Kamis, 02 Mei 2013

Yelda

Oleh Failasufa Karima An-Nizhamiya



Musim Panas, June 22th 2013.
Yelda menulis. Mulai menulis.
----


(..............)



Sore yang hangat. Derya merenungi wajahku. Pelan, perlahan, lantas tajam dan serius setengah mati. Kedua telapak tangannya saling bersatu dan mengepal menyangga dagunya―sampai lepek cangkir yang terbuat dari sterofom serupa waffle di bawah sikunya, penyok.
“Yakin?”
“Tak butuh yakin, aku tentu telah siap.” Aku menyahut dengan dorongan kemantaban yang telah akut.
“Jadi?”
“Iya. Jadi! Mengapa kau meragukanku? Aku benar-benat 100% siap.”
“Begini, kau tau akibat dari tukar-menukar ini, perjanjian ini, bisnis ini, dan yakin―tak hanya yakin, tetapi siap―tak akan menyesal?”
“Tidak sekali pun.”
“Baiklah.”
“Jadi? Kenapa kau berputar-putar saja dari tadi? Menghindari ujung? Tak mau bertemu ujung? Kau ini kenapa? Sudah! Cepatkan saja.”
Derya menghembuskan nafas singkat sebelum memulai prosesi mengiyakan perkara ini dan sedikit meregangkan jari tangannya dan menyesap secangkir caramel macchiato miliknyakadang Ia juga menyerobot milikku kalau aku memesan espresso juga. Kadang. “Oke.” Ia mengetuk-ngetuk bibir cangkir dengan sendok. Satu-dua-tiga-empat ketukan. Dan berhenti. “Kau sudah tau aturan mainnya kan?”
Oh shit! Tentu aku sudah hafal! Berhentilah kau bertele-tele. Kau tak biasanya bertele-tele seperti ini dalam menangani kasus. Kau biasanya masa bodoh akan masalah orang. Yang penting kau dapat duit, selesai. Sejak tadi berpanjang-panjang saja! Ah, kau itu. Bikin aku naik darah.”
“Soryyy.... Hhhhh...” Derya menghela nafas lagi.  “Satu, dua, Mulai!” Lalu ia tegakkan badanya, menepuk-nepuk kedua ujung lengan kemejanya bergantian, hanya agar terlihat lebih resmi dan mantap. “Oke. Kau tadi berkata bahwa kau telah yakin bahkan siap untuk meminta tolong padaku agar aku naksir kekasihmu, Hugo. Benar?”
“Iya.”
“Dan kau tak akan menyesalkan jika ternyata Hugo bukan lelaki yang tepat untukmu lantas ia akan segera bertemu dengan jodohnya yang artinya kau juga akan segera ‘kau-tau-apa-yang-kumaksud’. Siap?”
“Iya. Siap.”
“Yakin?” Ia kembali menanyakannya lagi.
“Iya. Iya. Yakin! Justru itulah yang kuharapkan. Agar cepat-cepat selesai. Sekarang atau besok-besok-besok-besonya lagi, toh hasilnya sama saja.” Dan aku bertambah geram pula padanya. Kupelototi gadis bermata coklat di depanku agar segera diselesaikannya perkara ini.
“Yasudah. Kukabulkan.” Derya menyetujui dengan geram lantas menyodorkan telapak tangan kanannya ke arahku. “Sini bayar!”
“Dasar gila! Kau itu, belom apa-apa sudah minta bayar.” Aku balas menampik tangannya.
“Lah, kau kan sudah tau cara kerjaku. Dan itulah kesepakatannya, bayar dimuka. Kalau tak ikut-ikut gila, ya tak dapat duit. Lagipula pekerjaan ini, hanya aku yang bisa. Mengatur hati lebih susah ketimbang mengatur otak.”
“Monopoli.” Aku mencibir.
Orang-orang tetap berlalu lalang, masing-masing tak ada yang peduli pada pelanggan lain Kedai Kopi ini. Terkecuali pelanggan atau calon klien Derya. Mereka menatapku hingga aku nyaris gosong dibuatnya. Kuartikan mereka hendak mengusirku dengan tatapan berangnya. Aku memilih aman, pergi. Derya masih tetap duduk disinggasananya. Bersiap menghadapi klien berikutnya.



~O~



Derya Patel adalah temanku. Anggap saja dia sahabatku―karena aku tak tau apakah ia juga menganggapku sahabat. Nah! Aku pertama kenal ia, ya di sini ini, Kedai Kopi 382, di 382 Colombo Avenue. Aku mengenalnya pun karena aku salah satu kliennya. Ini ketiga kaliya aku memakai jasanya. Mau tak mau, kliennya harus menemuinya di sini dengan setidaknya memesan dua beverage untuk si klien dan Derya sendiri. Bukankah itu cukup menguntungkan Kedai ini? Bosnya pun mempersilakan usaha itu digelar di sini. Saling menguntungkan katanya.
Kedai semakin laris ketika Derya Patel bekerja di sini. Bukan karena dia cantik, bukan! Dia memang cantik, matanya bulat almond juga tajam, bola matanya coklat, alisnya hitam tebal, garis mukanya tegas, warna kulitnya matang, Ia peranakan Turki-India. Tapi bukan itu yang kumaksudkan. Dia dikutuk. Iya. Dia itu dikutuk. Itu yang kumaksud! Derya Yang Dikutuk!


----
“Yelda... Yelda... “ Anne** memanggil dengan sedikit berteriak, “Makanlah dulu. Jangan sampai kau lupa makan. Makanlah. Istirahat. Anne barusan membawa pulang Kafta Tahini dan Babaganoush dari Gazala di Colombo Ave.”
“Iya, sebentar Anne. Aku tak suka menangguhkan pekerjaan.”
“Yasudah. Nanti dimakan ya nak. Anne taruh makanannya di meja. Anne mau pergi lagi.”
“Iya Anne.”
Yelda mengetik lagi.
---- 



Derya Patel menjadi tersohor dikarenakan rumor kutukan padanya yang Maha Dahysat. Mengenai kutukan itu, penjelasannya seperti ini : Andaikata si gadis yang dikutuk ini naksir seseorang, lelaki yang ia taksir―yang sebelumnya single, tahu-tahu beberapa minggu kemudian lelaki itu sudah double, tak lagi single. Entah masuk jenjang pernikahan atau pada tahap kencan serius saja―maksudku tinggal satu flat. Tentunya dengan orang lain dan bukan dengannya. Begitu seterusnya, berkali-kali. Entah ia mendapatkan kutukan itu dari mana. Yang jelas, pada akhirnya Derya memanfaatkan kutukannya menjadi komoditas dagang yang ia monopoli sendiri. Mengenai cara transaksinya, penjelasannya seperti ini : Jika si target cukup punya modal agar mudah ia taksir, maka bayarannya tak terlampau mahal, waktu yang dibutuhkan dari mulai sampai selesai perkara juga tak memakan waktu banyak. Pun sebaliknya. Pembayaran dilakukan dimuka. Satu pelanggan memakan waktu rata-rata dua setengah bulan―berlaku untuk klien pas-pasan, sudah termasuk masa recovery Derya. Kadang Derya juga menolak tawaran karena terlalu banyak antrian target atau bisa juga karena target tak menarik hatinya. Lalu...



~O~



Aku sudah nyana bahwa Derya Patel sedang bermasalah! Karena dia nampak aneh sekali sore tadi. Sekonyong-konyong ia muncul di depan pintu flatku di bilangan West 76th Street sembari merutuki dinginnya angin malam. Ia kehujanan karena tak membawa payung. Aku membuka pintu disebabkan rutukannya yang begitu keras. Suaranya itu lho, alto yang menggelegar walau hanya rutukan pendek-pendek―namun berkali-kali hingga menyerupai ketukan pintu orang yang sedang marah. Ia langsung masuk ke dalam flatku dengan beringasnya―tentunya setelah melepas sepatu dan menggantungkan coat panjangnya yang basah. Menuju dapur tanpa kupersilakan terlebih dahulu. Membuat secangkir kopi hitam arabica―satu-satunya kopi yang ia senangi diantara jajaran koleksi kopi-kopi milikku. Menaruh secangkir kopi panas hitam arabica di atas meja makanku. Lalu menghentakkan tubuhnya dengan mantap di kursi makanku. Membuka tas kulit selempangnya, mengambil buru-buru salah satu dari amplop-amplop―yang kurasa amplop dari para pelanggannya―yang ada di dalam tasnya. Dan langsung menggebrakkan selembar amplop ke atas meja. Aku meliriknya sekilas. Amplop dari Nikola Hampton.
“Ia meminta padaku agar aku menyukainya.” Derya langsung menatapku, lagi-lagi dengan tatapan tajam. Lalu matanya beralih ke Amplop bertuliskan ‘From : Nikola Hampton. West 72th Street.’ “Maksudku, aku harus menyukai Nick. Aku sudah menolaknya. Lalu Nick datang lagi. Datang lagi dan datang lagi. Dan aku terus menolaknya. Akhirnya Nick membayarku hingga lima kali lebih tinggi daripada yang kuminta. Nichola cukup rupawan. Biru. Bola matanya berwarna biru. Berbeda dengan warna bola mataku. Aku menyukai matanya yang biru bening,” Sahabatku, Si Gadis Turki-India bermata bulat almond, mengatakannya dengan emosi yang perlahan-lahan mereda. Dan makin lama, cara penuturannya menjadi penuh kelembutan, “dan menenangkan. Juga alisnya yang tebal. Juga bulu matanya yang lentik. Badannya yang tegap. Aku juga suka suara Nick yang dalam.” Kemudian ia menyesap sedikit kopi panas hitam arabica.
Aku menarik kursi di sampingnya lalu duduk di hadapannya. “Iya. Lalu, apa masalahnya? Apalagi Nick memberimu upah lima kali lipat! WOW! Lagipula Si Nick punya cukup modal untuk kau takjubi dan kemudian kau taksir? Bukankah itu perkara gampang sekali? Itu namanya, double jackpot! Berkah! Kau sedang kejatuhan kemujuran, tau! Coba bandingkan dengan kasus-kasusmu sebelumnya yang bahkan ada kakek-kakek yang memohon-mohon padamu agar kau suka pada kakek-kakek itu. Juga ada wanita yang sungguh-sugguh desperado hingga sanggup berlutut di kakimu agar kau suka pada gadis gila itu. Hahahahahhahaha.”
“Aku tetap tak menerima mereka sebagai klienku.” Ia berkata dengan nada serius. Rupanya leluconku tak berfungsi sama sekali.
“Lah? Kenapa?” Sahutku serius juga, berusaha mengimbangi. Derya memang orang yang serius.
“Justru karena aku tak ingin suka pada Nick. Makanya aku menolaknya menjadi klienku.” Ia menyesap kopinya lagi, sedikit. Lalu menaruhnya kembali di atas meja.
“Iya. Mengapa kau tak ingin suka pada Si Nick yang tampan?” Rupanya saat ini aku harus menjadi orang yang tenang untuk mendampingi orang yang sedang tak tenang pikirannya.
“Karena aku bener-benar tak ingin suka padanya. Aku ingin tak menjadi Derya Yang Dikutuk lagi. Hanya ingin menjadi Derya yang tanpa kutukan.
“Lho lho lho, kau ini kan Sang Pesohor kota ini, Sang Pecinta yang piawai.”
Sekaligus Sang Gadis Yang Berkali-Kali  ‘kau-tau-apa-yang-kumaksud’.” Derya menyahut pelan sembari melemparkan pandangan yang seorang-olah aku mengerti maksudnya ‘kau-tau-apa-yang-kumaksud’―Iya aku memang sudah mengerti maksudnya. Sahabatku ini muak menggunakan frasa ‘patah-hati’ pada kata patah hati, maka frasa itu digantinya dengan frasa yang lebih ruwet dan panjang, menjadi ‘kau-tau-apa-yang-kumaksud’. Lanjutnya, “Dan selalu akan masuk ke pola yang sama lagi. Akan naik, turun, lalu naik lagi mencuat tinggi mentok ke langit dan turun hingga ke bumi berdebum hancur luluh lanta, lagi. Dan ketika harus naik lagi, maka aku harus turun lagi. Lagi dan lagi. Mauku itu, andaikata datang masa aku harus naik, ya sudah naik terus saja, tak usah turun. Bisa tidak? Kalau tak bisa, aku tak ingin naik lagi. Agar tak usah turun lagi. Kau mengerti apa maksudku?”
“Sejujurnya, aku kurang mengerti. To the point, kurasa itu pilihan yang lebih baik jika kau mau.” Jawabku.
“Jadi begini, Nick itu 100% Sempurna* menurutku untukku. Akan muncul rasa suka, jika aku mengijinkan rasaku memilih naik. Dan kalau sampai aku mengijinkan rasa sukaku kepada Nick menjalari tubuhku, maka artinya Nick akan segera bertemu dengan jodohnya. Kau tau tentang aturan kutukan itu padaku, ‘kan?”
“Iya. Lantas?”
“Ya artinya Nick akan bertemu jodohnya! Kau tak mengerti-mengerti maksudku dari tadi, ah!” Mata Derya mulai memunculkan gejala menampakkan tatapan keberingasannya. “Oleh karena itu, sore tadi aku menanyaimu tentang kesiapanmu kalau-kalau Hugo-mu ada kemungkinan akan berjodoh tidak denganmu. Yang artinya, kau harus berpisah dengan Hugo. Dan Hugo-mu akan bersama jodohnya gara-gara aku suka pada pacarmu, kalau memang kau bukan jodoh Si Hugo.”
“Oh... Aku mengerti sekarang. Lalu, mau bagaimana lagi kalau memang tidak jodoh? Yasudah, ‘kan? Relakan saja. Nanti juga akan bertemu jodoh.” Aku mencoba menenangkan.
“Iya. Tapi sampai kapan kalau aku terus menerus menggerus-nggerus hati seperti ini? Kali ini aku tak rela sama sekali merelakan Nick. Ia sudah 100% Sempurna menurutku, walaupun mungkin aku bukan 100% sempurna menurut Nick-Yang-Tampan.” Derya melirikku, mungkin karena aku menyebut Nick, Nick-Yang-Tampan.
“Tapi ada kemungkinan juga bahwa Nick tertarik padamu dan benar-benar memintamu untuk menyukainya balik. Siapa tau, Si-Mata-Biru-Yang-Tampan memang tertarik padamu?” Aku suka menggoda Derya kalau ia sedang nampak menyedihkan seperti ini. Si-Mata-Biru-Yang-Tampan. Kurasa Derya senang dengan nama-nama yang kuberikan untuk Nick.
“Justru itu... Aku tak tega pada Nick dan pada diriku sendiri jika aku bukan jodoh Nick. Nick akan ‘kau-tau-apa-yang-kumaksud’. Begitu juga denganku.”
“Kau lebih tak tega pada dirimu sendiri atau tak tega pada Nick? Pada dirimu sendiri, ‘kan? Jujur sajalah... Kalau memang benar Nick menyukaimu dan Nick tau profesi terselubungmu itu apa, nyatanya Si-Tampan-Nick tetap mendatangimu dengan segala resikonya andaikata kau, Derya Yang Dikutuk, bukan jodohnya. Nick pasti akan ‘kau-tau-apa-yang-kumaksud’ padamu, Derya...”
“Tapi Nick akan segera bertemu jodohnya. Nick sama-sama untung jika akan ambil kiri atau kanan. Dan aku? Bagaimana? Aku akan bagaimana? Apa yang akan terjadi padaku? Jatuh turun dan bedebum lagi?” Sahabatku yang bermata almond bulat nampak meletup-letup tak terkendali. Suaranya yang alto sudah tak tampak lagi, malah hampir mirip lengkingan suara piano rusak di tuts nada tinggi, naik dua oktaf dari biasanya.
“Mengapa kau jadi mengasihani diri sendiri?”
“Aku sedang tidak mengasihani diri sendiri. Aku hanya tak tahu harus bagaimana? Aku harus mengabulkan permintaan Nick, begitu menurutmu? Atau aku tetap menolak permintaannya? Jika Nick datang lagi padaku esok hari, aku harus bagaimana? Aku harus menjawab apa?”
“Yasudah. Sekarang aku ingin bertanya padamu. Sebenarnya maumu apa? Kepinginanmu itu bagaimana? Karepmu ki piye? ―kalau dalam bahasaku, begitu pengucapannya.”
“Ya... Yang kumau itu, ya... Aku tak ingin Nick tak menemuiku lagi atau berjodoh dengan orang lain. Yang kumau, ya Nick berjodoh denganku. Nick pun tetap rutin datang menemuiku. Dan aku bisa menatap matanya. Sudah itu saja.”
“Yasudah. Kau kabulkan saja permintaan Nick. Terima saja permohonan Nick yang telah kau tolak berkali-kali itu. Siapa tau kau, Derya Yang Dikutuk, Derya Si Pecinta Yang Piawai, adalah jodoh Nick. Dan siapa tau juga, Nick-Sang-Jodohlah objek dari kutukan terakhirmu. Beres, ‘kan?”
“Kalau aku bukan jodoh Nick, bagaimana?”
“Relakan saja.” Sebijak-bijaknya pemberi nasihat adalah dengan berkata ‘relakan saja’. Hahahaha. Aku hanya geli melihat sahabatku yang sedang tak terkendali. Parasnya yang cantik tiba-tiba saja berubah lucu di mataku. Derya menjadi seperti anak-anak. Anak SMP yang sedang meraung-raung pada ibunya. Memohon-mohon agar permintaannya dikabulkan.
“Kalau aku tak rela? Ah, aku hanya tak tau harus bagaimana. Aku belum siap menerima resiko kalau-kalau aku bukanlah jodoh Nick.”
“Masalahmu adalah kau, Derya, selalu memperumit masalah. Tinggal pilih menerima atau menolak permohonannya. Mau besok atau besok-besoknya lagi, lusa atau lusa-lusanya lagi. Terserah. Kau itu hanya tak berani memilih. Kau juga terlalu banyak maunya tapi tak mau menerima resiko. Sekarang, aku ingin bertanya lagi padamu. Saat ini, sekarang, kau sudah suka pada Nick atau belum?”
“Belum.”
“Yakin?” Aku mulai menggodanya lagi.
“Iya. Sangat yakin.”
“Yakin apa?” Dan aku tetap terus menggodanya lagi.
“Tentu yakin bahwa aku belum menyukai Nick!”
“Tapi kau sudah menunjukkan tanda-tanda suka padanya.” Sahutku.
“Aku bilang belum, ya belum! Aku kan bisa mengatur rasaku untuk memutuskan suka orang atau tidak suka orang.”
“Ah, sombong sekali kau rupanya. Lihat saja besok. Apakah Si-Tampan-Bermata-Biru itu akan datang lagi menemuimu dan masih tetap meminta-minta agar kau suka padanya, atau Nick tak akan datang lagi menemuimu? Lihat saja besok. Hahahhaha.”
“Ah, sudahlah. Aku pulang saja.” Derya menyesap kopinya lagi. Cepat-cepat.
“Kau hari ini sudah minum berapa cangkir kopi?”
“Ini cangkir kelima.” Derya meneguknya habis.



----
“Yelda... Yelda... Dari tadi kau belum makan juga?”
Anne pun mendatangi Yelda yang sedang syahdu merasuk di depan layar notebooknya. Anne mengelus pundak Yelda. “Tugas ini untuk kapan, nak?”
“Besok Anne.”
“Masih kurang banyak?”
“Tidak Anne. Sedikit lagi.”
“Oh yasudah. Oiya, tadi Anne tak sengaja ketemu Zack di Central Park. Ia sedang jogging sore. Ia menanyai kabar Baba dan Anne, dia juga titip salam buatmu. Dia bilang sudah lama kau tak mengabarinya.”
Yelda terdiam. .... “Yelda mau Kafta Tahini saja, An. Masih ada?”
“Masih. Sebentar ya nak, Anne ambilkan.” Anne pun mengambil makanan yang belum tersentuh oleh Yelda sama sekali, di meja makan.
----




“Kau tau tidak, sebenarnya aku iri padamu. Kau bisa mengatur dan memutuskan suka pada seseorang atau tidak suka dengan sesuka hatimu. Aku tak bisa.” Kataku.




----
“Tak usah Anne, Yelda ambil sendiri saja. Yelda mau makan sekarang.”
Save As: Derya Yang Dikutuk. Close. Shut Down. Yelda menutup notebooknya.
----




SELESAI

____________________

**panggilan untuk Ibu bagi orang Turki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar