Oleh Failasufa Karima An-Nizhamiya
Musim Panas, June 22th 2013.
Yelda menulis. Mulai menulis.
----
(..............)
Sore yang
hangat. Derya merenungi wajahku. Pelan, perlahan, lantas tajam dan serius
setengah mati. Kedua telapak tangannya saling bersatu dan mengepal menyangga
dagunya―sampai lepek cangkir
yang terbuat dari sterofom serupa waffle di bawah sikunya, penyok.
“Yakin?”
“Tak butuh yakin, aku tentu telah
siap.” Aku menyahut dengan dorongan kemantaban yang telah akut.
“Jadi?”
“Iya. Jadi! Mengapa kau meragukanku?
Aku benar-benat 100% siap.”
“Begini, kau tau akibat dari
tukar-menukar ini, perjanjian ini, bisnis ini, dan yakin―tak
hanya yakin, tetapi siap―tak
akan menyesal?”
“Tidak sekali pun.”
“Baiklah.”
“Jadi? Kenapa kau berputar-putar saja
dari tadi? Menghindari ujung? Tak mau bertemu ujung? Kau ini kenapa? Sudah!
Cepatkan saja.”
Derya menghembuskan nafas singkat
sebelum memulai prosesi mengiyakan perkara ini dan sedikit meregangkan jari
tangannya dan menyesap secangkir caramel macchiato miliknya―kadang Ia juga menyerobot milikku
kalau aku memesan espresso juga. Kadang. “Oke.” Ia mengetuk-ngetuk bibir
cangkir dengan sendok. Satu-dua-tiga-empat ketukan. Dan berhenti. “Kau sudah
tau aturan mainnya kan?”
“Oh
shit! Tentu aku sudah hafal! Berhentilah kau bertele-tele. Kau tak biasanya
bertele-tele seperti ini dalam menangani kasus. Kau biasanya masa bodoh akan
masalah orang. Yang penting kau dapat duit, selesai. Sejak tadi berpanjang-panjang
saja! Ah, kau itu. Bikin aku naik darah.”
“Soryyy.... Hhhhh...” Derya menghela nafas lagi. “Satu, dua, Mulai!” Lalu ia tegakkan badanya,
menepuk-nepuk kedua ujung lengan kemejanya bergantian, hanya agar terlihat
lebih resmi dan mantap. “Oke. Kau tadi berkata bahwa kau telah yakin bahkan
siap untuk meminta tolong padaku agar aku naksir kekasihmu, Hugo. Benar?”
“Iya.”
“Dan kau tak akan menyesalkan jika
ternyata Hugo bukan lelaki yang tepat untukmu lantas ia akan segera bertemu
dengan jodohnya yang artinya kau juga akan segera ‘kau-tau-apa-yang-kumaksud’. Siap?”
“Iya. Siap.”
“Yakin?” Ia kembali menanyakannya lagi.
“Iya. Iya. Yakin! Justru itulah yang
kuharapkan. Agar cepat-cepat selesai. Sekarang atau besok-besok-besok-besonya
lagi, toh hasilnya sama saja.” Dan aku bertambah geram pula padanya. Kupelototi
gadis bermata coklat di depanku agar segera diselesaikannya perkara ini.
“Yasudah. Kukabulkan.” Derya
menyetujui dengan geram lantas menyodorkan telapak tangan kanannya ke arahku.
“Sini bayar!”
“Dasar gila! Kau itu, belom apa-apa
sudah minta bayar.” Aku balas menampik tangannya.
“Lah, kau kan sudah tau cara kerjaku.
Dan itulah kesepakatannya, bayar dimuka. Kalau tak ikut-ikut gila, ya tak dapat
duit. Lagipula pekerjaan ini, hanya aku yang bisa. Mengatur hati lebih susah
ketimbang mengatur otak.”
“Monopoli.” Aku mencibir.
Orang-orang tetap berlalu lalang, masing-masing tak ada yang
peduli pada pelanggan lain Kedai Kopi ini. Terkecuali pelanggan atau calon
klien Derya. Mereka menatapku hingga aku nyaris gosong dibuatnya. Kuartikan mereka
hendak mengusirku dengan tatapan berangnya. Aku memilih aman, pergi. Derya
masih tetap duduk disinggasananya. Bersiap menghadapi klien berikutnya.
~O~
Derya Patel adalah temanku. Anggap saja dia sahabatku―karena aku tak tau apakah ia juga
menganggapku sahabat. Nah! Aku pertama kenal ia, ya di sini ini, Kedai Kopi 382,
di 382 Colombo Avenue. Aku mengenalnya pun karena aku salah satu
kliennya. Ini ketiga kaliya aku memakai jasanya. Mau tak mau, kliennya harus
menemuinya di sini dengan setidaknya memesan dua beverage untuk si klien dan Derya sendiri. Bukankah itu cukup menguntungkan
Kedai ini? Bosnya pun mempersilakan usaha itu digelar di sini. Saling
menguntungkan katanya.
Kedai semakin laris ketika Derya Patel bekerja di sini. Bukan
karena dia cantik, bukan! Dia memang cantik, matanya bulat almond juga tajam, bola
matanya coklat, alisnya hitam tebal, garis mukanya tegas, warna kulitnya
matang, Ia peranakan Turki-India. Tapi bukan itu yang kumaksudkan.
Dia dikutuk. Iya. Dia itu dikutuk. Itu yang kumaksud! Derya Yang Dikutuk!
----
“Yelda... Yelda... “ Anne** memanggil dengan sedikit berteriak, “Makanlah
dulu. Jangan sampai kau lupa makan. Makanlah. Istirahat. Anne barusan membawa
pulang Kafta Tahini dan Babaganoush dari Gazala di Colombo Ave.”
“Iya, sebentar Anne. Aku tak suka menangguhkan pekerjaan.”
“Yasudah. Nanti dimakan ya nak. Anne taruh makanannya di meja. Anne mau pergi
lagi.”
“Iya Anne.”
Yelda mengetik lagi.
----
Derya Patel menjadi tersohor dikarenakan
rumor kutukan padanya yang Maha Dahysat. Mengenai kutukan itu,
penjelasannya seperti ini : Andaikata si gadis yang dikutuk ini naksir
seseorang, lelaki yang ia taksir―yang sebelumnya single, tahu-tahu beberapa
minggu kemudian lelaki itu sudah double, tak lagi single. Entah masuk jenjang
pernikahan atau pada tahap kencan serius saja―maksudku tinggal satu flat. Tentunya
dengan orang lain dan bukan dengannya. Begitu seterusnya, berkali-kali. Entah
ia mendapatkan kutukan itu dari mana. Yang jelas, pada akhirnya Derya memanfaatkan
kutukannya menjadi komoditas dagang yang ia monopoli sendiri. Mengenai cara
transaksinya, penjelasannya seperti ini : Jika si target cukup punya modal agar
mudah ia taksir, maka bayarannya tak terlampau mahal, waktu yang dibutuhkan
dari mulai sampai selesai perkara juga tak memakan waktu banyak. Pun
sebaliknya. Pembayaran dilakukan dimuka. Satu pelanggan memakan waktu rata-rata
dua setengah bulan―berlaku untuk klien pas-pasan, sudah termasuk masa recovery Derya. Kadang Derya juga
menolak tawaran karena terlalu banyak antrian target atau bisa juga karena
target tak menarik hatinya. Lalu...
~O~
Aku sudah nyana bahwa Derya
Patel sedang bermasalah! Karena dia nampak aneh sekali sore tadi. Sekonyong-konyong
ia muncul di depan pintu flatku di bilangan West 76th Street sembari merutuki
dinginnya angin malam. Ia kehujanan karena tak membawa payung. Aku membuka
pintu disebabkan rutukannya yang begitu keras. Suaranya itu lho, alto yang menggelegar
walau hanya rutukan pendek-pendek―namun berkali-kali hingga menyerupai ketukan
pintu orang yang sedang marah. Ia langsung masuk ke dalam flatku dengan
beringasnya―tentunya setelah melepas sepatu dan menggantungkan coat panjangnya yang basah. Menuju dapur
tanpa kupersilakan terlebih dahulu. Membuat secangkir kopi hitam arabica―satu-satunya
kopi yang ia senangi diantara jajaran koleksi kopi-kopi milikku. Menaruh
secangkir kopi panas hitam arabica di atas meja makanku. Lalu menghentakkan
tubuhnya dengan mantap di kursi makanku. Membuka tas kulit selempangnya,
mengambil buru-buru salah satu dari amplop-amplop―yang kurasa amplop dari para
pelanggannya―yang ada di dalam tasnya. Dan langsung menggebrakkan selembar amplop
ke atas meja. Aku meliriknya sekilas. Amplop dari Nikola Hampton.
“Ia meminta
padaku agar aku menyukainya.” Derya langsung menatapku, lagi-lagi dengan
tatapan tajam. Lalu matanya beralih ke Amplop bertuliskan ‘From : Nikola Hampton. West 72th Street.’ “Maksudku, aku harus menyukai
Nick. Aku sudah menolaknya. Lalu Nick datang lagi. Datang lagi dan datang lagi.
Dan aku terus menolaknya. Akhirnya Nick membayarku hingga lima kali lebih
tinggi daripada yang kuminta. Nichola cukup rupawan. Biru. Bola matanya
berwarna biru. Berbeda dengan warna bola mataku. Aku menyukai matanya yang biru
bening,” Sahabatku, Si Gadis Turki-India bermata bulat almond, mengatakannya
dengan emosi yang perlahan-lahan mereda. Dan makin lama, cara penuturannya menjadi
penuh kelembutan, “dan menenangkan. Juga alisnya yang tebal. Juga bulu matanya
yang lentik. Badannya yang tegap. Aku juga suka suara Nick yang dalam.”
Kemudian ia menyesap sedikit kopi panas hitam arabica.
Aku
menarik kursi di sampingnya lalu duduk di hadapannya. “Iya. Lalu, apa
masalahnya? Apalagi Nick memberimu upah lima kali lipat! WOW! Lagipula Si Nick punya
cukup modal untuk kau takjubi dan kemudian kau taksir? Bukankah itu perkara gampang
sekali? Itu namanya, double jackpot! Berkah!
Kau sedang kejatuhan kemujuran, tau! Coba bandingkan dengan kasus-kasusmu
sebelumnya yang bahkan ada kakek-kakek yang memohon-mohon padamu agar kau suka
pada kakek-kakek itu. Juga ada wanita yang sungguh-sugguh desperado hingga sanggup berlutut di kakimu agar kau suka pada
gadis gila itu. Hahahahahhahaha.”
“Aku
tetap tak menerima mereka sebagai klienku.” Ia berkata dengan nada serius. Rupanya
leluconku tak berfungsi sama sekali.
“Lah?
Kenapa?” Sahutku serius juga, berusaha mengimbangi. Derya memang orang yang
serius.
“Justru
karena aku tak ingin suka pada Nick. Makanya aku menolaknya menjadi klienku.”
Ia menyesap kopinya lagi, sedikit. Lalu menaruhnya kembali di atas meja.
“Iya.
Mengapa kau tak ingin suka pada Si Nick yang tampan?” Rupanya saat ini aku
harus menjadi orang yang tenang untuk mendampingi orang yang sedang tak tenang
pikirannya.
“Karena
aku bener-benar tak ingin suka padanya. Aku ingin tak menjadi Derya Yang
Dikutuk lagi. Hanya ingin menjadi Derya yang tanpa kutukan.”
“Lho lho lho, kau ini kan Sang
Pesohor kota ini, Sang Pecinta yang piawai.”
“Sekaligus Sang Gadis Yang
Berkali-Kali ‘kau-tau-apa-yang-kumaksud’.” Derya menyahut
pelan sembari melemparkan pandangan yang seorang-olah aku mengerti maksudnya
‘kau-tau-apa-yang-kumaksud’―Iya aku memang sudah mengerti maksudnya. Sahabatku
ini muak menggunakan frasa ‘patah-hati’ pada kata patah hati, maka frasa itu
digantinya dengan frasa yang lebih ruwet dan panjang, menjadi ‘kau-tau-apa-yang-kumaksud’. Lanjutnya,
“Dan selalu akan masuk
ke pola yang sama lagi. Akan naik, turun, lalu naik lagi mencuat tinggi
mentok ke langit dan turun hingga ke bumi berdebum hancur luluh lanta, lagi.
Dan ketika harus naik lagi, maka aku harus turun lagi. Lagi dan lagi. Mauku
itu, andaikata datang masa aku harus naik, ya sudah naik terus saja, tak usah
turun. Bisa tidak? Kalau tak bisa, aku tak ingin naik lagi. Agar tak usah turun
lagi. Kau mengerti apa maksudku?”
“Sejujurnya,
aku kurang mengerti. To the point,
kurasa itu pilihan yang lebih baik jika kau mau.” Jawabku.
“Jadi
begini, Nick itu 100% Sempurna* menurutku untukku. Akan muncul rasa suka, jika
aku mengijinkan rasaku memilih naik. Dan kalau sampai aku mengijinkan rasa sukaku
kepada Nick menjalari tubuhku, maka artinya Nick akan segera bertemu dengan jodohnya.
Kau tau tentang aturan kutukan itu padaku, ‘kan?”
“Iya.
Lantas?”
“Ya
artinya Nick akan bertemu jodohnya! Kau tak mengerti-mengerti maksudku dari
tadi, ah!” Mata Derya mulai memunculkan gejala menampakkan tatapan keberingasannya.
“Oleh karena itu, sore tadi aku menanyaimu tentang kesiapanmu kalau-kalau Hugo-mu
ada kemungkinan akan berjodoh tidak denganmu. Yang artinya, kau harus berpisah
dengan Hugo. Dan Hugo-mu akan bersama jodohnya gara-gara aku suka pada pacarmu,
kalau memang kau bukan jodoh Si Hugo.”
“Oh... Aku
mengerti sekarang. Lalu, mau bagaimana lagi kalau memang tidak jodoh? Yasudah,
‘kan? Relakan saja. Nanti juga akan bertemu jodoh.” Aku mencoba menenangkan.
“Iya.
Tapi sampai kapan kalau aku terus menerus menggerus-nggerus hati seperti ini? Kali
ini aku tak rela sama sekali merelakan Nick. Ia sudah 100% Sempurna menurutku,
walaupun mungkin aku bukan 100% sempurna menurut Nick-Yang-Tampan.” Derya
melirikku, mungkin karena aku menyebut Nick, Nick-Yang-Tampan.
“Tapi
ada kemungkinan juga bahwa Nick tertarik padamu dan benar-benar memintamu untuk
menyukainya balik. Siapa tau, Si-Mata-Biru-Yang-Tampan memang tertarik padamu?”
Aku suka menggoda Derya kalau ia sedang nampak menyedihkan seperti ini.
Si-Mata-Biru-Yang-Tampan. Kurasa Derya senang dengan nama-nama yang kuberikan
untuk Nick.
“Justru
itu... Aku tak tega pada Nick dan pada diriku sendiri jika aku bukan jodoh Nick.
Nick akan ‘kau-tau-apa-yang-kumaksud’. Begitu juga denganku.”
“Kau
lebih tak tega pada dirimu sendiri atau tak tega pada Nick? Pada dirimu
sendiri, ‘kan? Jujur sajalah... Kalau memang benar Nick menyukaimu dan Nick tau
profesi terselubungmu itu apa, nyatanya Si-Tampan-Nick tetap mendatangimu
dengan segala resikonya andaikata kau, Derya Yang Dikutuk, bukan jodohnya. Nick
pasti akan ‘kau-tau-apa-yang-kumaksud’ padamu, Derya...”
“Tapi Nick
akan segera bertemu jodohnya. Nick sama-sama untung jika akan ambil kiri atau
kanan. Dan aku? Bagaimana? Aku akan bagaimana? Apa yang akan terjadi padaku?
Jatuh turun dan bedebum lagi?” Sahabatku yang bermata almond bulat nampak meletup-letup
tak terkendali. Suaranya yang alto sudah tak tampak lagi, malah hampir mirip
lengkingan suara piano rusak di tuts nada tinggi, naik dua oktaf dari biasanya.
“Mengapa
kau jadi mengasihani diri sendiri?”
“Aku sedang
tidak mengasihani diri sendiri. Aku hanya tak tahu harus bagaimana? Aku harus
mengabulkan permintaan Nick, begitu menurutmu? Atau aku tetap menolak
permintaannya? Jika Nick datang lagi padaku esok hari, aku harus bagaimana? Aku
harus menjawab apa?”
“Yasudah.
Sekarang aku ingin bertanya padamu. Sebenarnya maumu apa? Kepinginanmu itu bagaimana?
Karepmu ki piye? ―kalau dalam
bahasaku, begitu pengucapannya.”
“Ya... Yang
kumau itu, ya... Aku tak ingin Nick tak menemuiku lagi atau berjodoh dengan
orang lain. Yang kumau, ya Nick berjodoh denganku. Nick pun tetap rutin datang
menemuiku. Dan aku bisa menatap matanya. Sudah itu saja.”
“Yasudah.
Kau kabulkan saja permintaan Nick. Terima saja permohonan Nick yang telah kau
tolak berkali-kali itu. Siapa tau kau, Derya Yang Dikutuk, Derya Si Pecinta
Yang Piawai, adalah jodoh Nick. Dan siapa tau juga, Nick-Sang-Jodohlah objek dari
kutukan terakhirmu. Beres, ‘kan?”
“Kalau aku
bukan jodoh Nick, bagaimana?”
“Relakan
saja.” Sebijak-bijaknya pemberi nasihat adalah dengan berkata ‘relakan saja’.
Hahahaha. Aku hanya geli melihat sahabatku yang sedang tak terkendali. Parasnya
yang cantik tiba-tiba saja berubah lucu di mataku. Derya menjadi seperti
anak-anak. Anak SMP yang sedang meraung-raung pada ibunya. Memohon-mohon agar
permintaannya dikabulkan.
“Kalau
aku tak rela? Ah, aku hanya tak tau harus bagaimana. Aku belum siap menerima
resiko kalau-kalau aku bukanlah jodoh Nick.”
“Masalahmu
adalah kau, Derya, selalu memperumit masalah. Tinggal pilih menerima atau
menolak permohonannya. Mau besok atau besok-besoknya lagi, lusa atau
lusa-lusanya lagi. Terserah. Kau itu hanya tak berani memilih. Kau juga terlalu
banyak maunya tapi tak mau menerima resiko. Sekarang, aku ingin bertanya lagi
padamu. Saat ini, sekarang, kau sudah suka pada Nick atau belum?”
“Belum.”
“Yakin?”
Aku mulai menggodanya lagi.
“Iya. Sangat
yakin.”
“Yakin
apa?” Dan aku tetap terus menggodanya lagi.
“Tentu yakin
bahwa aku belum menyukai Nick!”
“Tapi
kau sudah menunjukkan tanda-tanda suka padanya.” Sahutku.
“Aku
bilang belum, ya belum! Aku kan bisa mengatur rasaku untuk memutuskan suka
orang atau tidak suka orang.”
“Ah,
sombong sekali kau rupanya. Lihat saja besok. Apakah Si-Tampan-Bermata-Biru itu
akan datang lagi menemuimu dan masih tetap meminta-minta agar kau suka padanya,
atau Nick tak akan datang lagi menemuimu? Lihat saja besok. Hahahhaha.”
“Ah,
sudahlah. Aku pulang saja.” Derya menyesap kopinya lagi. Cepat-cepat.
“Kau
hari ini sudah minum berapa cangkir kopi?”
“Ini
cangkir kelima.” Derya meneguknya habis.
----
“Yelda... Yelda... Dari tadi kau belum makan juga?”
Anne pun mendatangi Yelda yang sedang syahdu merasuk di depan layar
notebooknya. Anne mengelus pundak Yelda. “Tugas ini untuk kapan, nak?”
“Besok Anne.”
“Masih kurang banyak?”
“Tidak Anne. Sedikit lagi.”
“Oh yasudah. Oiya, tadi Anne tak sengaja ketemu Zack di Central Park. Ia
sedang jogging sore. Ia menanyai kabar Baba dan Anne, dia juga titip salam
buatmu. Dia bilang sudah lama kau tak mengabarinya.”
Yelda terdiam. .... “Yelda mau Kafta Tahini saja, An. Masih ada?”
“Masih. Sebentar ya nak, Anne ambilkan.” Anne pun
mengambil makanan yang belum tersentuh oleh Yelda sama sekali, di meja makan.
----
“Kau tau tidak, sebenarnya aku
iri padamu. Kau bisa mengatur dan memutuskan suka pada seseorang atau tidak suka
dengan sesuka hatimu. Aku tak bisa.” Kataku.
----
“Tak usah Anne, Yelda
ambil sendiri saja. Yelda mau makan sekarang.”
Save As: Derya Yang Dikutuk. Close. Shut Down. Yelda menutup
notebooknya.
----
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar