7 hari. 168 jam. 10080 menit. 101606400 detik sudah, waktuku.
Sudah seminggu.
Aku menunggu.
Sudah selama itu.
Aku menunggu.
Lalu,
aku terbiasa menunggu.
Menunggu. Menunggu. Menunggu.
Menunggu. Menunggu. Menunggu.
Hingga aku menjadi ahli dalam menunggu.
Bisa-bisa aku jatuh cinta pada menunggu.
Maka, aku adalah seorang penunggu.
Memang aku seorang penunggu.
Kau tau, dengan cara apa aku membunuh waktu menunggu yang begitu sendu?
Dengan menggosok-nggosokkan kedua telapak tanganku yang sudah mulai membeku.
Menyelimutkan sarung di seluruh tubuhku.
Dan menyesap secangkir kopi tubruk.
Dan tentu dengan cangkirmu masih di depanku. Masih setengah penuh.
Hanya itu yang bisa menghangatkanku.
.....
Aku mulai mengais-ngais ingatan masa lalu.
Tentu saja mengenai kamu.
Memang siapa lagi? Ibumu? Khayalmu, sungguh terlalu.
Memang, kadang aku merayu ibu-ibu yang memanggul banyu begitu syahdu,
jika kau tak disampingku saat itu.Aku bisa mengingat sorot matamu, sayu.
Aku bisa mengingat bagaimana aku mengangkuhimu, lenguhanmu, merdu.
Aku juga bisa sedikit menyanyi saru atasmu.
.....
Aku mampu apa tanpamu?
Hanya mampu merajuk rayu agar kau cepat kembali ke rumahmu,
tubuhku, jantungku, hatiku.
Mafhum. Khusyuk. Merasuk.
Menakjubi lekukan-lekukanmu, ranum,
Dalam ingatanku yang mengkubus, kaku.
Menunggu rinduku surut, luruh.
Rindu yang tak kunjung pudur.
Karena kutau rinduku tak meredup jua, maka aku menjaganya dengan menunggu.
Pada akhirnya, aku terbiasa menunggu.
Dan memang menjadi penunggu. Sang Penunggu.
Goyah api lilin dalam baskom bisu,
tak kunjung surut.
Sudah seminggu.
Di desa seberang,
"Ngok... Ngok... Ngok... Ukkhhh... Akhhhh..."
sedang tenggelam dalam peraduan dahsyat, tiap hari, tanpa henti,
dengan babi lain.
Memadu kasih.