Senin, 30 April 2012

Cyber Love


Badai Online [2]

Kathleen Kelly & Joe FOx

“Pyuh! Pegawai biasa, gaji standar. Status jomblo. Tempat ndoprok sementara: Jakarta. Lagi mikir super berat. Tiket PP Jakarta-Surabaya itu, setidak-tidaknya sejuta-an. Liburku pun cuma Sabtu dan Minggu. Aduh. Ke Surabaya-enggak-ke Surabaya-enggak. Ada sih duit. Tapi, duit sejutaan habis dalam selang waktu 2 hari aja itu, mubadzir besar! Tapi,  penasaran. Butuh buat konfirmasi pada perasaan saja sih. Pergi-enggak-pergi-enggak. Galau tingkat dewa.”
(Lelaki—teteup kalem dan penuh dengan coolness)


“Hah? Apa ini? Engga mungkin!  Sangat memalukan. Ngga mungkin seorang Sri dengan mudahnya naksir makhluk online? Ini bener ga sih? Ini hukuman bagi para pecinta online ya? Tuhan? Hoi Tuhan, aku dipermainkan internet… Aaaaa… Aku suka internet, tapi ogah melibatkan hati. Haaaaaaakkkkk… Matilah aku. Mati! Mati! Mati! Tuhan, tolong sadarkan aku dari mimpi buruk ini. Bayang abu-abu nggak jelas! Aku ngga ngerti ini kudu ngapain. Apa-apaan ini, hah? Bola mataku rasanya mau loncat kegirangan kalau lihat mr_paijo online. Dan tiap melihat notification orange berkedip-kedip, hatiku langsung oleng, saking senengnya. Makjang… Tampar aku Tuhan! Tampar aku!  Aku terbelasuk ke jalur abu-abu. Kalau sampai teman-temanku tau, aku tak akan bisa lolos dari julukan makhluk ga realistis. Maluku sudah tak bisa kusembunyikan di pantat lagi—yang sekarang sudah pindah ke muka. Oh… Dia di sana-aku di sini. Aku menyusahkan diriku sendiri. Kayak ga ada lelaki di depan mata saja. Malah naksir lelaki online.”
(Wanita—yang jelas lebih bawel dan lebay daripada makhluk yang disebut lelaki.)


Adalah jeritan hati para onliners yang sedang terjerat jaring-jaring cinteh onlineh. Ternyata, cinteh sekarang tak sebatas mata memandang, namun bisa meloncat-loncat seperti kutu loncat, lewat jejaring online. Jadilah cinteh onlineh.

~O~

Pagi. Mendung. Dalam kamar kost. Dan, maskeran!—kebiasaan yang teramat jarang saya lakukan. Memulai Senin dengan cantiknya. Latihan otak kulakukan, mencoba mengulas keadaan tak terelakkan yang dialami oleh korban cyber love. Menganalisis, mensistematisasi, menggodognya, lalu menjadikan bacaan intermezzo diwaktu bolong Anda. Kenapa saya bahas? Karena meneruskan tulisan terdahulu, Badai Online [1]—saya sedang fokus-fokusnya dengan dunia online dan efek-efeknya. Termasuk ini, Badai Online [2] Cyber Love.


Tau film You’ve Got Mail? Film yang dibintangi Mbak Meg Ryan (Kathleen Kelly) dan Om Tom Hanks (Joe Fox). Hanya satu hal yang bisa membuat hari sejoli online tersebut kegirangan lari tunggang langgang, tulisan kedip-kedip dalam layar online “You’ve Got Mail”. Bha! Di cerita itu, melihat lappi itu bagaikan melihat kekasih tercinta, "lappiku cintaku". Rajin dielus-elus, dipegang-pegang, ditengok-tengok, disenyum-senyumi, dan tingkat parahnya sampai diajak ngomong atau terkadang malah dimarah-marahin—jadi mencet keyboardnya manteb sampe bunyi "tak cetak cetak cetak tok!", nutup lappinya juga bunyi, "klap".


Yap, itu film tahun 1998 yang settingnya di kota New York tercinta(nya) yang jelas-jelas berbeda dengan keadaan sekarang, di sini Indonesia—ga tau ya kalo di NY sekarang gimana, mungkin bisa lebih parah. Sekarang online itu makin parah, sudah dibahas pula di Badai Online [1], makin menjerat hati karena dibawa kemana-mana. Bagaimana tidak? Online sekarang sudah masuk hape teman, hape! Smart Phone istilahnya. Dari aplikasi di Black Berry ada BB, YM, jejaring sosial apa pun lah. Ya ga masalah sih kalau emang bener-bener online penting, browsing atau kebutuhan kerjaan. Tapi kalau udah sampai nagih itu lho, jadi kurang ngeh dengan dunia sekeliling (fokus terbagi-bagi antara mendengarkan manusia live dan berhubungan dengan manusia online) parahnya sampai kena jejaring cyber love. Nah kan?


Cerita demi cerita saya dengarkan dengan seksama dari berbagai sumber, termasuk blog tetangga lajang dan menikah yang judulnya 'Jodohnya di Facebook'. Tersimpulkan bahwa para pelaku jejaring cyber love itu, cukup banyak. Ada yang berhasil, ada yang setengah berhasil, ada yang benar-benar gagal.
  1. Berhasil: Setelah ketemuan ternyata berhasil sampai tingkat nikah (yang entah ga tau di nikah itu berhasil atau enggak. Haha).
  2. Setengah berhasil: setelah tidak berhubungan online lagi, tepatnya sesudah bertatap muka satu sama lain, tinggal di satu kota, berlaku status in relationship beberapa bulan, lalu putus karena ditemukan bahwa di online cocok namun live-nya tidak cocok. Haaaak apa pula itu.
  3. Gagal: ya benar-benar gagal, belum memulai saja sudah gagal, alias bertepuk sebelah tangan. Kasian ya? Kan, nasib. :] 


Mungkin penyebab terbesar kasus cyber love adalah lokasi. Lalu dibawah lokasi, ada perihal kehidupan pegawai kantoran. Ngantor pagi, pulang sore, capek, mandi, makan, lalu online sebentar, dan tidur! Begitulah rutinitasnya. Hidup di perkotaan yang mau ga mau pada akhirnya kita berlaku sleepless seattle, banyak online-nya, jarang jalan-jalannya, jarang ketemu orang-orang baru—bagi orang yang hidupnya ga aktif dengan kegiatan atau komunitas macam-macam, ya begitu akibatnya. Ga beruntung ya, bagi mereka yang cyber love dengan orang yang beda tempat tinggal, jauh pula. Pada akhirnya cuma bisa digemari, disenyum-senyumi via internet karena mentok susah ketemu karena lokasi masing-masing saling berjauhan. —Lha, salah sendiri kali ya? Mau-maunya suka sama orang online yang jauh di sana. Cari masalah! Tapi, kalau ketemunya dan cocoknya sama orang yang jauh di sana, gimana dong? Ya risiko. Embuh. Eh, tapi itu siapa tau bukan suka lho, mungkin CUMA penasaran? Mungkin. #selftalk


Etapi, kok bisa ya orang seneng sama manusia dengan sosok tak terjamah alias virtual, online, bayang-bayang, mimpi, apalagi kata yang pas? Mungkin karena via online itu, orang lebih mudah mengungkapkan, mengaktualisasikan diri lewat kata-kata ketimbang via bercakap-cakap secara live. Dan yang ditampakkan via internet itu, ya yang baik-baik saja, yang menarik untuk dikonsumsi publik, yah kurang lebih begitu. Kita kan ga ngerti, kalau ternyata dia (yang jauh di sana dan online) yang menurut penggambarannya itu orang cerdas, manis, so sweet, romantis,—apalagi?—, ternyata tukang kentut, ngupilan, ngorok, bersendawa keras, ketawa (live) yang ga ada indah-indahnya sama sekali hingga memekakkan telinga, dilengkapi pula dengan BAU BADAN yang menyengat. Oh ya satu lagi, siapa tau bisu? Nah, kan? Indra-indra perasa, pengecap, pembau, pendengaran dari tubuh kita, tidak bisa merasakan secara online. Yang berlaku via online itu, cuma satu, yaitu indra penglihatan. Apa kalian siap dengan keadaan itu semua—kenal hanya dari indra penglihatan saja, di internet?


NB: Cukup beruntunglah bagi orang yang seenga-engganya pernah ketemu sekali dua kali—dalam takdir kebejonan yang tak terelakkan, ga sengaja ketemu di satu kota, lalu berjauhan lagi, ujung Indonesia timur dan ujung Indonesia barat, kurang jauh, hah?—. Bisa melihat dan mendengarkan secara live, bagaimana suaranya (ada?), cara ketawanya (manis?), dan cara bicaranya (alus?). Lalu, sering berjalannya waktu, kita lupa cara tertawanya dan suaranya. Hahaha. Menderitalah kau! Yaudah sih, telepon. 


Jadi, kesimpulannya?  Dari cerita manusia cyber love?
Manusia online di atas, berhasil menggantikan kedudukan manusia nyata di depan mata. Wauw! Kok bisa ya? | Ya kan hati itu, dirasabukan dilihat. Kecocokan, keklikan itu dirasa, tapi ya dilihat juga sih—ngecek ada unsur deg-degannya apa enggak. :D Ketemu, kalau cocok ya lanjut, kalau enggak, ya udah. Gampang kan? Kayak di film You’ve Got Mail. Ketemu, kalau jauh, butuh duit ya? Haha. Dasar masalah!


Ada yang kena virus cyber love? Atau Anda sendiri, yang membaca ini? HAHAHAHA

Minggu, 22 April 2012

Badai Online [1]



Curhat: Rasanya, di kepalaku sedang terjadi hujan badai kata-kata yang pada akhirnya diperlukan peledakkan secara dahsyat! Mungkin sudah ada kilat-kilat ‘ctar-ctar’ di kepalaku yang saat ini pun perlu dibuka gerbang pintu keluarnya—tentu untuk mengeluarkan mereka—, si badai kata-kata. Dan, jadilah ini! Sampah otak yang apabila disimpan akan meracuniku, sedikit-sedikit akan menggerogoti kesadaranku sampai mampus. Dan 1, 2, 3! Haaaaaaaaakkkk! Jrooooottt! *Saya rindu tahu gejrot* 
 
Jadi begini, sudah semingguan saya lari maraton dengan sedikit istirahat. Maraton membaca seri-seri Supernova-nya mbak Dee. Mulai dari (1)Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, (2)Akar, dan (3)Petir. *Uhuk, saya belom membeli partikel lho… Mungkin weekend ini akan beli Partikel—kalau masih dapet bukunya juga. Terus terang, ini adalah pengalaman pertama saya membaca Supernova. Bisa ditebak, saya jatuh cinta pada, Supernova. Membaca Supernova itu, seperti menelan sesuatu yang manis, asam, asin, kecut, pahit, *halah, nano-nano kecemplung sayur pare*, lalu ingin mengeluarkannya ke dalam bentuk lain—tulisan, versiku. Terdorong keluar karena, Supernova. Bermula dari loncatan-loncatan pikiran ingin keluar karena mengenal Elektra—Elektra’ atau Etra—, si Manusia Millenium, asosial, penggila internet, adalah tokoh dalam Supernova-Petir. Bagi yang belum baca, cari aja di google*perpustakaan online, eh?

Oke, mari kita mulai pembahasan ini. Mengenai fenomena badai online. Apa itu badai online? Dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, ba·dai (kata benda) angin kencang yang menyertai cuaca buruk (yang datang dengan tiba-tiba) berkecepatan sekitar 64—72 knot;  online adalah terkoneksi dengan jaringan internet. Yah jika digabungkan akan menjadi suatu kalimat yang sangat buruk pengartiannya, yaitu angin kencang yang melanda jaringan internet. 


Teknologi vs Anti-Sosial

Dulu-sekarang, manusia-manusia pintar, jenius, cerdas selalu menciptakan temuan-temuan baru lalu berlanjut dengan teknologi maju. Yang mana teknologi—tidak usah ditanya— memudahkan pola pergerakan manusia, dari manusia yang memang ingin butuh dan perlu uptodate—karena ada beberapa minoritas kaum pedalaman yang benar-benar tidak mau menerima teknologi baru—sampai manusia-manusia latah teknologi. Misal gini, ibu-ibu yang bahkan beraknya duit, latah pakai smartphone, padahal ga mudeng cara pakainya. Yang pada akhirnya suka mejeng sana sini minta tolong dijepretin orang-orang sekitarnya, “Mbak, minta tolong dong ini kalau mau moto gimana ya? Sekalian jepretin ya. Makasih.”
  

Kemampuan manusia dan tekonologi senantiasa berubah, berjalan lurus bergandengan. Atau lebih tepatnya saling beradaptasi. Atau, mungkin manusia yang beradaptasi dengan teknologi? Sebelum adanya warnet, manusia Indonesia jarang ada yang kenal dengan sahabat kita sekarang, internet. Seiring dengan pergerakan waktu dan pengenalan internet kemana-mana, lalu munculah bisnis warnet, laptop berfasilitas koneksi wifi, bergerak lagi bisnis café atau resto berwifi, modem, makin lama makin mengecil dan makin intim ruang lingkupnya, yaitu modem yang dipadu dengan handphone yaitu smartphone. Tadaaa! Lengkap sudah. Oh ya, lupa tablet, netbook versi mini. Makin kecil kan? Makin mudah dibawa kemana-mana. Lama-lama otak juga akan diikut sertakan sebagai alat berinternet ria. Otak langsung terkoneksi dengan internet!


Lama-lama pula, saya dan para perantau lain tak perlu pulang kampung untuk dapat bertemu dengan emak dan babe. Cukup pencet tombol klik, HOLOGRAM mister! Hologram yang mungkin juga bisa dilengkapi dengan efek 4 dimensi? Yang sampe mengocok-ngocok tangan dan keplak-keplak pundak bisa saling kerasa. Atau mungkin kenikmatan intim pun, bisa dijamah oleh mister atau nyonya hologram. *uhuk* Misal gini ya, Suami Istri LDR, satu di Kanada-satu di Papua, nah kan mereka pasangan setia yang sedang dirindu asmara, dan butuh acara gegulingan di kasur, tinggal klik on pada hologram dan efek 4 dimensinya. Jadi kan—tapi kurang nikmat. And somehow, kapan punya anaknya, mas mbak??? Dan akhirnya, masa hologram pun menjadi basi, berganti avatar. Oh dunia.


Oke, banyangan masa depan di atas, terlalu jauh dan tinggi. Mari sekarang menoleh ke kanan-kiri-belakang-atas-dan tatap ke depan. Apa yang terjadi dengan duniamu sekarang? Yang dipenuhi oleh virus-virus online? Orang di sebelahmu—ketika naik KRL—lebih memilih terkekeh-kekeh dengan smartphonenya daripada membantu seorang nenek yang tergopoh-gopoh menggendong cucunya, untuk mencari posisi pewe di KRL. “Nek, duduk dong, di sini.” Atau betapa pilunya, jikalau anak yang kamu—anggap saja kamu itu ibu-ibu—ajak bicara dengan serius, hanya memperhatikanmu sepertiga, karena si anak sibuk dengan online-nya? Oh God! Dan bejibun kasus lain yang tidak bisa dituliskan di sini satu-satu. Capek. 


Bahkan, iklan-iklan provider sekarang makin terbuka untuk menggembar-gemborkan bahwa galau bisa selesai dengan pemfasilitasan sms-sms tak terbatas, chatting sampai jari-jari pritil, fb, twitter, dan jejaring sosial lainnya yang mendekatkan kita pada tuhan online. Yah, itu sasarannya ABG. Berbeda dengan yang seumuran saya ini, 24 tahun—aduh, saya senang sekali ya menuliskan umur saya 24 tahun padahal aslinya adalah hasil pembulatan dari 23,5 tahun, biar terkesan wanita dewasa. Ahak—, pendekatan online itu didapat karena keadaan. Wanita metropolitan*hakcuih*, kantoran, Jakarta, yang berurusan hampir-hampir semuanya menggunakan laptop—tak dipungkiri pula, bahwa saya pun mencintai internet :’) * Aduh, pengakuan pahit tak terelakkan. Namun tak segila Etra.


Teman nyata (Yogyakarta), karena keadaan, menjadi teman cyber (Yogyakarta-Jakarta). Yeah, salah satunya Nadia—tentunya dia penggemar online pula, sekarang menjadi teman cyber setiaku secara tak tertulis. Dan teman nyata (Jakarta) sekarang ini, nyaris tak ada yang sesampah dan semenampung sampah bak Nadia, Pap Ni’am, Ara, uhuk dan Amanatia Jundeh, lalu teman yang rajin terbit-tenggelam seperti matahari di online maupun offline (Yogyakarta). Benar saja, dunia-ku terbalik. Otak dan pikiranku di online—pingin punya online shop, pingin nulis buku yang kudu rajin mantengin update-an berita, cerita, dan kata-kata—, sedangkan ragaku, kulit diriku, ada di sini, Jakarta—tapi bukan berarti saya kehilangan hati dimana raga berlabuh lho. Teknologi itu, mematikan ya? Keberadaan nyata dan tak nyata menjadi terbalik. Kok saya agak tidak menyukai keadaan otak dan raga terpisah-pisah ya? Oh semoga otak dan raga cepat kembali bertemu pada satu badan utuh. Adakah yang mengalami syndrome seperti ini, selain saya? Mungkin ada baiknya, memberi kesempatan otak, pikiran, dan raga bertemu dalam satu waktu. Mematikan apa-apa yang berhubungan dengan online dalam waktu yang ditentukan dan disepakati. 


Badai online. Badai online yang kadang bisa menimbulkan kasus ‘genjreng-genjreng kelopak bunga warna pink berjatuhan, kupu-kupu berdesiran di perut seperti lagu tentang Aling’, yeah cyber love. Ada lho… Dan saya, sedang mengamati. Bagaimana cinteh onlineh bisa menjadi nyata atau hanya ilusi? :) Berikutnya, saya akan membahas mengenai Badai Online [2] Cyber Love. “Cinta itu hanya sejauh klik tapi ia mengendarai komidi putar”-Kissing Frog di Cyber Space.

Meg Ryan di You've Got Mail. Cantik ya?

Rabu, 11 April 2012

Bu, Aku Lahir Lewat Mana?

Kata orang, dan sudah menjadi fakta umum bahwa masa kecil adalah masa paling kreatif dan masa penasaran tingkat tinggi—pikiran mereka masih murni, bebas tanpa tau dan mengerti patokan-patokan baku yang membuat kaku. Bahkan, penemuan-penemuan para penemu besar pun, dihasilkan dari pertanyaan polos seorang anak kecil yang mana pada akhirnya orang yang ditanya akan belajar dan melakukan pembelajaran. Seperti, "Mengapa buah apel itu jatuh dari pohonnya?", jikalau yang ditanya adalah seorang ibu biasa dan sudah bosan serta tak acuh dengan pertanyaan anaknya, ia akan menjawab "ya karena sudah saatnya jatuh". Berbeda jika pertanyaan itu ditanyakan oleh seorang Sir Isaac Newton, maka ia akan menggunakan pikirannya, membatin, kemudian berfikir, "oh iya ya?". Dan, berkaryalah dia! Bravo!


Terpancinglah saya untuk teringat masa lalu *halah, masa lalu!* akan suatu kejanggalan. Pada suatu ketika ada seorang gadis cilik, ehm, setingkat TK nol besar, sedang berjalan bersama ibunya, jalan-jalan santai berdua mungkin diajak ke pasar. Mungkin. Entahlah. Pokoknya mereka jalan berdua dan bergandengan tangan. Gadis kecil itu bertanya tiba-tiba—pasti ada sebabnya itu, pemicu pertanyaan tiba-tiba, pasti! Tak mungkin tidak,
          "Bu, aku lahir lewat mana?".
          Sang ibu pun terdiam beberapa detik lalu dengan bijak menjawab,
          "Lewat udel—lewat pusar."
Oh, dan sang anak pun terdiam beberapa detik. Berpikir, "Udel? Apakah udel adalah jalan keluar yang cukup besar untuk mengeluarku dari perut ibu? Udel kan kecil, dan ga bolong". Jawaban ibu bijak itu pun cukup terdengar janggal di mata sang anak. Gadis kecil yang setia dengan pendapat, "ibu yang berkata, aku pun percaya. Orang besar lebih pandai dan mengerti daripada aku yang hanya anak-anak", pada akhirnya cukup menerima kenyataan pahit tersebut bahwa dirinya lahir lewat udel—That's sound weird, teman.


Seiring berjalannya waktu, anak itu pun tumbuh besar. Dan tentu berkembang, otaknya! Datanglah saat segalanya perlu diketahui, maka segalanya pun diketahui, dan diketahui! 
Di tengah-tengah chit-chat dengan Ni'am Rouf Azzacky,
Fela : aku kecil suka tanya, "bu, aku lahir lewat mana?" ibuku jawab, "Udel."
Ni'am : aku gak pernah nanya, :))
atau jawaban dari seorang mbak Urip Tri Hasanah,
Nene: ora je fel <-- ciri-ciri anak yang tidak kritis. Ga tau kenapa, ga merasa penasaran aja. Mungkin ya itu, ga punya adik, jadi ga penasaran
Dari percakapan tersebut telah tersirat dan tersurat fakta, bahwa ada anak yang sama sekali tak menanyakannya! Ajaib. Saya kira, secara sotoy, semua anak menanyakannya. Oh, ternyata tidak, teman! Tak semua anak menanyakannya. *Saya sudah survey via twitter juga, dan memang benar begitu. Tak semua anak menanyakannya.* Dan itu mengagetkan. Menghancurkan dunia kesoktauanku.


Fela : Aku heran, kamu dulu kok ga penasaran sama kamu lahirnya lewat mana?
Ni'am : Mungkin aku tau duluan sebelum sempat penasaran.
Fela : Penasaranmu telat.
Ni'am : Mungkin si, aku lupa.
Fela : Itu aku tanyanya pas aku lagi digandeng tangan waktu jalan, sama ibuku pas TK apa ya, atau SD, soalnya ngerti tentang ibuku hamil dan adekku lahir.—kayaknya TK deh, soalnya adekku lahir pas aku kelas 1 SD.
Fela : Oh ya beda, kamu ga punya adek. Jadi ga tanya.
Ni'am : Oh iya. Gara-gara itu kali. 
Dan benar, ditemukan fakta kedua. Anak yang bertanya, dia punya adik. Yang tidak bertanya, dia tak punya adik. Kurasa itulah penyebabnya. —Sudah survey via twitter juga lho... dan yang menjawab tidak pernah bertanya itu adalah orang yang tidak punya adik.— Anak yang punya adik, ia mengalami pengalaman melihat ibunya berperut besar dan semakin besar. Ditambah pula dengan keterangan si ibu "Di dalamnya ada adekmu, kamu juga dulu seperti ini. Dalam kandungan ibu di dalam perut, makanya perut ibu besar". —Tsyaah! Mungkin penyangkalan untuk menutupi penambahan berat badannya—. Anak yang tidak punya adik, tak memiliki pengalaman tersebut.


Fakta ketiga. Saya setengah percaya perkataan ibu tentang udel sampai saya duduk di bangku SMP setelah mengenal pelajaran Biologi. Apa ya, rasanya itu, seperti dikhianati dikibuli dibohongi diapusi! Ibuku adalah seorang ahli mikrobiologi—mikrobiologi bo'... artinya, mikrobiologi lebih dalam ilmunya ketimbang biologi saja. Dan saya dibohongi. Haaaaak! Tak dijelaskan secara ilmu pengetahuan yang sebenarnya. Mengecewakan. Karena merasa akan kesusahan jika menjelaskannya secara ilmu pasti, beliau malas ribet lalu merelakan membohongi anaknya. Merelakan perasaan anaknya hancur lebur dibohongi puluhan tahun—mungkin ga ada sepuluh tahun si, tapi mendekati sepuluh tahun.
Akhirnya, kekecewaan sang anak pun reda. Berusaha memahami situasi 'kaget' oleh pertanyaan anaknya yang tiba-tiba. Tak mau menimbulkan prasangka dan mengurangi rasa sakit hati, bertanyalah saya. Sekedar kroscek.
Fela : "Ibu dulu pernah bilang aku lahir lewat udel" 
Ibu : "iya ta? ibu lupa". 
Fela : (staight face)
Batinku, "Dasar, ibu-ibu! Segampang itu berkata udel, padahal sang anak sangat mempercayainya dan memikirkannya dengan sangat serius. Sangat berat dan serius."



Saya pun berpikir dan mengambil pelajaran sebagai pembelajaran dari pengalaman sebagai anak yang pernah dikibuli ibunya sendiri. Bahwa, saya akan malu kalau menjadi ibu yang membohongi anaknya. Karena, lama-kelamaan akan ketauan. Anak tumbuh, berkembang, dan akan sadar—"Bu, aku lahir ga lewat udel. Kelahiran lewat udel adalah hal yang konyol. Dan jawaban ibu, benar-benar konyol!"—. Ingatan anak, tak semudah itu hilang. Ingatannya, masih menempel di kepala sampai hari ini, sampai umur anak tersebut sudah 24 tahun. Saya tak akan melakukan hal sama yang telah ibu itu lakukan pada anaknya. Yang perlu dilakukan adalah melakukan persiapan menjawab pertanyaan-pertanyaan anak dengan jawaban berdasarkan ilmu pengetahuan yang benar namun dapat dimengerti anak. *Tapi, opo yo...* Untunglah saya belum beranak, jadi belum akan mengalami itu dalam waktu-waktu dekat. Tapi, tetap berpikir. Untuk persiapan, biar tidak mengecewakan si anak. Oke? Jadi, apa ya? :)) Jawaban pas-nya maksudku. Ada yang mau urun rembug persiapan jawaban-jawaban atas? Ihik. Mari belajar dan berkarya. Terima kasih dan sekian. :)

***


Tambahan aja: Pikiran anak-anak itu, terkadang aneh. Konyol. Tak masuk akal. Seperti,

"Pokoknya aku nyimpulin dari pilem-pilem, kalo cewek ama cowok deket-deketan dalam waktu yang lama, si cewek bakal otomatis hamil."
(oleh Ni'am yang mengingat-ingat masa kecilnya)

"Kamu makan jeruknya, bijinya kamu telen ya? Ih... itu kan bahaya. Nanti biji jeruknya tumbuh di perutmu lho" 
(oleh teman maen kecil, lupa siapa. Maaf, sudah lama.)
Adalah sebuah bentuk peringatan sekaligus perhatian dari seorang teman ketika saya duduk di bangku awal-awal SD. Saya pun percaya ketika itu, bahkan sampai terbawa mimpi kalau ubun-ubunku akan jebol oleh pohon jeruk, akibat pohon jeruk di dalam perut yang semakin tumbuh ke atas. Dan aku akan berjalan seperti manusia yang kepalanya ditumbuhi pohon. Bodoh.

 
"Jangan minum dari sedotan yang sama. Nanti kalau bekas mulutnya (menunjuk Y laki-laki) di sedotan itu, nempel di mulutmu (menunjuk X perempuan) maka kamu akan hamil"
(oleh Teman SD, lupa siapa. Maaf, sudah lama.) 
Adalah percakapan antar teman laki-laki dan perempuan yang saya dengar ketika duduk di bangku kelas 6 SD. Pikirku saat itu, "Hah, bodoh dan keterlaluan! Mana ada hal-hal segampang itu bisa menyebabkan kehamilan? Lalu apa yang bisa menyebabkan kehamilan? Aku pun tak tau."—kan masih kelas 6 SD, tapi tak semudah itu pula, percaya pada kekonyolan macam itu. :D
Ha!

 

Rabu, 04 April 2012

Kebanggaan Seorang Wanita Indonesia

Mbak Dian Sastrowardoyo
Apa yang harus dilakukan jikalau kehidupan kantor Anda mulai membosankan? Lurus, lurus, dan lurus saja. Tanpa belak-belok. Tanpa ada adrenalin yang mengalir adalah benar-benar datar. Tanpa kasus. Tanpa musuh. Tanpa selingkuh. Uh, sungguh membosankan!


Hai reader, hari ini writer sedang mengalami kebosanan dengan the bla bla bla gawean yang sebenarnya mudah.—Karena hal yang mudah adalah berbanding lurus dengan kemalasan. Dampak psikologis pekerjaan yang mudah memang seperti itu, kurang menantang. Dan akhirnya, malas. :D *pembelaan*—
Dan, tiba-tiba datanglah 1 New Message via email. Oh, dari Nadia Sarasati ternyata. Mengirim email tanpa laporan terlebih dahulu adalah hal yang kurang biasa untuk seorang Nadia Sarasati. Ia adalah sejenis makhluk pesampah sejati, apa-apa dilaporkan, "Fel, aku kirim email ya?". Salah satu pesampahku yang kadang sampah-sampah darinya adalah obat mujarab penghilang suntuk. Benar saja! Email darinya sangat menggoda iman untuk menyampah ke hal selanjutnya yang agak-agak bodoh.


Berikut adalah isi emailnya beliau.


Klik yang perlu diklik. Lalu berlanjut ke halaman berikutnya. Muncul lah pertanyaan-pertanyaan seputar biodata dan kaki tangannya—akun-akun sosmed maksud saya—untuk diisikan sebagai keharusan mengikuti kuis tersebut. Dan lalu, pertanyaan intinya. Oh yes! Dapat media menyampah baru dimana sifatnya adalah nothing to lose. Hahahaha

"Apa yang membuat Anda bangga menjadi wanita Indonesia?"

Tapi, haaaaakkkk... ... ... mikir.
Apa ya... Kok tiba-tiba blank!
.

.

.
 
...

As mbuh lah, jawab wae! Ketik! Nothing to lose kan?


Pada akhirnya gombalan-gombalan yang berhasil saya racik dengan otak sedikit ngaco, adalah sebagai berikut.
"Keharusan dan kenikmatan menjadi wanita Indonesia adalah pandai dan cerdas dalam memasak. Masakan istri adalah kunci sukses kelengkapan kebahagiaan rumah tangga. Masakan istri enak, suami senang dan makin cinta. Menjadi wanita Indonesia berarti mencintai budaya Indonesia termasuk makanannya. Makanan Indonesia beribu jenisnya sesuai dengan daerah masing-masing dengan teknik memasak dan bumbu berbeda-beda pula. Tentunya, semua itu lezat di mulut dan kenyang di perut. Masakan ala Indonesia adalah tantangan bagi para wanita Indonesia. Dari Mie Aceh sampai Papeda. Dan saya merasa tertantang untuk bisa menguasi ilmu masak-memasak ala Indoesia. Mengapa masakan Indosia itu terasa sangat nikmat dan lezat? Karena bumbu-bumbunya mantab! Semua itu berkat alam Indoesia yang kaya akan rempah-rempah. Saya bangga menjadi wanita Indonesia. Indonesia kaya akan alam dan budaya. :)"

Sebelum mengeklik "send", ucapkanlah basmillah dan shalawat nariyah, serta alfatikhah. *NIAAAATTT*


Saya pikir, itu semacam the mbelgedes words sebagai pelampiasan kebosanan tingkat akut.
Dan terima kasih buat Jeung Nadia. Akhirnya saya menulis lagi setelah beberapa bulan tidak menulis. *Pemanasan*


Oh ya reader, salah satu cara mengatasi kebosanan dalam kantor adalah, ya ini. >>> Do what you love! —Kalau saya sih, nyampah. Nyampah yang berguna. :D. Kalau rejeki, ya bisa diajak kulineran gratis rame-rame bersama 9 pemenang lainnya. Kalau engga, ya kan nothing to lose kan? Ya kan, ya kan?—




NB:
Bagi yang sedang mencari-cari kuis, silakeun dicoba. Semoga berhasil :D Rejeki ga lari ke mana kok. Kalo ga rejeki, ya lari kemana-mana.


Have A Nice Long Long Weekend.
Salam,