tak akan semudah itu mendapatkan
nama si wanita dari si penjaga pengganti walaupun ia meminta bertemu dengan
pemilik tokonya. Maka Tadanobu terus memikirkan cara-cara lain. Ia ingin segera
meletakkan segala sesuatu kembali berada di tempatnya masing-masing.
Sepuluh
hari berlalu. Petang hari, hujan masih rintik seperti petang-petang sebelumnya.
Walaupun ia masih terbebani dengan usaha pencarian nama si wanita penjaga toko, hari-hari Tadanobu masih
berjalan seperti semestinya. Memandang-mandangi kertas gambar, menyeketsa,
menghapus sketsa, menyeketsa lagi, setiap petang pulang ke rumah ibunya,
paginya pergi lagi ke studio di tengah Kota Danbashi. Dan tetap memotong jalan
dengan menembus Toko “Beside You” juga tetap membeli piringan hitam sebulan
sekali. Tadanobu tidak pernah mengeluh dan bosan dengan rutinitasnya itu.
Sebulan,
dua bulan, tiga bulan, masih juga sama seperti hari-hari, minggu-minggu, dan
bulan-bulan sebelumnya. Tak ada perubahan yang terlalu kentara. Hanya saja
hujan sudah bosan turun rintik-rintik. Hujan menjadi deras dengan titik-titik
hujannya yang bulat besar-besar. Juga belum ada kemajuan yang berarti mengenai pencarian
nama wanita itu. Dunia Tadanobu masih oleng, walau sudah tidak terlampau oleng
seperti tiga bulan yang lalu.
Tadanobu
ingin sejam dua jam tidak memikirkan nama wanita itu. Nama yang bahkan ia tidak
tahu bagaimana ia harus menuliskannya, dan sekeras apapun memikirkan cara
menemukan nama wanita itu, ia tak kunjung sampai pada ujung pangkalnya.
Rasa-rasanya persoalan nama itu mengambang di tengah laut yang tenang. Maka ia
pergi menonton bioskop. Film 1990 sedang diputar di bioskop. 1990 dimainkan
oleh Robert De Niro dan Gerard Depardieu. Film yang cukup panjang. Dalam 317
menit Tadanobu telah berhasil tidak berpikir apa-apa kecuali film yang
mengambil setting di banyak negara Eropa. Lumayan, berjalan-jalan virtual dan
memanjakan mata tanpa terganggu oleh hiruk-pikuk sekitar karena semua orang
duduk manis di tempat duduk masing-masing, pikir Tadanobu.
Tadanobu
keluar ruang studio bioskop paling akhir. Membaca sampai habis nama-nama pemain
dan orang-orang di balik layar. Iklan pun ia baca hingga tak tersisa. Selepas
berdiri dari kursinya, ia mendongak ke kursi depannya yang telah kosong. Dompet
wanita berbahan kulit berwarna hitam tertinggal di kursi depannya. Ia membuka
dan melihat apa isi dompet tersebut, tentu saja ada sejumlah uang di dalamnya.
Lantas ia membuka bagian kartu identitas pemilik dompet tersebut. Ia menemukan
bahwa foto di kartu identitasnya adalah foto wanita yang sudah lama dicarinya.
Tulisan “Mayumi Shouta” tertera di sebelah fotonya. Ia merasakan sensasi mati
rasa sejenak di tubuhnya. Ia mengulang lagi membaca nama di kartu identitas
tersebut seraya melafalkan nama itu pelan. Mayumi Shouta.
Bagaikan
dihembus angin laut, rongga perut Tadanobu berdersir malu-malu. Tangannya mati
rasa dan tubuhnya membatu perlahan. Seketika itu juga, sosok wanita itu
lambat-lambat muncul di hadapannya mulai dari ujung kaki, pinggang, perut,
dada, tangan, leher, hingga kepala. Menyembul dari tanah menyeruak ke atas bak bangunan
tinggi yang dibangun dari kaki pondasi hingga bagian atap gedung yang
dipercantik dengan parabola di atasnya. Bangunan yang dibangun secara runut, cermat,
juga cepat oleh makhluk ajaib kemudian dalam sekejap bangunan itu menjadi utuh,
tinggi, kokoh, dan anggun serta sedap dipandang. Mayumi Shouta muncul mengenakan sepatu pantofel hitam mengkilat, rok selutut berlayer-layer dari bahan sifon ungu, kemeja katun putih dengan setelan jas warna abu-abu kebiruan, dan topi mungil yang warnanya senada dengan
warna rok sifonnya turut mempermanis penampilannya. Warna rambutnya diubah menjadi burgundi. Namun tatanan
rambutnya masih sama, lurus sebahu dengan poni yang jatuh alami di atas alis. Matanya
juga masih bening mempesona. Bening yang sangat bening hingga tak akan ada yang
tega mengoyak-ngoyaknya. Tanpa sempat ditakjubi berlama-lama, lantas si wanita bersuara.
“Kenichi-kun?”
tanya wanita dengan suara yang masih sama seperti yang ia kenal dulu, suara
yang membawa angin ketenangan mendalam dan tak tergoyahkan seakan-akan ia
adalah automatic machine.
Berbalik
arah. Kini giliran Tadanobu yang menghilang perlahan. Menipis kemudian lenyap
seketika bak debu yang membuar meledak. Tadanobu masuk ke dalam dunia
ketiadaan.
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar