Minggu, 29 September 2013

Menumpuk



Dia senang menumpuk-numpuk sesuatu. Barang kali memang kesukaannya adalah menumpuk. Ada banyak cucian kotor menumpuk di belakang pintu. Juga cucian bersih menumpuk di sisi bawah kaki ranjangnya. Dan kertas-kertas menumpuk di atas meja. Pun sampah-sampah bungkus makanan menumpuk di atas tumpukan kertas-kertas. Kulit-kulit buah jeruk dilupakannya menumpuk di belakang tumpukan buku-bukunya. Mungkin dia sendiri adalah tumpukan masalah. Tumpukan dosa. Dosa-dosa kecil tak penting, seperti membayangkan bersetubuh dengan adiknya sendiritak penting bukan? Tak merugikan siapapunhingga dosa-dosa besar yang tak pantas untuk dituliskan di sini. Dia masih punya malu. Dan penulis sendiri pun malu untuk menuliskannya.



Jakarta, 1 hari sebelum 30 September 2013...

Senin, 23 September 2013

Minggu, 22 September 2013

Nyonya Kesepian Si Mata Nyalang


Dengarkanlah... Cerita tentang Nyonya Kesepian Si Mata Nyalang









"Matamu, mata nyalang!
Sungguhpun Nyonya Kesepian Si Mata Nyalang Tanpa Kekang."
"Wahai Tuan Kesepian Tanpa Kutang.
Aku di sini. Aku sudah tak nyalang lagi. Hanya mampu melintang dari ujung depan hingga belakang hitam lekam bak pecalang."
"Pecalang-pecalang pembawa parang yang akan berperang? Oh, mereka datang!
Bulan bengkak pun kalah dengan nyalang matamu. Tak usah gusar pada para pecalang berseragam perang pembawa parang.
Matamu, mata nyalang!
Kanan kiri depan belakang."




Arang jaran kepang, menyalak-nyalak kencang menang.
"Pecalang-pecalang datang berparang mau perang!"
"Pandanglah mataku,
Hai Nyonya Kesepian Si Mata Nyalang!"
"Tidak!
Pecalang-pecalang datang berparang mau perang!
Aku takut. Mereka bawa pasukan. Lihat! Mereka sudah menggedor-gedor pintu!"
"Tenang. Pecalang akan mati! Kita menang!
Lalu setelah itu, mari tuang arak, hai,
Nyonya Kesepian Si Mata nyalang!"
"Tidak! Mereka datang! Pecalang berparang mau perang!"
"Kau suruh saja kucing-kucing berkaki congklang di atas ranjang, keluar menyerang."
"Tidak! Mereka pasti akan roboh."
"Wahai Nyonya Kesepian Si Mata Nyalang. Kucing-kucingmu hebat. Pecalang-pecalang pembawa parang yang mau perang, akan bernasib malang. Sungguh."
"Tidak. Kucing-kucing berkaki congklang itu akan roboh.
Tidak! Mataku sudah tak nyalang lagi. Mataku sudah tenang. Tak mempan."
"Goblok! Matamu masih nyalang! Aku sudah datang dan MATAMU MASIH NYALANG! Sudah, segera suruh kucing-kucing congklang di atas ranjang memburu pecalang!"
"Tidak! Aku bilang tidak. Kasihan kucing-kucing congklang di atas ranjang!"
"PERSETAN. MATI KAU! Aku butuh matamu, mata nyalang. Aku tak ingin mati diserang pecalang."




Kucing-kucing berkaki congklang di atas ranjang mengeong-ngeong, kencang.
Terdengar jerit lengking suara perempuan, Nyonya Kesepian Si Mata Nyalang.
Nyonya Kesepian Si Mata Nyalang kini berganti Tuan Kesepian Si Mata Nyalang.
Pecalang-pecalang pembawa parang yang mau perang masuk menyerang.
Kucing-kucing berkaki congklang balik menyerang.
Mari, tuang arak.

Sabtu, 14 September 2013

Meninggalkan Atau Ditinggalkan?

Percakapan ini berawal dari pertanyaan seorang teman yang sekonyong-konyong menjadi brilian! “Meninggalkan atau ditinggalkan?”

Sontak saya langsung memilih meninggalkan dong, karena saya orang yang dengan gampangnya meninggalkan. Lagian ditinggalkan sangat tidak enak sekali—Konteksnya manusia ya, ingat, manusia, bukan barang. Bahkan, saya bercita-cita untuk mati duluan sebelum ibu saya meninggal.

Ada yang bilang, “meninggalkan itu berat juga...”
Ada yang bilang, “takut kecewa kalo meninggalkan...”
Ada yang bilang, “kalau lagi kepepet keadaan, milih meninggalkan...” >>> Ya iya sih ya!

Kemudian saya pun bertanya lagi pada salah seorang teman saya pada jam tengah malambiasanya jam tengah malam atau dini hari adalah jam orang-orang dapat berpikir dengan benar, dimana ia akan sungguh-sungguh sentimentil! 


“Meninggalkan atau ditinggalkan?”
“Ditinggalkan itu ga enak banget. Tapi kalau harus meninggalkan kok rasanya jahat amat...” Wow, berarti saya orang yang jahat amat ya? Haha.
“Pada meninggalkan, kita adalah subjek. Pada ditinggalkan, kita adalah objek. Subjek aktif. Objek biasanya pasif. Tapi ada temenku yang milih ditinggalkan. Awesome banget ga siiih... Mau-maunya jadi objek, pasif. Tapi keren.”
“Kok keren?”
“Nih! Dari situ, dia adalah orang yang kuat. Orang yang mau jadi objek adalah orang yang kuat. Dia seorang hamba 100% yang menghamba!”

“Oh, I see...”
“Konsep hidupnya Habluminannas. Siapapun boleh datang kepadanya, asal dia berguna. Siapapun boleh meninggalkannya, kalau dia sudah tak ada guna lagi. Ini butuh “nrimo” “ikhlas” banget ga sih? Iya kan?”
“Berarti dia menaruh orang lain di atas dirinya sendiri ya?”
“Iya, itu juga. Kalau sampai orang yang pernah meninggalkannya itu kembali lagi, berarti dia sudah meng-upgrade kualitas dirinya sehingga orang yang pernah meninggalkannya, mau kembali lagi padanya. Orang yang mau meninggalkan, 'kan juga orang yang bener-bener niat meninggalkan, dan meninggalkan juga hal berat.”
“Orang yang bisa menerima ditinggalkan adalah orang yang kuat? Kuat menangani diri sendiri, ikhlas menerima, juga memperbaiki diri untuk ditinggalkan, gitu?”
“Begitulah. Orang yang meninggalkan, level terendahnya bisa disebut orang yang suka lari. Orang yang suka melarikan diri.”
“Kalo kamu milih apa, Fel?”
“Aku? Aku lebih sering MENINGGALKAN DONG! HAHAHHAHAH. Suka lari. Ogah ribet. Tapi mau belajar ditinggalkan juga. Biar enteng.”


'Kan? Perbincangan dini hari sungguh-sungguh sangat... masuk akal, 'kan? Sentimentil, 'kan? Ya kan? Iyain aja deh... Sungguh-sungguh benar, tulus, lurus, dan serius! Wow.

Jadi, kalau kalian pilih mana? Meninggalkan atau ditinggalkan?

BYE! BYE! BYE! Beibeeehhhh...