Badai Online [2]
Kathleen Kelly & Joe FOx |
“Pyuh!
Pegawai biasa, gaji standar. Status jomblo. Tempat ndoprok sementara: Jakarta.
Lagi mikir super berat. Tiket PP Jakarta-Surabaya itu, setidak-tidaknya sejuta-an.
Liburku pun cuma Sabtu dan Minggu. Aduh. Ke Surabaya-enggak-ke Surabaya-enggak.
Ada sih duit. Tapi, duit sejutaan habis dalam selang waktu 2 hari aja itu,
mubadzir besar! Tapi, penasaran. Butuh
buat konfirmasi pada perasaan saja sih. Pergi-enggak-pergi-enggak. Galau
tingkat dewa.”
(Lelaki—teteup
kalem dan penuh dengan coolness)
“Hah?
Apa ini? Engga mungkin! Sangat
memalukan. Ngga mungkin seorang Sri dengan mudahnya naksir makhluk online? Ini
bener ga sih? Ini hukuman bagi para pecinta online ya? Tuhan? Hoi Tuhan, aku
dipermainkan internet… Aaaaa… Aku suka internet, tapi ogah melibatkan hati. Haaaaaaakkkkk…
Matilah aku. Mati! Mati! Mati! Tuhan, tolong sadarkan aku dari mimpi buruk ini.
Bayang abu-abu nggak jelas! Aku ngga ngerti ini kudu ngapain. Apa-apaan ini,
hah? Bola mataku rasanya mau loncat kegirangan kalau lihat mr_paijo online. Dan
tiap melihat notification orange berkedip-kedip, hatiku langsung oleng, saking
senengnya. Makjang… Tampar aku Tuhan! Tampar aku! Aku terbelasuk ke jalur abu-abu. Kalau sampai
teman-temanku tau, aku tak akan bisa lolos dari julukan makhluk ga realistis.
Maluku sudah tak bisa kusembunyikan di pantat lagi—yang sekarang sudah pindah
ke muka. Oh… Dia di sana-aku di sini. Aku menyusahkan diriku sendiri. Kayak ga
ada lelaki di depan mata saja. Malah naksir lelaki online.”
(Wanita—yang
jelas lebih bawel dan lebay daripada makhluk yang disebut lelaki.)
Adalah jeritan hati para onliners yang
sedang terjerat jaring-jaring cinteh onlineh. Ternyata, cinteh sekarang tak
sebatas mata memandang, namun bisa meloncat-loncat seperti kutu loncat, lewat jejaring online.
Jadilah cinteh onlineh.
Pagi. Mendung. Dalam kamar kost. Dan, maskeran!—kebiasaan yang teramat jarang saya lakukan. Memulai Senin dengan cantiknya. Latihan otak kulakukan, mencoba mengulas
keadaan tak terelakkan yang dialami oleh korban cyber love. Menganalisis, mensistematisasi, menggodognya, lalu menjadikan bacaan intermezzo diwaktu bolong Anda. Kenapa saya bahas? Karena meneruskan tulisan terdahulu, Badai Online [1]—saya sedang fokus-fokusnya
dengan dunia online dan efek-efeknya. Termasuk ini, Badai Online [2] Cyber Love.
Tau film You’ve Got Mail? Film yang dibintangi Mbak
Meg Ryan (Kathleen Kelly) dan Om Tom Hanks (Joe Fox). Hanya satu hal yang bisa
membuat hari sejoli online tersebut kegirangan lari tunggang langgang, tulisan
kedip-kedip dalam layar online “You’ve Got Mail”. Bha! Di cerita itu, melihat lappi itu
bagaikan melihat kekasih tercinta, "lappiku cintaku". Rajin dielus-elus, dipegang-pegang,
ditengok-tengok, disenyum-senyumi, dan tingkat parahnya sampai diajak ngomong
atau terkadang malah dimarah-marahin—jadi mencet keyboardnya manteb sampe bunyi "tak cetak cetak cetak tok!", nutup
lappinya juga bunyi, "klap".
Yap, itu film tahun 1998 yang settingnya di kota New
York tercinta(nya) yang jelas-jelas berbeda dengan keadaan sekarang, di sini
Indonesia—ga tau ya kalo di NY sekarang gimana, mungkin bisa lebih parah.
Sekarang online itu makin parah, sudah dibahas pula di Badai Online [1], makin
menjerat hati karena dibawa kemana-mana. Bagaimana tidak? Online sekarang sudah
masuk hape teman, hape! Smart Phone istilahnya. Dari aplikasi di Black Berry
ada BB, YM, jejaring sosial apa pun lah. Ya ga masalah sih
kalau emang bener-bener online penting, browsing atau kebutuhan kerjaan. Tapi
kalau udah sampai nagih itu lho, jadi kurang ngeh dengan dunia sekeliling (fokus
terbagi-bagi antara mendengarkan manusia live dan berhubungan dengan manusia
online) parahnya sampai kena jejaring cyber love. Nah kan?
Cerita demi cerita saya dengarkan dengan seksama dari
berbagai sumber, termasuk blog tetangga lajang dan menikah yang judulnya 'Jodohnya di Facebook'. Tersimpulkan bahwa para pelaku jejaring cyber love itu, cukup banyak. Ada yang berhasil, ada yang setengah berhasil, ada yang
benar-benar gagal.
- Berhasil: Setelah ketemuan ternyata berhasil sampai tingkat nikah (yang entah ga tau di nikah itu berhasil atau enggak. Haha).
- Setengah berhasil: setelah tidak berhubungan online lagi, tepatnya sesudah bertatap muka satu sama lain, tinggal di satu kota, berlaku status in relationship beberapa bulan, lalu putus karena ditemukan bahwa di online cocok namun live-nya tidak cocok. Haaaak apa pula itu.
- Gagal: ya benar-benar gagal, belum memulai saja sudah gagal, alias bertepuk sebelah tangan. Kasian ya? Kan, nasib. :]
Mungkin penyebab terbesar kasus cyber love adalah lokasi.
Lalu dibawah lokasi, ada perihal kehidupan pegawai kantoran. Ngantor pagi,
pulang sore, capek, mandi, makan, lalu online sebentar, dan tidur! Begitulah
rutinitasnya. Hidup di perkotaan yang mau ga mau pada akhirnya kita berlaku sleepless seattle, banyak online-nya,
jarang jalan-jalannya, jarang ketemu orang-orang baru—bagi orang yang hidupnya ga aktif dengan kegiatan atau komunitas macam-macam, ya begitu akibatnya. Ga beruntung ya, bagi mereka yang cyber love dengan orang yang beda tempat tinggal, jauh pula.
Pada akhirnya cuma bisa digemari, disenyum-senyumi via internet karena mentok
susah ketemu karena lokasi masing-masing saling berjauhan. —Lha, salah sendiri
kali ya? Mau-maunya suka sama orang online yang jauh di sana. Cari masalah!
Tapi, kalau ketemunya dan cocoknya sama orang yang jauh di sana, gimana dong?
Ya risiko. Embuh. Eh, tapi itu siapa tau bukan suka lho, mungkin CUMA
penasaran? Mungkin. #selftalk—
Etapi, kok bisa ya orang seneng sama manusia dengan
sosok tak terjamah alias virtual, online, bayang-bayang, mimpi, apalagi kata
yang pas? Mungkin karena via online itu, orang lebih mudah mengungkapkan,
mengaktualisasikan diri lewat kata-kata ketimbang via bercakap-cakap secara live. Dan yang ditampakkan via internet itu, ya yang baik-baik saja, yang menarik untuk dikonsumsi publik, yah kurang lebih begitu. Kita kan ga ngerti, kalau ternyata dia (yang jauh
di sana dan online) yang menurut penggambarannya itu orang cerdas, manis, so
sweet, romantis,—apalagi?—, ternyata tukang kentut, ngupilan, ngorok,
bersendawa keras, ketawa (live) yang ga ada indah-indahnya sama sekali hingga
memekakkan telinga, dilengkapi pula dengan BAU BADAN yang menyengat. Oh ya satu
lagi, siapa tau bisu? Nah, kan? Indra-indra perasa, pengecap, pembau, pendengaran
dari tubuh kita, tidak bisa merasakan secara online. Yang berlaku via online
itu, cuma satu, yaitu indra penglihatan. Apa kalian siap dengan keadaan itu
semua—kenal hanya dari indra penglihatan saja, di internet?
NB: Cukup beruntunglah bagi orang yang
seenga-engganya pernah ketemu sekali dua kali—dalam takdir kebejonan yang tak terelakkan,
ga sengaja ketemu di satu kota, lalu berjauhan lagi, ujung Indonesia timur dan ujung
Indonesia barat, kurang jauh, hah?—. Bisa melihat dan mendengarkan secara live,
bagaimana suaranya (ada?), cara ketawanya (manis?), dan cara bicaranya (alus?).
Lalu, sering berjalannya waktu, kita lupa cara tertawanya dan suaranya. Hahaha.
Menderitalah kau! Yaudah sih, telepon.
Jadi, kesimpulannya?
Dari cerita manusia cyber love?
Manusia online di atas, berhasil menggantikan kedudukan
manusia nyata di depan mata. Wauw! Kok bisa ya? |
Ya kan hati itu, dirasa—bukan dilihat. Kecocokan, keklikan itu dirasa, tapi ya dilihat juga
sih—ngecek ada unsur deg-degannya apa enggak. :D Ketemu, kalau cocok ya lanjut, kalau enggak, ya udah. Gampang kan?
Kayak di film You’ve Got Mail. Ketemu, kalau jauh, butuh duit ya? Haha. Dasar
masalah!
Ada yang kena virus cyber love? Atau Anda sendiri, yang membaca ini? HAHAHAHA