Sabtu, 28 Desember 2013

Judgement



YOU! HEY YOU!


Pengecapan, dari kata dasar cap bukan kecap, atau bahasa kerennya, JUDGEMENT. Diiihhh.. Terdengar serem banget yaaa... Kayak di pengadilan, hakim. Hakim Bao! Inget?

Kenapa saya membahas ini? Tanpa diusut-usut, dikarenakan adanya twitt yang muncul di timeline twitter saya! “Being judged or being ignored?” Sebenarnya yang cukup mengena adalah kata judge-nya saja. Karena saya juga sering dibilang, “kowe i seneng ngejudge padahal rung reti akeh...”

Akhirnya saya bahaslah masalah ini dengan kawan di wasap... anak sosmed banget yey... jaman sekarang banget... mbahasnya di wasap, ga live aja? Di kosan lagi ga ada orang yang enak di ajak ngobrol beginian, jadilah mbahas di wasap. Jadi ya gitu deh...



Apa bedanya menge-judge dan menilai?
 
Karena saya kira, kawan saya yang bilang, “kowe i senengane menge-judge” dia sendiri juga telah menge-judge saya bukan? Lalu akhirnya saya berfikir lagi. Saya sendiri tidak sedang menge-judge, tapi sedang meNILAI yang bersifat analisis sementara, tidak permanen. Beda loh, beda... Akhirnya saya berkata kepada diri sendiri, mungkin kawan saya itu telah menilai saya, bukan menge-judge saya?
 
Judgement atau pengecapan terjadi berdasarkan penilaian. Judge atau cap terjadi berdasarkan nilai. Nilai dulu baru judge. Menilai dulu baru menge-judge. Menilai ada di dalam menge-judge. Menilai itu hak semua orang. Setara dengan memberikan pendapat. Yang kadang kurang terkondisikan adalah judgement yang terlalu dini. Belum mendapatkan data, bahan, atau nilai yang cukup lengkap sudah dicap! Tidak melihat seluk beluknya dulu. Semacam, “Ih, covernya datar banget... Monoton ih...” Tapi tidak melihat latar belakang konsep covernya yang monoton itu. Mungkin covernya bisa sesuai dengan judul atau isi atau bahasan bukunya? Semua-muanya ada latar belakangnya. Baru setelah dinilai atau diamati kumplit sampai kulitnya ngelotok dagingnya ketok, barulah silakan menge-judge. Nah, masalah pernyataan judgement yang terlalu dini... maka saya pun bertanya,


“Kapan judgement bisa dikatakan terlalu dini?”

Judgement itu sebenarnya tidak berlaku mutlak. Bukan masalah waktu, tapi seberapa dalam mengenal dan menilainya. Sedangkan orang menilai dari apa yang ditampilkan, apa yang diucapkan, dan apa yang dilakukan. Balik lagi kepada “cover” atau “pencitraan”. Ga usah membahas tentang “pencitraan” ya? Kemaren-kemaren udah dibahas mbak Najwa Shihab di Mata Najwa. Eniwei, ada loh temenku cewek (sebut saja Ajeng Setyo Wardhani) yang beli serial novel Agatha Christie dengan cover yang setema, buatannya Staven Andersen. Dan dihuntinglah semua novel Agatha Christie dengan tema cover itu semua, tanpa terkecuali! Juga novel-novel serial penulis lain, Sir Arthur Conan Doyle misalnya. Oke lanjut kepada judgement.
 
Menilai itu berlaku terus sampai mengenal lebih dekat-kat-kat. Kalau sudah bertahun-tahun ngerti dan kenal, baru bisa mengejudge yang sifatnya bisa berlaku panjang, atau hampir permanen, masih bisa berubah. Judgement bisa bersifat kaku ataupun fleksibel. Yah mirip-mirip dengan karakter lah, dia toleran atau enggak. Boleh saja menge-judge, kapan saja juga boleh. Cuma pakemnya masih selalu bisa berubah. Kalau judgement sifatnya kaku mentok di situ dan ga bisa berubah, itu yang disebut judgement yang kaku dan tidak toleran. Misal, “DIA PEMBUNUH!” diucapkan kepada seorang nara pidana yang membunuh, ya memang membunuh sih, tapi kalo setelah bebas dan si narapida yang kena judgement “DIA PEMBUNUH!” ga selama-lamanya akan membunuh terus kan? Lagi pula, mungkin saja membunuhnya itu punya alasan kuat misal membela diri atau membela anaknya? Misal Harry Potter membunuh Lord Voldemort? Haha, beda soal. Pokoknya bedaaaa aja. Aduh panjang kalo dijelasin... Kembali lagi ke judgement. Kalau sekalinya melakukan hal yang parah banget, yang dalem banget, ya capnya dalem banget juga, judgement sifatnya hampir permanen. Makin dalem capnya, makin kuat dan kaku sifat judgement-nya, dan akhirnya jatuh pada malas menilai lagi pada akhirnya. Oke sekian.

Kalau udah saking ga senengnya sama si anu si itu, ga akan kok sebel-sebel lagi, karena udah ga ngurus lagi, males menilai, dan males repot. Akhirnya ga peduli. Selese. Tingkatan paling ngenes adalah kalau sampai orang ga peduli sama kamu. Kesian.



Tulisan ini kebanyakan adalah hasil pemaparan Saudara Ni’am Rouf Azzaki, saya bertanya-tanya saja dan melengkapi paparan beliau. Beliau? Apeuuuu...


Final Judgement hanya milik Tuhan Yang Maha Esa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar