Haa? Itu istrinya 2, iya? Apa-apaan ini. |
Random.
Agak merindu merangkai kata. Plus kerandoman otak yang hampir parah! Jika tak dituangkan ke dalam hobi, dan terlalu taat pada aturan, kantor-kosan-portofolio-tidur-bonus weekend sehari, akan menambah level ketidakseimbangan jiwa saya meningkat. Sesuatu yang kaku, baku, dan lurus, membuat saya─yang kuno dan agak sedikit normal, yang artinya tidak sepenuhnya normal─mati kutu. Hidup bagai zombie. Tau zombie kan? Raga ada (zombie busuk, saya kagak. Haha), jiwa mati. Sesuatu yang nyleneh akan sangat membahagiakan psikologis saya, eh kami, para manusia sedikit normal. Eh kami ya? Apa saya saja? Ah tidak, sepertinya manusia seperti saya cukup banyak. Bisa saya sebutkan satu persatu teman sedikit normal itu, ada Amanatia Junda, Alfu Laila, Ni'am rouf Azzaki (Bapak palsu saya), Jenni mahendra manulat, Pradipta Surya Dinandra (yang helemnya sama kayak helem saya─beli helem karena naksir helemnya Andra─dan bahkan helem saya namanya Andra.) Atau kalian termasuk? Semoga iya! :)
Karena topik kali ini dibuka dengan keanehan yang terkekang, menjadikan si penulis kurang lahan untuk ekspresif. Maka kali ini saya, penulis, akan membahas tentang menikah. Lho? Kok tiba-tiba membahas menikah? Iya dongs. Kan menikah itu sedang marak diumuran saya ini. Saya sudah 23 lho... Atau masih 23? Ah mana saja bisa. Dikala menginjak umur 23 maka seorang perempuan kebanyakan sudah memikirkan tentang menikah─memikirkan, bukan ingin menikah diumur 23. Beda. Memikirkan ya memikirkan. Bukan melakukan. Hanya memikirkan saja. Seperti memikirkan mimpi─. *Eh, ini saya nulis dikala sedang ada deadline. Tapi karena bumpet ya, saya nulis saja lah. Karena bumpet itu kalau dipaksa, tetep aja ga jalan-jalan itu gawean. Jadi perlu waktu untuk rileks. Rileks saya, ya nulis. Hahaha. Eaaa... Kena interupsi random dari si penulis*. Mereka memikirkan menikah, karena lingkungan mereka yang menuntut. Bagaimana tidak, saya barusan di tag note tentang menikah, nikmatnya bercinta dalam naungan payung surat nikah dari KUA yang sejalan dengan kegiatan menuju pada Tuhan, Allah! "Tahukah kalian bahwa seks itu juga cara menuju Tuhan. Jangan heran jika ajaran-ajaran dari agama/kepercayaan kuno hampir semua memiliki simbol-simbol seksualitas." by M.N. >>> Guru keren panutan saya. Bacalah tulisannya, maka kalian akan terberkahi dan hidup dalam damai. *Lebai*Lalu banyak pula ulasan mengenai menikah dan 'The Big Day'-nya. Plus teman-teman sebaya sudah banyak yang menaburkan benih bahwa mereka akan segera menikah dan berbagi undangan pernikahan. Sungguh bahagia saya mendengarnya, namun membuat saya dan para wanita lain yang mengalami kejadia seperti saya pun berpikir. Budaya di Indonesia, kebanyakan menikah antara umur 23 (setelah lulus kuliah), 25, dan 27. Benar? Sepertinya iya. Mana buktinya? Haha. Feeling aja, pengalaman melihat acara gosip artis dan dateng ke kondangan-kondangan pernikahan. Plus teman-teman wanita saya sering curcol tentang pingin segera dilamar, nikah, dan pesta pernikahan dimana duid itu paling enak kalau diirit-irit buat acara niakahan, lebih afdol kalo disimpan buat besok setelah nikahnya.
Karena terlalu banyak omongan tentang ITU, maka saya pun berpikir tentang ITU pula. Sebenarnya bukan karena kejadian-kejadian itu sih, tp sudah lumayan lama saya berpikir, The Big Day saya besok mau dibuat seperti apa ya... *Maklum wanita. Ihik.* Dan berpikir enak ga enaknya nikah. Dimana kita yang single sudah terbiasa sendiri, waktu dan space kita setelah nikah akan berubah, menjadi waktu dan space bersama keluarga. Hilang sudah waktu untuk sendiri. Tentu itu sangat menjadi momok yang menakutkan bagi saya. Kesendirian terenggut. Privasi melebar. Dan, apakah saya tetap bisa menjadi Fela sehari-hari? Oh Tuhan, anak saya seperti apa nanti kalau punya simbok kayak saya? Maksudnya, saya itu perempuan tapi engga feminin. Maaakk...
Menikah, jadi tidak bisa bebas berteman sana sini─kalau mau konsultasi kerjaan, jadi cuma sama suami aja? nah padahal suami itu mungkin ga gitu ngerti tentang dunia yang saya geluti, misal. Kan pertemanan saya pun dibatasi, apa iya? Saya kebayangnya sih gitu.─ dan pergi main sana sini, karena kita (istri) punya suami+anak yang kudu diurus. Beeeh... Repotnya. Tambah lagi bisa kramas lebih dari dua hari sekali dan tidak kenal waktu. Tengah hari pun, bisa kramas. Gila ga tuh ribetnya? jam 12.00 mandi? Tambah lagi, ga kebayang bahasa bayi itu kayak gimana? Yang artinya kami para calon ibu kudu mengerti bahasa bayi dari mimik muka mereka, melototin muka bayi yang lagi nangis antara lagi pingin beol atau pingin makan? Nah kan. Ga ngerti. Menurut saya, sama aja. Eh beda mungkin, kalau pingin beol itu mukanya agak-agak ngeden. Iya kali ya? Dan waktu tidur pun, berkurang. Tambah lagi kepikiran, apa bisa ya saya minta cuti beberapa hari jadi istri lalu pergi travelling rame-rame sama komunitas backpacker yang lain? Kan suami kerja. Jadi kan susah cari waktu bisa travelling bareng, Iya kalau besok dapet suami yang hobi travelling. Kalau engga? Hidup saya benar-benar akan berubah total! Tapi yo mbuh... Mungkin saya belum siap saja kali ya. Belum puas menikmati masa lajang dan bertualang sana sini. Beda lagi kalau suami kelak adalah seorang petualang dan backpacker. Hiyaaa... Bisa ngilang bareng-bareng. Bareng sama keluarga sobat yang suka travelling juga. Nah rame kan tuh? Itu baru enak. *Maunya.*
Lalu, berpikir juga tentang The Big Day jadi ratu sehari besok. Kalau saya sih, maunya jadi ratu yang merakyat. Simpel aja, ga pake hebring. Ga cuma duduk bareng suami cengar-cengir di singgasana emas itu. Bosen gilak kudu pura-pura senyum ramah. Padahal aslinya pingin ketawa ketiwi nyanyi ini itu rame-rame bareng sodara dan teman dekat. Hai, kami bukan boneka pajangan ya... Kami mau merakyat bersama kalian wahai para kerabat dan teman dekat. Yang kami undang pun, maunya teman-teman dekat saja. Ada acara sharing pembukaan mirip yang di pilem-pilem bule, Males basa basi sih. Hihi. *Idih keliatan deh unsosnya*.
Nah karena saya merakyat dan nasionalis, semoga suami saya besok juga seorang nasionalis dan setuju dengan usul saya ini, keluarga juga setuju, saya mau kami bersama menyanyikan bak upacara bendera, lagu Indonesia Raya ciptaan W.R. Supratman, dan lagu Mengheningkan Cipta diganti jadi Maju Tak Gentar ciptaan C. Simanjutak. Keren kan? Biar kami itu selalu maju tak gentar membela yang benar, semua cobaan yang menghadang, kami trabas tak gentar. Wuoooh keren dan nasionalis sekali bukan? Karena kami keluarga nasionalis, tak lupa maharnya pun kudu nasionalis. Kira-kira apa ya? Dulu sih pernah kepikiran sepeda jengki sepasang dan buat anak kami besok, sepeda mungil jaman dulu, apa ya? Biar jadi keluarga yang romantis dan sehat. Bahahhaa. Tapi, setelah dipikir, sepeda jengki kan sepedanya londo. Lalu apa dong? Ada saran?
Lalu acara kedatangan kami pun, kalau di nikahan-nikahan jawa dan bule mereka dateng pake andong (bagi jawa) dan kereta kuda (bagi bule), tapi karena kami itu ngirit ya... Mau dong, kami datengnya pake becak yang asoi berbendera Indonesia dan diarak rame-rame. Hahahaha. Dan menyanyikan lagu Indonesia Raya itu bersama-sama, lalu setelah masuk di antara para tamu (yang tentu kerabat dan teman dekat saja), mereka menyanyikan sisa lagu Indonesia Raya pula dilanjutkan dengan Maju Tak Gentar.
Kalian para lajangers, kepikiran juga kan? Besok acara nikahan kalian mau kayak apa? Mau yang simpel ato yang hebring karena pingin eksis? Mau yang sampe teman ortu kalian pada dateng? Wuidih... Itu nikahan ortu ato nikahan anak seehhh...
Salam,
Indonesia!